Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 5: Coastal Prince & The Captain]

14 Oktober 2019   08:08 Diperbarui: 14 Oktober 2019   08:38 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

"Aragoz !!! Turunkan layar dan sauh !!! Kita akan berlabuh. Perjalanan hari ini melelahkan. Istirahatlah. Peluklah anak-anak dan istri kalian. Tangkapan kita luar biasa !!" teriak sang kapten di belakang kemudi kapal.

Hari yang cerah. Matahari mulai mereka-reka perkara dengan anak manusia, mencoba mengusir kabut yang menyelimuti pasar di tepian pantai. 

Pasar telah diramaikan oleh beberapa lapak penjual dan bertubi-tubi para pembeli yang datang menawarkan sejumlah nadi kehidupan peradaban masyarakat.

Kain-kain cantik penuh warna digelar diantara gemerincing uang para penjaja roti, kentang, dan sup, serta pelbagai minuman hangat penyambut pagi.

Di sudut yang lain terlihat ikan-ikan segar memenuhi ember-ember para pelaut yang baru saja menebar bau segar samudera dengan bermacam hasil tangkapannya. 

Belum lagi kisah-kisah pedagang dari negeri seberang yang membawa penuh kotak perhiasan mulai dari gelang, cincin, kalung, serta bermacam-macam batu permata mutu manikam yang menyilaukan pandangan.

Kesederhanaan Opal yang putih, hijaunya zamrud, warna biru yang menggoda dari safir, kemilau berlian, agungnya warna ungu dan merah muda amythys, semarak warna dari the queen of gems, merahnya rubby nan eksotis, dan berbagai perhiasan emas yang menyilaukan mata.

Dipandu harum laut, sepasang mata mengawasi dari tingginya menara istana. Sepasang mata yang menggerakkan hati untuk menyapa laut dan samudera. Mengaliri darahnya dengan air laut dan bau pasar yang mempercantik pantai.

"Pangeran akan ke mana?"

Sepasang mata hanya menyipit. Dengan senyum terurai liar tanpa ampun. Langkah kakinya segera berubah menjadi lari. Seperti kuda jantan meninggalkan kandangnya. 

Tubuh yang tegap itu tak lama berada di bibir laut. Duduk di atas batu karang yang menjulang tinggi. Mata yang tajam mengawasi pantai dan samudera. 

"Pangeran. Mengapa Tuanku selalu berbuat ini?"seru seorang prajurit yang terengah-engah mendapatkan Pangerannya di atas batu karang.

"Lihat, Ghezes. Sahabatku baru saja pulang dari melaut. Pasti banyak tangkapannya hari ini," ujar Pangeran bermata tajam, sambil menunjuk sebuah kapal pelaut yang gagah berlabuh diantara deretan kapal-kapal lainnya. "Aku akan mengajaknya minum. Kau ikut?"tak lama sang Pangeran berlari kecil menuruni karang dan menyatu dengan para pelaut.

Sebuah tempat minum yang berada di tepian pantai dipenuhi para pelaut yang ingin menikmati kepenatan sekaligus kemenangannya dari perjalanan menaklukkan lautan luas.

Sang Pangeran segera menghampiri seseorang yang duduk menikmati segelas minuman arak yang tak jua dihabiskannya. Lelaki berusia hampir empat puluh tahunan itu memandang jauh ke arah keramaian pasar. 

"Boone....kapten kapalku, apa kabarmu, teman? Apa yang kau bawa dari samudera ku?" tanya Sang Pangeran.

Lelaki berjambang bernama Boone, kini melemparkan senyum yang mengembang dibalik kumisnya yang tebal. Hidungnya yang tak mancung tenggelam diapit dua sisi pipi yang melebar. Mata yang teduh beralih pada sang Pangeran.

"Pangeran..."sahutnya.

"Hssssh... Ayolah, aku bukan pangeran di sini. Aku hanya seorang Arye,"jawab Sang Pangeran sedikit berbisik.

"Hmmm, Arye. Apa yang kau lakukan di sini, kawan?"

"Minum bersama kaptenku. Ayolah, sudah berapa lama kau di lautan. Aku merindukanmu, sahabat. Katakan, apa yang telah kau ambil dari lautku kali ini?"

"Hanya sedikit. Beberapa tangkapan, ikan dan sedikit nephropydae. Kalau kau mau, akan kukirimkan saltatrix ke rumahmu, Arye,"

"Saltatrix...hmmm, kau harus mengirimkannya yang banyak, teman," jawab Arye.

Boone menatap kembali ke arah laut lepas. Pandangannya kini kosong. Seteguk minuman beralkohol tak mampu membuatnya mabuk. Ia terdiam. Arye seolah tak mampu menembus jalan pemikiran sahabatnya kali ini. 

Angin laut menghempaskan setiap kata-kata mereka berdua. Tangan sang kapten Boone berulang kali mengusap wajahnya seakan mengusap sesuatu yang hadir di depan matanya.

"Boone, katakan padaku, kawan. Hari ini kau kelihatan gelisah. Ada apa?"

"Pernahkah kau merisaukan sesuatu, Arye? Pernahkah kau ingin memiliki sesuatu yang tak mungkin kau miliki?"

Arye terdiam. Ia tahu sahabatnya belum mabuk pagi itu. Arak dalam botol hanya tertuang sedikit. Namun sahabatnya seperti tak berada di hadapannya.

"Tidak. Pasti kau bisa mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah, kawan. Tapi,... Tunggu, aku belum pernah mendengar kau bercerita tentang gadis pujaanmu?"sahut Boone.

Arye tersenyum, mengerti arah perbincangan sang kapten.

"Boone, kau sedang kasmaran. Hahahaha... Katakan padaku, siapa yang telah menghantui malammu, kapten," goda Arye.

"Percayalah, Arye, kau seharusnya membuka sebuah tenda di pasar, dan kau tuliskan "peramal" di mejamu. Aku yakin banyak gadis yang akan datang padamu memohon untuk kau nikahi, teman," 

"Ayolah, Boone. Aku sahabat kecilmu. Siapa gadis yang telah menawanmu? Perlukah aku menahannya untuk kuberikan padamu, kawan?"

"Hahahaha, kali ini kau tak akan mampu menahannya untukku,"

"Oh, ya? Siapa perempuan itu? Dari mana asalnya? Mengapa ia begitu istimewa? Ia pasti sangat menarik,"

"Tidak. Ia hanya gadis biasa. Tak banyak keistimewaannya. Ia hanya pandai menarik hatiku. Itu saja. Aku merindukannya, teman. Tapi apa yang bisa kulakukan, ia berada di ruang yang lain. Ia berada di dimensi yang lain,"

"Boone, jangan katakan, kau jatuh cinta pada seorang gadis di sana? Saat Ayah mengirimmu ke dunia?"

Boone terdiam. Mata sendunya melihat ke arah Arye tajam. Seakan ia mengiyakan semua perkataan lelaki yang berselisih umur dua hingga tiga tahun di bawahnya.

"Atau perlukah kita jemput dia dan paksa dia untuk tinggal bersamamu? Katakan teman, apa yang bisa kulakukan?"

"Minumlah arak ini, Arye. Pagi ini belum hangat. Lihat, kabut pelabuhan pun belum menyadarkanmu. Dinginnya masih membekukan pemikiranmu. Aku hanya berharap, kau pun segera menemukan cinta, bukan hanya sibuk mengurusi pedang dan samuderamu,"

"Kapan kau akan berlayar lagi?"

"Entahlah. Mungkin sebulan lagi. Awak kapalku masih ingin berkumpul dengan keluarganya. Mereka membutuhkan kehangatan itu, Arye."

"Berhentilah berlayar. Ikutlah aku ke dimensi materi. Kita akan menemukan gadis itu, Boone. Kita berdua. Bagaimana?"

"Kau gila, Arye. Kau gila,"

"Bila sahabatku gila. Maka aku akan lebih gila lagi, teman."

"Nanti malam bulan Kislew. Bukankah kau ada pesta di istana?"

"Boone.... kau tak menjawab pertanyaanku."

"Lupakan gadis itu, bodoh."

"Mengapa? Hanya sebatas itukah perjuanganmu, kawan?"

"Sudahlah. Dimensi kami berbeda. Aku juga tak pernah mengerti apa dia masih hidup atau sudah mati,"

"Apa maksudmu?"

"Aku meninggalkannya saat ganggroon Lumira menguasai kotanya,"

"Ayolah, kawan. Belum tentu ia mati. Mungkin juga ia masih hidup. Mengapa kau menyerah begitu saja, Kapten. Begini, jika saja kita menemukannya sudah mati. Maka kita tahu ia disana sudah mati. Tapi bukan seperti ini. Ayolah,"

Boone terdiam. Tak pernah ia merasakan sahabat kecilnya bersemangat seperti ini. Dan kini sahabatnya itu mempertaruhkan hidup hanya demi mimpinya. Hanya demi seorang gadis yang bahkan belum dikenalkannya pada Arye. Seorang gadis yang hanya punya nama sesingkat Tanya.

*Solo, ketika kita merindukan seseorang, kita pun akan merindukan perasaan kita saat bersamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun