Setelah shalat ashar, saya sempatkan berdoa memohon untuk diberikan jalan keluar tentang permasalahan ekonomi yang sedang saya alami, ketika tabungan tidak ada, cicilan masih menyapa dan masih menjadi misteri bahwa besok dapat uang darimana.
Strategi penghematan hingga mencari pekerjaan sampingan telah saya coba, namun tenaga sudah habis, terkadang saya harus berada 16 jam di luar rumah, berangkat pagi jam 7 dan jam 9 baru sampai di rumah, tapi hasilnya tidak berdampak signifikan di saldo rekening.
Selepas shalat, saya melakukan gesture yang sering dilakukan oleh Bapak-Bapak di akhir bulan, yakni duduk sambil memegang kening, sebuah gestur yang menandakan adanya hal yang sedang tidak baik-baik saja.
Lalu dari dalam kamar, seorang Anak yang baru duduk di TK 0 kecil tersebut datang menyapa saya dengan Bahasa ala bocilnya, perkenalkan dia bernama Noia.
"Bapak kalau pusing seperti ini (dia memperagakan gesture saya), harus makan obat, ini obatnya," lalu dia memberikan wafer coklat sachet isi dua keeping kepada saya yang masih mengenakan sarung.
"Terima kasih," jawab saya sembari membuka bungkusan wafer tersebut.
Karena ada 2 keping, saya berikan salah satu wafer untuk Noia, dia mengambil satu wafer tersebut dengan gembira. Saat saya sedang berada di fase bingung, justru dirinya masih bisa tersenyum sembari menikmati wafer coklat kesukaannya.
Noia memang gemar bercerita, kecuali saat dirinya sedang sakit. Setelah mengunyah wafernya sampai habis, dia lalu menunjukkan gambarnya yang ia lukis bersama gurunya. Bocah tersebut bercerita tentang gambar kelinci yang sedang makan ru[IP1] mput.
"Ayah, liat ini, ini gambal kelinci yang sedang makan rumput," celotehnya.
"Trus ini apa kok ada warna cokelat?" tanya saya
"Oh ini tanah,"