Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Temukan Kembali Hidup Harmonis lewat Filosofi Gamelan

23 September 2019   20:16 Diperbarui: 25 September 2019   13:31 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gamelan Jawa (Ilustrasi: worldmusiccentral.org)

Hidup ini adalah sebuah pembelajaran. Belajar bagaimana kita mengisi kesempatan demi kesempatan yang coba dihadirkan alam dan lingkungan dalam keseharian kita.

Melihat berbagai macam konflik sosial yang tengah terjadi di Indonesia, menggugah benak saya untuk mendefinisikan kembali arti sebuah rasa harmonis.

Maraknya gejolak aksi sosial yang dipicu oleh isu-isu sosial politik membuat masyarakat kembali tergugah alam sadarnya untuk mencapai titik kesadaran diri. Apakah untuk meresponi kasus-kasus tersebut, atau hanya sekadar ingin menjadi bagian dari kasus itu.

Masyarakat seakan terhegemoni menjadi beberapa kelompok sosial. Tetap konsisten pada pilihannya atau lebih memilih untuk menjadi agen perubahan sesuai dengan arus dinamika konflik sosial yang sedang marak terjadi.

Saya tidak akan menulis terlalu banyak tentang kritik sosial atau isu politik yang sedang merajai langit Indonesia. Sekali-kali tidak. Saya hanya melihat apa yang saat ini sedang terpampang dalam berbagai berita di media sosial.

Melihat hegemoni massa tersebut, saya malah teringat pada sebuah tatanan musik tradisional Jawa. Sekumpulan instrumen atau alat musik Jawa yang banyak kita kenal sebaga gamelan.

Belum ada penjelasan dan literasi pasti mengenai sejarah terciptanya seperangkat instrument gamelan ini.

gamelan Jawa | dokumentasi pribadi
gamelan Jawa | dokumentasi pribadi
Pertama kali gamelan dipercaya tercipta hanya terdiri dari satu instrumen saja, yakni gong. Karena gong bila ditabuh hanya menimbulkan satu resonansi suara yang berkumandang, maka diciptakanlah lagi sebuah gong yang menjadi pasangan gong yang pertama.

Seiring dengan keinginan para penikmatnya, maka agar terbentuk suatu harmonisasi suara sebagai pemenuhan kebutuhan akan instrumen pengiring Gending Jawa, maka diciptakanlah sekumpulan instrumen gamelan.

Terdiri dari gong, bonang barung, saron penerus, gender, kethuk, kenong, kendang, kempul, bahkan ditambahkan siter, suling, dan bermacam alat musik lain yang akhirnya jika dimainkan akan membunyikan suatu harmonisasi musik sebagai sebuah alunan simfoni nada-nada pentatonis yang begitu bersahaja.

Bonang barung dan kendang memang bertugas sebagai "bawa", yaitu instrumen yang membuka lagu dan penentu tepatnya ketukan sebuah gending. Jika tidak tepat, maka sinkronisasi lagu atau Gending akan terdengar mengganggu atau bisa saya katakan, lagu atau gending tersebut akan bubrah ( hancur ).

Nah, sekali lagi saya di sini pun tidak akan membahas mengenai musik atau lagu. Namun ada yang menggelitik benak dan hati saya, sehubungan dengan filosofi yang termaktub dalam tatanan instrumen gamelan ini.

Bila setiap instrumen gamelan itu berdiri sendiri, mungkin fungsinya tak dapat dirasakan dengan indah. Bukankah sebuah gong hanya akan berdengung jika dibunyikan. Tak ada keindahannya. 

Begitu pula dengan kendang, saat dipukul, kendang mungkin akan menimbulkan efek suara yang bagus. Namun akan sangat membosankan jika kita mendengarkan tabuhan gendang selama setengah jam saja. 

Tapi lain soal jika gender dan saron penerus dijadikan satu. Dimainkan sesuai fungsinya masing-masing. Pasti akan membuat suasana yang monoton menjadi lebih eksotis.

Apa yang ingin saya tuliskan di sini adalah sebuah harmonisasi. Kehidupan ini sangat indah jika kita tahu bagaimana kita bisa menempatkan diri kita menjadi bagian dalam hidup bermasyarakat. 

Membaca kembali sebuah artikel yang ditulis oleh seorang Kompasianer Sri Winarno, "Karawitan (Gamelan), Guru Filsafat Bagi Manusia", menggugah kembali benak saya untuk mempelajari kembali seni gamel (nabuh).

Hubungan antara manusia dengan Tuhan dan dengan sesamanya telah diracik sedemikian indahnya dalam instrumen gamelan. Maka bukanlah satu hal yang mengherankan jika kita pun menyadari bahwa semua sistem budaya yang dikembangkan oleh nenek moyang kita terdahulu sama indahnya dengan cita-cita persatuan bagi negri ini.

Sadari bahwa pemimpin tidak mungkin berdiri sendiri sebagai pemimpin, jika tak ada yang dipimpin. Demikian pula rakyat, yang telah menjalankan fungsinya masing-masing, tak akan mampu berjalan beriringan tanpa seorang pemimpin. 

Harmonisasi akan terdengar indah, simfoni akan melantun cantik dan menarik bila tak muncul dominasi fungsi dari salah satu elemennya. 

Saling mengingatkan, itu tak mengapa, saling melengkapi itu lebih baik. Hidup bersama akan lebih bermakna meski penuh warna, dibandingkan dengan hidup seorang diri.

Bukankah Hawa tercipta di dunia ini karena Adam tak baik tercipta dan hidup seorang diri? 

Kebersamaan membutuhkan kata "saling". Saling membutuhkan kata "memahami". Memahami membutuhkan kata "tidak egois". Tak egois membutuhkan kata "kasih".

Namun kata hanyalah sekedar kata. Kata akan lebih bermakna jika kita menghidupinya. 

Tidak mudah? Tentu saja. 

Selama yang tertanam di bawah alam bawah sadar kita hanyalah "tidak mudah", maka selamanya segala hal itu akan menjadi "tidak mudah".

* Selamat menjalani hidup yang harmonis. Selamat menikmati simfoni hidup yang manis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun