Mohon tunggu...
Humaniora

[Inspirasi Hidup] Sanggupkah Aku? (Kisah Nyata Perempuan Kecil Titipan Tuhan)

18 Januari 2018   07:49 Diperbarui: 18 Januari 2018   09:16 8146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://rebanas.com/

Hari demi hari kulewati tanpa sosok seorang ayah dan untuk menghidupi keluarga, ibuku yang belum sembuh sepenuhnya membuat beberapa gorengan dan menyuruhku untuk menjualnya. Kubawa jualan tersebut setiap kesekolah akan tetapi kubelum tahu cara untuk menjual karena ini merupakan pertama kalinya. Saat pulang kulihat wajah ibuku yang berseri-seri didepan pintu seakan menunggu kepulanganku. Kulihat dia menghitung hasil jualannya namun ternyata banyak kerugian yang didapatkannya. Bagaimana tidak seorang anak kecil sepertiku yang belum tahu tentang jual beli mudah untuk dibohongi orang lain atau para pembeli. Rasanya hatiku ingin berteriak pada saat itu melihat betapa susahnya ibuku membuatnya namun ternyata hasil yang didapatkannya tidak sesuai.

"Ya Allah aku rindu dengan ayahku, kapankah dia akan kembali" itulah doaku setiap harinya dengan penuh pengharapan kepada-Nya.

Usiaku semakin bertambah namun ayahku masih belum pulang atau mungkinkah dia tidak akan kembali lagi. Ejekan dari orang-orang terhadapku semakin tak henti-hentinya mereka mengatakan bahwa ayahku telah menikah. Tentu saja hal tersebut membuatku terpukul dan menghanyutkanku dalam kesedihan. Seiring bertambahnya usia pengetahuanku pun semakin tinggi apalagi di bidang Matematika sehingga sejak kelas IV sekolah dasar saya selalu mewakili sekolahku untuk mengikuti olimpiade Matematika, walau tanpa sosok ayah. Namun kondisi ekonomi keluargaku semakin memburuk sehingga dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sebelum berangkat ke sekolah terlebih dahulu kakiku melangkah ke sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari sekolah. Bermacam-macam jualan yang kubawa ke tempat tersebut mulai dari pisang, kacang ditambah lagi titipan dagangan dari orang lain yang dipercayakan kepadaku.

Dengan memakai pakaian seragam sekolah ku duduk disebuah tempat dan membentangkan tikar yang kubawa lalu duduk diatasnya. Namun tidak begitu banyak pembeli sehingga membuatku harus menunggu lama. Dan kulihat beberapa orang yang juga memakai seragam sekolah tengah menertawaiku sambil mengejekku. Tak ku perdulikan mereka meskipun hatiku sedang menangis mendengar ucapan mereka. Tidak pernah ku sesali keadaanku karena ku yakin Allah mempunyai rencana yang terbaik bagiku. Terkadang saya harus kembali dengan keadaan yang sama tanpa membawa sepeser uang, sehingga saat ke sekolah seringkali aku tak membawa apapun dan kuhanya bisa melihat mereka yang makan dikantin sekolah. Sepulang sekolah pun kuharus kembali menjual titipan orang  dengan berkeliling desa namun hasil yang kudapatkan meskipun tak seberapa setidaknya bisa membantu ibu.

Saat bulan Ramadhan telah tiba, tak ada yang kuminta kepada Allah selain mengharapkan agar ayahku pulang ke rumah. Ditengan kesunyian malam, saat semua orang tertidur pulas menuggu waktu sahur kumasih terjaga dari tidur hanya suara jangkrik yang menemaniku. Kubangun dan berdo'a kepada Allah agar ayahku bisa pulang, itulah yang kulakukan setiap malamnya. Namun Ramadhan tahun itu kulewati tanpa bersama dengannya, kuhanya berfikir mungkin Allah akan mengabulkannya beberapa saat lagi.

Pagi itu terasa cerah sehingga membuatku ingin keluar rumah dan bermain bersama teman-teman. Sinar matahari pun semakin menyengat tubuhku hingga bercucuran keringat, karena lelah kuingin kembali kerumah. Betapa terkejutnya ketika ku melihat sesosok laki-laki yang sedang duduk di ruang tamu sambil memakai topi tengah melihatku dari kejauhan. Karena penasaran aku pun mendekatinya dan kulihat dirinya yang sepertinya tidak asing lagi bagiku. Jantungku pun semakin berdebar kencang saat semakin dekat dengannya dan ternyata dia adalah sosok yang selama ini kurindukan.

"Ayah..." ku peluk dirinya sambil menangis tersedu-sedu, kucubit diriku untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Kulihat dia mengusap rambutku yang sedikit bergelombang, mungkin ini adalah jawaban dari do'aku selama ini kepada Allah. Rasanya badanku ingin meleleh karena kebahagiaan ini. Hal tersebutlah yang selalu membuatku yakin bahwa selama manusia berdo'a dengan sungguh-sungguh dan penuh khusyu' kepada-Nya maka Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya. Keyakinanku semakin bertambah bahwa Allah akan senantiasa mengabulkan do'a hamba-Nya tapi tidak dengan sekaligus dan bukan berati Allah tidak mengabulkan do'a kita akan tetapi Dia Maha Mengetahui waktu yang tepat untuk mengabulkannya.

Sebelum mentari menampakkan dirinya ku terbangun dan betapa senangnya hatiku saat melihat ayahku sudah ada di rumah. Hari pertama kepulangan ayahku setelah pergi entah kemana membuatku ingin selalu memandanginya.

"Dhil, ayahmu sudah pulang?" sebuah pertanyaan yang membuatku merasa senang. Tentu saja kujawabnya dengan gembira karena sosok seorang ayah sudah ada di dekatku. Segudang cerita dan kesedihan ingin kuceritakan kepadanya, perlahan ku berjalan mendekatinya yang duduk di teras rumah. Saat mendengar curhatan dariku kulihat air mata membasahi pipinya yang mulai berkerutan.

"Ayah minta maaf nak, dan Insya Allah akan kuganti penderitaan yang selama ini kamu alami." Rasa bersalah menyelimuti hatinya seakan kesalahannya tidak bisa diampuni. Memang saat itu semua keluargaku belum bisa menerimanya karena telah meninggalkan keluarganya selama satu tahun lebih. Dan kukatakan kepadanya untuk tetap bersabar dan berusaha agar dia bisa dimaafkan.

Tetapi kehidupan tak selalu indah, bagaikan sayur pastilah akan hambar tanpa garam dan bumbu-bumbu. Namun semakin banyak bumbu yang diberikan akan semakin bagus pula akhirnya. Itulah kehidupanku, belum lama setelah kepulangan ayahku terjadi lagi beberapa masalah diantara kedua orangtuaku sehingga membuat hatiku terasa teriris-iris. Mengapa tidak, hampir setiap hari kumelihat ayah dan ibuku beradu mulut sehingga kebahagiaan yang baru saja kudapat seakan mulai sirna. Kuhanya bisa masuk ke dalam kamar dan menangis tapi sedikitpun tak pernah aku menyesali nasibku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun