Mohon tunggu...
Ayu Anin Dianary
Ayu Anin Dianary Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Ganesha

Saya suka membaca dan menulis saya adalah pribadi yang logis suka hal hal baru

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sang Hyang Widhi dan Brahman : Dua Jalan Menuju Satu Kebenaran Tertinggi

19 September 2025   09:52 Diperbarui: 19 September 2025   10:07 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hindu merupakan salah satu agama tertua di dunia yang sarat dengan nilai-nilai spiritual, filosofi mendalam, dan pandangan luas tentang hakikat kehidupan. Dalam ajarannya, umat Hindu diajak untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada realitas tertinggi, yang menjadi sumber dari segala yang ada. Dalam perjalanannya, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut realitas tersebut. Dua istilah penting yang sering menjadi bahan diskusi adalah Sang Hyang Widhi dan Brahman. Keduanya menunjuk pada Tuhan atau realitas tertinggi, tetapi berasal dari konteks budaya dan pendekatan pemahaman yang berbeda. Perbedaan keduanya menarik untuk dikaji, karena dapat memperkaya cara pandang umat Hindu terhadap ketuhanan dan spiritualitas.

Brahman adalah istilah yang berasal dari tradisi filsafat India. Dalam kitab-kitab suci seperti Upanishad, Brahman digambarkan sebagai hakikat mutlak, realitas yang tidak berawal dan tidak berakhir. Ia adalah sumber dari seluruh ciptaan, penopang alam semesta, sekaligus tujuan akhir semua makhluk hidup. Brahman bersifat melampaui kata-kata dan pikiran manusia, sehingga sering dijelaskan dengan ungkapan "neti neti" yang berarti "bukan ini, bukan itu". Ungkapan ini menandakan bahwa Brahman tidak bisa dibatasi oleh bentuk atau atribut apa pun. Dalam aliran Advaita Vedanta yang dipopulerkan oleh Adi Shankaracharya, Brahman dianggap sebagai satu-satunya realitas sejati, sedangkan dunia yang kita lihat hanyalah maya atau ilusi. Tujuan tertinggi manusia adalah menyadari bahwa atman, atau jiwa yang ada di dalam diri, sejatinya adalah satu dengan Brahman.

Sementara itu, umat Hindu di Bali mengenal konsep ketuhanan dengan nama Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Hyang Widhi. Istilah ini berasal dari bahasa Kawi, di mana "Sang Hyang" berarti sesuatu yang suci dan patut dipuja, sedangkan "Widhi" berarti hukum atau ketentuan. Dengan demikian, Sang Hyang Widhi dapat dimaknai sebagai Tuhan Yang Maha Esa, sumber dari segala hukum dan keteraturan kosmis. Istilah ini mulai digunakan secara luas pada masa modern, terutama setelah umat Hindu di Indonesia beradaptasi dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pancasila. Sebelumnya, masyarakat Bali memuja aspek-aspek ketuhanan melalui berbagai nama seperti Acintya atau Ida Sang Hyang Widi, serta melalui banyak manifestasi dewa-dewi. Dengan hadirnya istilah Sang Hyang Widhi, umat Hindu di Indonesia memiliki representasi tunggal untuk menyebut Tuhan, sehingga memudahkan penegasan konsep monoteisme.
Perbedaan mendasar antara keduanya dapat dilihat dari sudut pandang filosofis. Brahman adalah konsep yang sangat abstrak dan metafisis. Ia dapat dipahami sebagai nirguna, yakni tanpa sifat dan tanpa bentuk, atau sebagai saguna, yaitu diwujudkan dalam bentuk dewa sehingga dapat dijangkau oleh manusia. Pendekatan ini lebih menekankan pencarian pengetahuan dan kesadaran spiritual yang mendalam. Sang Hyang Widhi, sebaliknya, lebih ditekankan pada pendekatan yang praktis dan relasional. Umat Hindu di Bali memuja Sang Hyang Widhi melalui upacara yadnya, sesajen, dan doa-doa harian. Tuhan dipahami tidak hanya sebagai realitas jauh dan abstrak, tetapi juga hadir dalam kehidupan sehari-hari, menjaga keseimbangan, memberi rezeki, dan menjadi tujuan bhakti umat.

Kehadiran Brahman dalam ajaran Hindu menjadi tujuan utama dari perjalanan spiritual seorang sadhaka atau pencari kebenaran. Kesadaran bahwa atman adalah satu dengan Brahman membawa manusia menuju moksha atau kebebasan dari siklus kelahiran kembali. Pencarian ini sering dilakukan melalui tapa, semadi, dan meditasi yang mendalam. Sementara itu, peran Sang Hyang Widhi lebih dekat dengan masyarakat. Ia menjadi pusat pemujaan dalam setiap upacara, mulai dari upacara kecil di rumah tangga hingga upacara besar di pura. Kehidupan umat Hindu di Bali sehari-hari tidak lepas dari penghormatan kepada Sang Hyang Widhi, yang diwujudkan dalam Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam.

Meski berbeda dalam penyebutan dan pendekatan, keduanya memiliki kesamaan yang kuat. Sang Hyang Widhi dan Brahman sama-sama menunjuk pada realitas tertinggi yang esa, yang menciptakan, memelihara, dan melebur alam semesta. Keduanya juga memungkinkan pemujaan melalui berbagai manifestasi, sekaligus mengajarkan bahwa pada akhirnya semua manifestasi itu bersumber dari satu Tuhan yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada cara manusia mendekatinya: Brahman lebih filosofis dan mendalam, sedangkan Sang Hyang Widhi lebih bersifat praktis dan menekankan pengamalan keagamaan.

Pemahaman tentang keduanya penting bagi umat Hindu modern. Di satu sisi, memuja Sang Hyang Widhi melalui ritual dan upacara membantu menjaga harmoni sosial dan religius. Di sisi lain, merenungkan hakikat Brahman membantu umat Hindu menemukan kedalaman spiritual dan makna hidup. Keduanya saling melengkapi: Sang Hyang Widhi memberi bentuk nyata bagi keimanan, sementara Brahman memberi dasar filosofis dan tujuan akhir dari perjalanan spiritual. Dengan menggabungkan keduanya, umat Hindu dapat hidup selaras dengan dharma sekaligus menapaki jalan menuju moksha.

Kesadaran ini menunjukkan bahwa Hindu bukan hanya agama ritual, tetapi juga jalan pengetahuan dan penyatuan diri dengan Tuhan. Sang Hyang Widhi dan Brahman tidak perlu dipandang sebagai dua konsep yang terpisah, melainkan sebagai dua cara pandang yang membawa manusia kepada realitas yang sama. Sang Hyang Widhi membantu umat merasakan kedekatan dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, sementara Brahman membantu umat memahami bahwa Tuhan adalah inti dari segala yang ada, termasuk diri manusia sendiri. Pada akhirnya, tujuan dari keduanya adalah sama: membawa manusia pada persatuan dengan sumber segala kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun