Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hari Anak Nasional ala Neurosains: Krisis Kesehatan Mental Menanjak, Pedulikan Empati Anak

24 Juli 2023   19:29 Diperbarui: 25 Juli 2023   02:00 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: anak-anak remaja| unsplash.com @ Duy Pham

Kabar yang lewat di salah satu laman kompas.id mengetuk pintu literasi saya. Berita lawas namun sepertinya menjadi PR panjang bagi kita yang mau peduli terhadap tumbuh kembang anak.

Kembali, kasus kesehatan mental mendapat highlight dalam dunia pengasuhan anak.

Maka, bolehlah kiranya saya mengajak para pembaca bijak. Mari menggelar tikar; bersama belajar. Bukan asal saling tuduh namun saling asah dan asuh dalam tali asih.

Meningkatnya angka kasus perilaku yang dianggap menyimpang serupa perudungan maupun kenakalan remaja lainnya semakin santer bermunculan. 

Semakin prihatin? Well, tentu saja. Tetapi lebih dari sekadar prihatin. Ditambah lagi, statistik dari WHO menyoal perkara kesehatan mental remaja di dunia ini memang dalam kondisi yang memprihatinkan. Yang kemudian muncul adalah pertanyaan sampai di manakah peran lingkungan dalam nurturing? 

Mengungkit kembali persoalan klasik ini, sebenarnya saya telah menuliskannya dalam rangkaian kecerdasan emosi dan peran pentingnya dalam sebuah kelompok sosial. 

Namun, saya sadar karena sudah lama tidak menulis di Kompasiana, maka lampaulah tulisan-tulisan saya. Mana ada yang ingat, Lyntang...xixixi. Kek loe terkenal aja...

Okay, silakan pilih artikel-artikel saya tentang kecerdasan emosi di bawah ini.

Baca juga: Twitter ala Elon Musk, antara Emosi dan Rasionalitas

Baca juga: Tentang Recalling Memory dan Pentingnya Mengelola Kecerdasan Emosi 

Ya, sebelum Kisanak melanjutkan scrolling ke bawah artikel ini dan sesegera mungkin meninggalkan vote ataukah sekadar salam hangat buat saya sorang. #halah wekekek.

Baca juga: Kecerdasan Emosi: Ingin Cerdas Berkomentar? Simak Dulu yang Satu Ini

And Guess What?

Kembali memori dalam selaput korteks saya bertingkah aing. Bukannya menggagas soal bullying atau kepribadian siswa yang menjadi agresif di sekolah, atau siswa yang kesurupan setiap kali menghadapi test mapel sains. Saya justru teringat pada komentar yang pernah saya tulis pada salah satu artikel Engkong Felix Tan. 

Jangan tanya artikel beliau yang mana. Saya ndak mau ngublek-ublek laman akun keramat. Bisa jadi saya nanti kena lumat. 

Bukan tersebab saya tersengat trauma masa lalu karena risakan Engkong. Hla wong artikel saya bisa up selama ini juga salah satu peran serta spill out Engkong dahsyat satu ini. 

Nah, bila Anda, Anda, daaaan Anda telah merasa cukup cerdas emosi alias engga baperan saya sarankan satu hal. Datangi Engkong dan minta beliau merisak artikel Anda. Niscaya dalam waktu singkat Anda akan mendapatkan hasil yang cetar membahana. Okay. Cukup sekian iklan obat cerdas dari saya. Ehladalah. Ndak. Bukan gitu, Parents.

Kay, ....balik lagi.

Saat itu saya bertanya, varian kecerdasan manakah yang sedang dibahas oleh Engkong Prof kita tercinta ini. Ya, kita semua pasti tahulah, ada 3 macam kecerdasan yang beredar di bawah kolong pemahaman perkembangan kognisi hominidae masa kiwari yang menyebut dirinya sebagai manusia. 

Hingga ratusan tahun lamanya, masyarakat kita mengukur kecerdasan kognisi berbasis memori eksplisit semantik. Memori yang diperoleh dari pengetahuan umum, tanpa harus mengalami peristiwa tertentu. Memori yang bersangkutan dengan apa, siapa, di mana.

Seperti contohnya, saya tahu pasti bahwa Lebakwana berada di Banten tanpa saya harus pergi ke sana terlebih dahulu. Begitu pula, saya paham betul bahwa 4 x 4 = 16 tanpa saya harus diminta secara langsung oleh Acek Rudy supaya menjawab kuis perkalian tersebut dengan jujur dan tulus hati. 

Wew, betapa tidak adilnya perkembangan kognisi anak bila hanya diukur melalui kemampuan memori semantik. Bagaimana dengan anak-anak yang berada pada spektrum tertentu. Yaitu mereka yang tidak mempunyai kapabilitas selayaknya perkembangan kognisi anak pada umumnya?

Apakah mereka akan dikucilkan? Ditinggalkan? Diberi label khusus sebagai anak tak berguna? Walah, lalu apa bedanya kerangka gaya nurturing; gaya pengasuhan kita di masa sekarang dengan saat masa pemburu pengumpul terdahulu?

Pada masyarakat pemburu pengumpul, anak-anak yang dianggap "menyusahkan" atau "mempersulit" pergerakan kelompok pasti akan ditinggalkan. Bagi anak-anak yang tidak memiliki kemampuan dalam batas normatif seperti pertumbuhan anak pada umumnya, saat itu tidak mendapat tempat.

Kecerdasan Sosial, Kecerdasan Emosi, dan Neuroplastisitas Anak

So, apa sih kecerdasan emosi yang pada masa kekinian digadang-gadang menjadi salah satu komponen penyusun berkembangnya pendidikan bagi negara-negara yang didakwa berbahagia tersebut? 

Kemudian, apa ya lantas bahwa negara dengan penduduk ber-IQ tinggi berarti lebih baik dari negara dengan rerata IQ penduduknya rendah? Ya, ndak juga. Ginilo, dalam spektrum biologi, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Semua kondisi mempunyai strata yang sama. 

You see, mari kita pahami pula bahwa selama lebih dari 4 milyar tahun ada satu faktor yang dianggap mampu menurunkan laju entropi: KEHIDUPAN.

Berdasar konsep tersebut, para ahli neurosains dan biopsikologi memahami bahwa tolok ukur bagi kecerdasan kognisi individu adalah seberapa lama individu tersebut mampu bertahan hidup.

Hal inilah yang kemudian mendorong para ahli genetika maupun psikologi kognisi menggali kembali keistimewaan kerja kecerdasan bergerombol atau swarm intelligence (SI).

Selama konsep ini disadari oleh setiap individu dalam satu kelompok sosial, maka semakin lama pula individu mampu bertahan hidup.

Pada masa kekinian kecerdasan kolektif ternyata terbukti lebih dibutuhkan daripada kecerdasan individual. Masih butuh contoh? Ya, coba lihat artikel saya yang berjudul "Solo Batik Carnival 2023, Sebuah Narasi Kemewahan Kecerdasan Emosi"

Janibegidi, pada kenyataannya kecerdasan yang ada pada kita saat ini pun merupakan hasil dari kecerdasan kolektif. Hasil kumulatif kecerdasan kolektif dari para pendahulu kita. Bukan kecerdasan individual. 

Next.

Salah satu komponen dasar dalam kecerdasan kolektif adalah EMPATI. Empati pada akhir abad 19 telah banyak diperkenalkan sebagai bagian dari hasil kerja otak. Istimewanya adalah ditemukan fakta bahwa empati pun bisa dilatih selama manusia hidup. 

Ya, betul! Karena ini hasil kerja otak, tentu saja ada beberapa struktur pada bagian otak kita yang teraktivasi pada saat kita melatih empati. Mengapa empati perlu DILATIH?

Adalah mekanisme neuroplasticity, yaitu kemampuan sistem saraf -- dalam hal ini saraf pusat-- untuk mengubah aktivitas fungsional dan adaptif sebagai respon terhadap rangsangan. Baik itu rangsangan dari luar maupun dari dalam. 

Sudah barang tentu, perubahan aktivitas tersebut juga melibatkan perubahan struktur maupun fungsi dari sistem saraf tersebut. 

Neuroplasticity mulai dikenalkan oleh William James pada tahun 1890. Namun, pada perkembangannya, neuroplastisitas atau dikenal juga dengan plastisitas otak kembali dikenalkan oleh Donald Hebb pada tahun 1949.

Memvalidasi emosi, mengenali diri sendiri bukan hanya ajar yang hanya diujarkan baik lewat bahasa verbal maupun beribu frasa dalam peraturan yang harus ditaati. 

Empati merupakan salah satu aspek yang --dalam spektrum umum-- secara genetik telah dibawa oleh setiap manusia sejak ia lahir. Namun harus senantiasa dilatih SETIAP HARI. 

Mengapa latihan sejak dini ini penting? Supaya berempati tertanam dalam memori implisit anak. Di mana ingatan tersebut teracik kuat dalam memori jangka panjang anak-anak. Sehingga mereka secara otomatis; terbiasa melakukan perilaku berdasarkan empati tanpa disadari. Yaktul!! Secara SPONTAN.

Seperti halnya anak-anak terlatih makan sendiri, berjalan, bersepeda, dan aktivitas sehari-hari lainnya. Demikian pula dengan empati. Bagaimana menaati peraturan, bagaimana mengantre, bagaimana bersikap di tempat umum, menghargai kepentingan publik. Semua perlu latihan.

Masih ingin tahu lagi? Lesgow...

Apakah Sekolah Telah Berperan Sebagai Lingkungan Tumbuh Kembang Anak?

Lingkungan bukan hanya bertanggung jawab pada perkembangan fisik seorang anak. Sekolah sebagai bagian dari lingkungan tumbuh kembang anak memiliki tanggung jawab penuh pada perkembangan anak secara holistik. Termasuk perkembangan mentalnya? Exactly! Tepat sekali!

Bagi psikolog yang spesifik mendalami mengenai pentingnya kecerdasan emosi, Daniel Goleman secara khusus mengamati bahwa sekolah memiliki peranan kuat yang tak kalah penting dalam tumbuh kembang mental anak.

Hadirnya sekolah sebagai lingkungan tumbuh kembang anak ternyata membawa dampak tersendiri. 

Melatih siswa untuk lebih memiliki kemampuan secara cepat merasakan emosi seseorang dan apa yang sedang orang lain pikirkan saat itu. 

Bukan hal yang mudah untuk menumbuhkan kesadaran diri hingga ke tahap compassionate empathy. Di mana anak-anak tidak hanya mampu merasakan apa yang orang lain rasakan. Melainkan meresponnya melalui tindakan menolong sesamanya secara SPONTAN.

Wah, sepertinya saya sudah terlalu panjang menulis, hehehe... So, see you on my next article, Kay...

Salam sadar, salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun