Rencana Liga 1 untuk menambah kuota pemain asing hingga 11 orang per klub memicu pro dan kontra. Di balik ambisi meningkatkan kualitas liga, ada kekhawatiran besar tentang nasib pemain lokal dan arah masa depan sepak bola Indonesia.
Sepak bola Indonesia kembali diterpa isu yang menyedot perhatian publik. PT Liga Indonesia Baru (LIB) mengusulkan regulasi baru yang memungkinkan setiap klub Liga 1 musim depan merekrut hingga 11 pemain asing. Dari jumlah itu, maksimal 8 pemain asing bisa diturunkan dalam satu pertandingan. Wacana ini disampaikan langsung oleh Direktur Utama LIB, Ferry Paulus, sebagai bagian dari upaya meningkatkan daya saing klub Indonesia di level Asia.
Secara sepintas, usulan ini terdengar progresif. Dalam beberapa tahun terakhir, performa klub-klub Indonesia di kompetisi AFC masih jauh dari kata memuaskan. Dibandingkan dengan klub-klub Asia Tenggara lainnya seperti Buriram United (Thailand) atau Johor Darul Ta'zim (Malaysia), klub Liga 1 seringkali gugur lebih awal. Maka, penambahan kuota pemain asing dianggap sebagai jalan pintas untuk mengejar ketertinggalan.
Namun, seperti banyak kebijakan besar lainnya, rencana ini juga memantik perdebatan. Banyak pihak yang meragukan efektivitasnya, bahkan mencemaskan dampaknya terhadap perkembangan pemain lokal. Apalagi, di tengah geliat pembinaan usia muda yang mulai dirintis PSSI, wacana ini dianggap bertolak belakang dengan semangat regenerasi.
Salah satu yang vokal menanggapi adalah pelatih Bali United, Stefano Cugurra. Pelatih yang akrab disapa Teco ini menyatakan bahwa jika pemain asing terus mendominasi lapangan, maka peluang pemain muda untuk berkembang akan semakin tipis. "Kalau kuota asing terus ditambah, nanti pemain muda Indonesia main di mana?" ujarnya dalam wawancara bersama awak media.
Nada keberatan serupa juga datang dari manajemen Arema FC. Klub asal Malang ini menyatakan belum tertarik memaksimalkan kuota 11 pemain asing. Menurut General Manager Arema FC, Yusrinal Fitriandi, memaksimalkan kuota asing justru berisiko menciptakan ketidakharmonisan di ruang ganti, selain juga menekan anggaran klub. "Lebih baik kami fokus pada kualitas, bukan kuantitas pemain asing," tegasnya.
Di sisi lain, ada juga pihak yang bersikap terbuka terhadap wacana ini. Gelandang Persija Jakarta, Hanif Sjahbandi, menilai bahwa penambahan pemain asing sah saja selama persaingan tetap sehat dan pemain lokal masih diberi kesempatan. Ia bahkan melihat hal ini sebagai pemacu semangat bagi pemain Indonesia untuk meningkatkan kualitasnya. "Kalau kita ingin bersaing, ya harus berani naik level juga," ujar Hanif.
Yang menjadi pertanyaan utama kemudian adalah benarkah menambah pemain asing otomatis meningkatkan kualitas liga? Atau justru ini hanya akan menjadikan Liga 1 sebagai 'panggung ekspat' yang mengabaikan potensi dalam negeri?
Kita tak bisa menutup mata, banyak pemain asing yang memberi dampak positif bagi klub baik dari sisi performa maupun marketing. Namun, ada juga tak sedikit pemain asing yang datang tanpa reputasi jelas, hanya menjadi "penghangat bangku cadangan", bahkan menghambat slot pemain lokal potensial.
Perlu dicatat pula bahwa setiap penambahan pemain asing memiliki konsekuensi finansial yang besar. Klub-klub kecil dengan anggaran minim kemungkinan tidak akan mampu bersaing dengan klub-klub bermodal besar seperti Persib, Persija, atau Borneo FC. Alhasil, ketimpangan dalam kompetisi bisa semakin melebar.