Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Lindungi Kesehatan Mental dengan Melatih Anak Kenali Emosi Sejak Dini

1 Agustus 2021   15:18 Diperbarui: 1 Agustus 2021   20:35 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
parenting via unsplash.com @marisa howenstine

Hai, parents... 

Tidak terasa dalam perjalanan waktu, kita sudah hampir menginjak tahun kedua perjalanan di masa pandemi ini. 

Kali ini sapaan saya menghampiri meja para orang tua. Hanya saja, masih berhubungan dengan artikel saya kemarin, ayah bunda... 

Baca : Merajut Kesehatan Mental Tanpa Positive Vibes Only

Sebagaimana perilaku sosial yang lain, pola asuh masa kecil sangat mempengaruhi pertumbuhan mental dan karakter seseorang ketika menginjak dewasa. 

Tentu saja, semua berpulang pada proses kerja kognitif manusia yang cenderung menyerap informasi dengan cara berulang. 

Maksud paragraf di atas gimana yak? Penasaran? 

Okay, cekidot....check this out... 

Pentingnya Edukasi Pola Asuh Anak di Zaman Kekinian

Kurang tersampaikannya edukasi seputar proses perkembangan kognitif anak kepada orang tua, merupakan satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya kekeliruan dalam proses pengasuhan. 

Meski tak mampu dipungkiri, dinamika sosial menggeser nilai-nilai budaya dalam tatanan sistem masyarakat. Apa yang dahulu dianggap salah atau tidak penting kemudian bergeser menjadi budaya yang pantas untuk digagas. 

Begitu pula kebutuhan orang tua masa kiwari menyoal pola asuh anak mulai melirik pada urgensi kesehatan anak secara holistik. 

Kesehatan mental anak kini menjadi sorotan para ahli dan beberapa peneliti serta pemerhati edukasi anak bangsa. 

Ini terbukti dari tingginya minat orang tua milenial terhadap perkembangan mental anak. Salah satu contohnya adalah dengan memupuk kebiasaan baru dalam dunia parenting. 

Mari kita cermati lebih dalam, bagaimana orang tua kita dahulu seringkali menggunakan distraksi sebagai dalih untuk membuat anak senang dan melupakan rasa marah maupun sedih. 

Seolah dengan memunculkan efek kerja hormon dopamin, orang tua menganggap pengalaman anak-anak semasa kecil hanya seputar emosi senang dan gembira. 

Tentu saja, saya bukan pembenci dopamin, ayah, bunda...Hanya saja, pemahaman bahwa efek dari hormon yang timbul ketika kita merasakan gembira dan senang, ternyata bukan menjadi cara yang tepat bagi orang tua untuk mengalihkan atau menyelesaikan emosi lain yang timbul dalam diri seorang anak. 

Coba perhatikan contoh saya yang satu ini. 

Apabila anak kecil terpeleset dan jatuh, kemudian dia menangis kesakitan, lalu apa yang biasanya dilakukan orang tua? 

Memarahi anak supaya tetap diam? Hmmm, bisa juga. Atau, mengancam anak dengan memberikan hukuman kalau ia tidak segera menyudahi tangisannya? Wow... ini mah toxic parenting, bund... :) 

Pada umumnya, yang dilakukan orang tua ketika anak menangis karena kesakitan atau tantrum merasa kehilangan benda kesayangannya adalah dengan menghiburnya. 

Lhoh, itu salah? Sebentar... Coba perhatikan ungkapan yang dengan cepat kita pilih untuk menghibur anak-anak. 

"Eh... cup, cup, cup... udah ga usah nangis, lihat itu ada burung... Tuh ada cicak... lihat, lihat..."

"Itu ga sakit kok, masak anak cowok nangis"

Sudah sering kedengaran di telinga kita, bukan? 

Alih-alih memvalidasi emosi dengan benar, orang tua seringkali lebih memilih melenyapkan rasa sedih; menggantikannya dengan objek lain. 

Kay, sekilas sepertinya sentuhan afirmasi tersebut cukup mewakili rasa sayang kita yah, saudara? Hmmm, bagaimana bila ini dilakukan terus menerus? 

Yang terjadi adalah repetisi atau pengulangan aktivitas yang kemudian dipelajari, lalu disimpan rapat sebagai pola pikir yang terbentuk semenjak kecil di alam bawah sadar. 

Dari sebuah penelitian dikatakan bahwa 95 % aktivitas yang kita lakukan, didasarkan pada apa yang tersimpan di alam bawah sadar kita. 

Dengan demikian seseorang akan cenderung membawa pengalaman masa kecil yang tersimpan di alam bawah sadar, diterjemahkan menjadi kebiasaan dalam pertumbuhan karakternya di masa usia dewasa. 

Dampak Toxic Positivity Bagi Perkembangan Kogitif Anak

Kebiasaan mengesampingkan emosi takut, marah, sedih, dan emosi lain yang dianggap mendatangkan efek tidak nyaman bagi seseorang akan membuat seseorang tersebut tidak dapat mengenali emosi dalam dirinya. 

Lebih dalam lagi, seorang psikolog anak Jean Piaget memperkenalkan beberapa tahap perkembangan kognitif anak. 

Salah satu tahapan tersebut adalah masa pra operasional (usia 2-7 tahun), yaitu saat di mana anak-anak mengembangkan mental lewat pembelajaran pengalaman mereka. 

Di mana pada usia tersebut anak-anak mulai belajar dari pengalaman mengenal dunia melalui proses adaptasi, menuju tahapan berikutnya, tahap konkret. 

Apabila anak-anak di usia tersebut mulai menyerap informasi dari pengalaman menghilangkan emosi dengan mengabaikannya, maka ketika dewasa, ia pun mengabaikan semua rasa yang ada. 

Terbiasa abai dengan emosi membuat anak akan bertumbuh sebagai pribadi yang kurang berempati terhadap semua orang di sekitarnya. 

Mantra-mantra berupa afirmasi positif tersebut mungkin berguna bagi kita sendiri, namun kurang bermanfaat untuk orang lain, yang nantinya justru akan membuat relasi semakin merenggang. Demikian saya kutip dari PositivePsychology.com.

Emosi yang terbiasa dianggap invalid membuat seseorang kurang mampu mengenali emosi yang sedang ia alami. 

Seseorang tidak akan mampu mengenali apakah ia sedang marah, atau dalam kondisi takut, ataukah ia sedang dalam kondisi sedih, atau emosi lain yang membuat ia menjadi tidak nyaman. 

Lalu, Bagaimana Bila Anak Kita Tetiba Menangis? 

Satu, pahami kebutuhan anak tatkala ia menunjukkan emosi selain gembira

Ayah bunda, anak-anak yang menangis, berteriak, bukan berarti bermakna protes, atau ia kurang disiplin. 

Adakalanya anak-anak menangis atau sedang tantrum, bukan karena nakal, melainkan ingin diperhatikan, mungkin karena anak sedang dalam kelelahan, mengantuk, atau lapar. 

Dua, lakukan validasi yang tepat ketika anak sedang dalam kondisi yang tidak nyaman

Ketika anak marah yang biasanya dilanjutkan dengan histeria kadang membuat emosi kita pun semakin meluap. 

Dalam kondisi ini, ada baiknya kita memberikan pelukan hangat yang menenangkan, daripada membentak, atau mengancam, atau bahkan memberi mantra-mantra distraksi dengan afirmasi positif. 

Ketika bayi sedang menangis, seorang ibu tidak akan membungkam mulut bayi atau membentak nya. Ibu akan memilih memeluk si bayi dalam pelukan yang penuh kehangatan, dan memeberikan rasa tenang kepada si bayi. 

Pelukan orang tua, Ayah maupun Bunda akan mengaktifkan hormon oksitosin, sebuah komponen penyusun kebahagiaan yang bukan pada saat itu saja dirasakan si anak, namun juga akan disimpan dalam memori, lebih lama dari pada rasa senang dari dopamin. 

Tiga, berikan afirmasi yang tepat saat anak merasa tidak nyaman. 

Gunakan kalimat-kalimat membangun yang tidak melumpuhkan emosi anak. Terlebih bagi anak-anak yang sudah mempunyai kemampuan komunikasi secara lancar. 

"Ayah tahu ini sakit,... ga pa pa kok kalau mau menangis"

"Sini, anak Bunda... Bunda tahu itu memang tidak adil, bukan berarti kita berhenti, bukan?"

Dan masih banyak afirmasi lain yang sekiranya mampu untuk kita ambil sebagai kiat anak belajar memvalidasi emosi; mengenali emosi semenjak dini. 

Semoga apa yang saya sampaikan ini bermanfaat, selamat berlatih bersama anak-anak... 

See you.... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun