Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Semar Mendem, Makanan Sarat Filsafat yang Bermartabat

14 Juli 2019   11:23 Diperbarui: 14 Juli 2019   11:31 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pinterest.com/Sangaji Pramono

Tanggal 13/07/2019 merupakan hari yang sangat indah. Terukir cantik di langit Indonesia nan megah. Pertemuan antara dua pemimpin hebat, untuk memusnahkan debat dari dua kubu yang tak kunjung bersahabat.

Saat membaca artikel Kompascom (13/07/2019) saya sempat teringat akan sosok Semar sebagai tokoh Punokawan yang dituakan dan dihormati.

Teringat pula saya akan sebuah nama jajanan pasar berbentuk persegi panjang, dengan kenikmatan yang tiada duanya. Namanya Semar Mendem.

Pernah mencoba kelezatan kue Semar Mendem? Hmmm, jajanan pasar yang satu ini selalu dicari jika kita mampir berwisata di Solo atau Jogjakarta. 

Terbuat dari beras ketan, di dalamnya berisi abon sapi atau abon ayam,hampir serupa lemper. 

Bedanya, kalo lemper dibungkus daun pisang, kemudian dikukus sebentar, baru bisa dinikmati. Sedangkan Semar Mendem dibungkus dengan dadaran tepung dan telur, dan cara menikmatinya dengan diberi saus santan biasanya dinamakan "areh".

Dinamakan Semar Mendem, karena legit ketan nan gurih, ditambah rasa abon sapi atau ayam, disertai dengan kuah kental semacam pasta yang terbuat dari santan kelapa, membuat makanan ini dijamin akan memanjakan lidah Anda dengan aneka rasa nikmat bercampur menjadi satu.

Tidak ada kaidah yang pasti dari mana asal makanan ini dinamakan Semar mendem. Ada yang berasumsi bahwa karena tokoh Semar digambarkan dalam karakter seorang yang berperawakan gemuk dan suka makan, maka makanan ini yang juga berbentuk agak "gendut" pun lantas dijuluki Semar Mendem.

Makanan kecil yang biasa kita jumpai di Solo maupun Jogjakarta dan sekitarnya ini selain bercitarasa gurih dan menggoda, ternyata merupakan makanan yang menyimpan filosofi Jawa yang sangat dalam.

Kali ini saya tidak akan membahas kuliner di kolom ini. Namun hal filosofi yang terkandung dalam makanan ini menjamu imaji saya untuk menuliskannya dan membagikannya.

Semar dalam kearifan dan perjuangan akan kebenaran

Semar dalam pewayangan Jawa adalah sosok titisan dewa yang seringkali mengajarkan segala hal yang membawa pencerahan bagi semua orang di sekitarnya. 

Dilambangkan sebagai seorang nan arif, Semar sering dijadikan panutan dengan semua kritik dan kebenaran sebagai masukan kepada pemimpin yang penuh dengan kekuasaan. Sedangkan "mendem" dalam bahasa Jawa berarti (mabuk).

Semar dalam bermacam literasi juga digambarkan sebagai karakter dewa yang pada awalnya berlomba dengan Togog, untuk membuktikan seberapa besar kedigdayaan mereka. 

Sebagai sesama dewa mereka berlomba untuk memakan gunung. Sebagai akibatnya, mereka berdua lantas dihukum untuk turun ke dunia sebagai pelayan di dua kerajaan yang berbeda.

Semar sebagai pelayan berani untuk memberi masukan berupa kebenaran kepada majikannya, para Pandawa. Meski terkadang usulannya tak selalu disepakati oleh sang majikan.

Lantas bagaimana dengan negri ini?

Pun kita bangsa Indonesia telah selesai dari perhelatan akbar dalam panggung politik negri ini. Telah terpilih bagi Indonesia  pribadi-pribadi yang nantinya akan menduduki kursi hangat nan empuk, nyaman dan nikmat, dengan segala fasilitas yang tersedia.

Kursi sebagai lambang tugas negara yang ada di pundak dan dada para negarawan baik kursi dengan sebutan " eksekutif", "yudikatif", maupun "legislatif".

Tidak perlu dijelaskan lagi secara terperinci setiap tugas mereka. Yang pasti semua berharap, segala fasilitas dan kemolekan, serta kemilau adat budaya yang mungkin akan merubah gaya hidup para wakil rakyat ini, tak akan membuat mereka mabuk kepayang.

Tugas negara menanti, bukan perubahan budaya dan gaya hidup mewah yang dinanti. Satu kata saja yang pasti, komitmen dan realisasi janji.

Semar sebagai tokoh yang berasal dari rakyat biasa, bahkan berangkat dari sebuah profesi yang tidak diunggulkan (pelayan),  kemudian muncul sebagai tokoh panutan karena konsisten menyuarakan kebenaran, memberikan masukan sebagai saran bagi pembenahan kondisi bangsa ke depan.

Filosofi Semar mendem 

Si Semar, seringkali dikaitkan dengan sebuah karakter Pemimpin, diharapkan jangan sampai "mendem" (mabuk), hingga lupa acuan dan mimpi awal, mengusung cita-cita idealis seorang wakil rakyat dan pemimpin bangsa, saat memasuki pintu utama ruang sidang rakyat.

Janji melayani sepenuh hati akan terucap bulan Oktober nanti. Namun janji dan mimpi besar tak akan selesai jika tidak disertai penyelesaian yang nyata. Sedangkan janji dan mimpi memerlukan komitmen, untuk menyelesaikannya dengan baik.

Andakah seorang pemimpin itu? Andakah pemangku janji dan mimpi bangsa ini ? Sungguh bangsa ini membutuhkan pemimpin yang berkomitmen. Bukan hanya kompeten dalam perumusan mimpi yang disebut cita-cita dan janji.

Semar mendem, hmmm, makanan ini memang kezat. Legit dan nikmat mulai dari first bite (gigitan pertama), terus memikat kita untuk lanjutkan ke gigitan selanjutnya. 

Fla atau yang biasa dipanggil rakyat penikmat semar mendem sebagai "areh", terbuat dari santan kelapa yang diolah menjadi agak kental serupa fla, semakin menambah gurih citarasa Semar mendem. Cobalah sekali waktu, dan nikmatilah falsafah yang terkandung dalam setiap gigitannya.

Jangan mendem (mabuk) dengan kenikmatannya, kenyamanan yang diberikan, kursi empuk, ruang nyaman, dan berbagai fasilitas nan nikmat. 

Sebab itulah tulisan ini dibuat, hanya sebagai pengingat, bahwa amanat rakyat haruslah selalu dikawal ketat.

Sebuah falsafah Jawa yang juga menjadi filosofi hidup seorang pemimpin yang kita kenal sebagai Presiden Jokowi, menutup tulisan saya. 

"Lamun siro sekti, ojo mateni (meskipun kamu sakti/kuat,  jangan suka menjatuhkan) , 

Lamun siro banter, ojo ndhisiki (meskipun kamu cepat, jangan mendahului) ,

Lamun siro pinter, ojo minteri (meskipun kamu pandai, jangan sok pintar)"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun