Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Perjalanan Rasa

22 November 2021   21:30 Diperbarui: 11 November 2022   04:29 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: salah satu sudut Singkawang | via instagram.com @ayokesingkawang

"Sinar...napa ga bilang? Bukumu yang anyar dah terbit itu. Tadi aku sama temen mampir toko buku, ehh...ternyata..." temanmu terus bercerita. 

Sementara, kulihat kau hanya melirik di balik kaca mata beningmu. Tersenyum sedikit. Lalu kembali lagi matamu memeluk aksara dalam buku usang itu. Filsafat. 

Aku tahu, sebenarnya kau lebih memilih ide para filsuf ketimbang mendengar hantaran cerita kawanmu yang terlahir bawel itu.  Sesekali kau beri dia senyum. Sedikit. Lalu kembali lagi mengeja bukumu.

Aku lupa nama temanmu itu. Ingatanku pun sedikit. Meski begitu, kau tak pernah memedulikan hal remeh seperti itu. 

Tapi, tunggu! Ingatanku yang hanya sedikit ini ternyata menyisakan beberapa kisah. Ya, mumpung aku ingat. Sebelum ingatan ini minggat dari ruang ingatanku. 

"Sinar," begitu kau menyebut namamu. Tersenyum sedikit. Ya, senyummu selalu sedikit. 

Hanya sekali seumur hidupku,aku melihat kau tertawa lepas saat bersama dengan seorang pria bertubuh tegap, potongan rambut satu sentimeter, dan berseragam dinas. 

Saat itu, aku yang memaksamu datang ke acara pernikahan kakakku. Aku melihatmu semakin akrab dengannya semenjak malam itu. 

Sesaat aku merasa begitu bodoh. Marah? Tentu saja iya!! Tapi, aku tetap berusaha tegar walau hatiku ambyar. 

Apakah itu kesalahanku? Atau inginnya semesta seperti itu? Mungkin. Entahlah. 

Ah, kini kau kembali menatap danau buatan di taman kota. Kau masih cantik, Sinar. Kau punya bola mata cantik yang selalu memandangku dalam beragam bahasa. Dan aku pasti tahu apa maumu. 

Aku juga ingat kegilaanmu saat menuturkan segala rasa masakan. Seumpama diorama emosi, kau selalu berujar bagaimana makanan mampu mengodifikasikannya. 

"Tahu ga? Kalau bebek panggang Koh Liem ini satu dari sekian banyak metafora kebudayaan," begitulah mukadimahmu  setiap kali mampir ke warung Babah Liem di pojok gang rumahmu. 

Aku tahu, memang daging bebek panggang Koh Liem sangat lembut. So, juicy. Sama seperti convit de canard bintang lima yang biasa aku kunjungi bersama klien kantorku. 

Bedanya, hanya di masalah harga, packaging, dan sentuhan hospitality penjual. Harga di sana bisa jadi tiga hingga empat kali lipat. Dari sisi packaging ya... Babah Liem hanya mengunduh ilmu warisan dari generasi sebelum dia, kan? 

"Kamu mau ga kalo besok kita dinner di Dine Inn?" kupikir kau akan senang dengan tawaranku ini. 

Wanita mana yang tak akan luluh dengan tawaran seperti itu. Dine Inn sebuah restoran mahal di kota kami. 

Tapi, ternyata kau lebih gila dari dugaanku. Atas promosi jabatan ku, kau ingin menghadirkan choi pan ke dalam mulut rakusku. 

Ya, kita berdua memang gila saat itu. Terbang ke Borneo hanya demi menikmati perpaduan kekenyalan choi pan. Merasakan lembutnya si putih tepung tapioka dan tepung beras berpadu dengan padanan daging, daun kucai, serta sedikit wortel di dalamnya.

"Gimana menurutmu?"

"Kek dimsum yha? Ada gurih, tapi sambal ebinya wuiiiih. Jawara!!" kau meringis melihat teriakku dalam peluh. 

Kau sangat tahu aku bukan penyuka pedas. Tapi, malam itu choi pan mengantarkanku pada rasa yang berbeda. Seakan aku tak ingin meninggalkan Pontianak malam itu. 

Kau dan sebuah rasa yang menakjubkan! 

Belum lagi, saat aku dan legitimasi lidahmu harus tertahan sebentar di kota penuh sensasi. Hongkong van Borneo, Singkawang. 

Kala itu manusia belum terbungkus protokol kesehatan seperti saat ini. Singkawang begitu menyita indera dengan pesona ajaibnya. Begitupun dirimu malam itu. Matamu, senyummu, dan lembut jemarimu yang menyentuh pipi kasarku. 

Kita terhanyut dalam tebaran warna lampion. Melebur bersama dentang sepasang simbal menyusupi tarian barongsai. 

Terlebih hadirnya sejumput mie kering meringkuk dalam mangkuk kuliner kita di kedai pinggir jalan. Mie lembut dengan kuah daging sapi begitu otoriter menjelajah dan menjajah kepasrahan lidah kita. Berdua. 

Hmm, aku begitu fasih dengan intuisiku, Sinar. Memilihmu di antara wanita cantik lainnya bukan lagi soal rasa. 

Kau berlebih dengan rasamu. Dan aku hanya manusia yang mengagumi seluruh hidupmu. Bahkan, keras kepalamu, juga superioritasmu yang selalu dapat kau tundukkan hanya dengan kata "iya" dariku. 

"Makanan adalah nilai dari kejujuran. Itu yang aku tahu. Kadang, yang tidak cocok, yang tidak serasi, yang berasa kurang pas tidak perlu dijadikan satu," itu kilahmu saat mencoba semangkuk rujak soto Banyuwangi. Sedikit. Tanpa keluh apapun lagi, kau tinggalkan suapanmu. 

Aku iyakan saja. Meskipun bagiku tidak ada yang salah dengan masakan itu. 

Bumbu kacang dan petisnya begitu terasa segar, menyatu besama sayur rebus yang ditaburi toping jeroan sapi. Dan yang paling membuat cacing dalam perutku meronta adalah kuah soto yang begitu kusyuk menohok hidungku. 

Hmmm, itu ingatanku. Ya, ingatan tentangmu. Tentang raga yang kubawa pergi pada malam tanpa hujan. Membelah jalanan Pontianak. Menebas dingin malam Singkawang, kau mendekapku erat. 

Kadang kita terbahak, menyeduh peristiwa lucu tak penting antara kita berdua. Malam itu. 

Aku ingat, saat itu kau berkata, "Bukankah kita pergi jauh supaya kita bisa pulang?" Ya, saat ini aku memahaminya. Pulang. Reruntuhan kata yang tak ingin kulupakan. 

Kau memang tak begitu cantik. Anehnya, kita sepakati berdua tentang hal itu. Hidungmu yang tidak mancung, tidak juga pesek. Juga rambutmu tidak seindah model iklan shampo. 

Kau pun bukan gadis yang langsing, dengan tinggi badan ideal. Tapi, kau juga tidak gendut. Hanya saja, bola matamu indah. Terlebih saat merekam bayanganku di dalamnya. Oh, betapa narsisnya aku. 

Hhh, sudahlah. Seharian ini kita hanya duduk berdua di taman kota. Mungkin kita harus pulang, Sinar. 

Malam ini jelang lelap, aku melihatmu terbaring mendekap sebuah foto lawas. Aku mengenalnya. Aku mengingatnya. Gambar kita berdua. 

Setetes lembut air hangat mengalir dari bola mata indahmu. Bola mata yang kini tak mampu lagi merekam bayangku di dalamnya. Bukan karena kau buta, Sinar. 

Lamat kudengar bisikmu, "Buku baruku telah terbit. Buku tentang kisah kita. Tentang kau dan aku. Kau ingat? Apakah kau dengar? Kita. Kisah kita."

Oh, sungguh, maafkan aku, Sinar. Maafkan aku yang bahkan tak mampu lagi merengkuh ragamu. Kini semesta kita berbeda. Dunia kita tak lagi sama. 

*Solo, .... bersama sebuah rasa. Pulang. (Saya dedikasikan cerpen ini untuk seluruh fiksianer Kompasiana. Let the flame will always keep us warm.) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun