Siti Maryam berkisah, jika dia di Dusun Manggis sudah 10 generasi. Berasal dari leluhurnya yang diusir oleh keluarga besarnya di Pamenang. Mereka yang terusir akhirnya menyusuri sungai Batang Asai dan Meloko.Â
Akhirnya mereka menepati  sebuah tempat yang banyak dijumpai pohon manggis hutan dan menjadi nama kampungnya, Dusun Manggis. Sebuah dusun mungil-terisolir yang terletak di tengah-tengah hutan lindung. Dulu mencari asa dan kini tinggal nestapa.
Pukul 08.30 kami sudah siap menempuh perjalanan jauh hari ini. Orang kampung Napal Melintang mengatakan, menuju Dusun Manggis bisa satu hari penuh perjalanan. Bisa dibayangkan?
Pagi ini kami berempat dihantar oleh Pak Muhamad Tola, mantan Sekdes Napal Melintang. Dahulu saat masih menjabat sekdes, pak Tola dalam sebulan bisa 1 -2 kali berjalan ke Dusun Manggis.Â
Kami juga ditemani Roby, sekdes baru yang akan mengikuti jejak seniornya. Pak Rusli sebagai seorang pemburu dan pencari kayu hutan ikut bersama kami sebagai penunjuk jalan.
Dusun Manggis adalah salah satu dusun di Desa Napal Melintang, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dusun ini letaknya di tengah-tengah hutan lindung.Â
Jarak terdekat menuju dusun ini adalah dari Napal Melintang sejauh 14 km, atau Sungai Beduri sejauh 22 km, dan atau melalui Batang Asai dengan perahu selama 6 - 12 jam.
Bukan perkara susahnya, tetapi lintah yang menjadi momok bagi kami. Beberapa kali kami mencabuti lintah yang sudah menghisap darah kami. Darah mengucur dan kami biarkan dibilas oleh air sungai ketari.
Sudah 1,5 jam kami berjalan tanpa berhenti akhirnya sampai juga di batas sungai dan hutan. Sebuah gubug kecil menjadi persinggahan kami. Hutan lebat siap menyambut kami. Kembali kami memastikan, tidak ada lintah yang menghisap kulit kami.
Perjalanan kami sedikit kontras. Saya dan teman-teman bergaya ala mapala dengan pakian rimba. Namun pak Tola hanya dengan celana setinggi lutut, kaus singlet, sandal jepit, topi rimba, dan tas mungil, serta golok. Dia nampak berjalan santai seolah tidak ada beban, berbeda dengan kami yang tergopoh-gopoh dan keringat bercucuran.
Di depan pak Tola dan Rusli berjalan dan kadang hanya terdengar mereka berbincang dan tertawa. Kami tertinggal jauh di belakang, sedangkan Roby dipastikan menjadi orang terakhir dari kami.
Langkah kaki kami yang secara usia jauh lebih mudah tak semudah orang tua yang ada di depan dalam memijakan kaki menembus bukit di jalan setapak. Akhirnya mereka paham juga jika nafas kami hampir putus dan mereka melonggarkan kabel gasnya untuk berjalan pelan.
Mereka berdua sepertinya tidak memiliki raut muka lelah. Bagimana tidak, kami berjalan dengan satu dua nafas, mereka berjalan sembari tertawa dan asap rokok mengepul dari mulutnya. Kebiasaan kami mendaki gunung dan lari pagi, sepertinya belum bisa mengimbangi mereka berjalan kaki di tengan rimba raya.
Sebuah tanjakan yang cukup terjal berhasil kami lalui. "Ini peradun Murau namanya mas" kata pak Tola. "Peradun itu artinya tempat istirahat dan murai itu nama kayu, karena ditemukan di sini" pak Rusli menimpali. Akhirnya kami satu persatu sampai juga di tempat datar ini dan tepat pukul 10.45.
"Ayo guyur.. guyur.." kata Pak Tola, yang artinya ayo jalan. Belum darah ini mengering, karena saat istirahat kami mencabuti lintah yang sedang asyik menghisap darah kami harus segera berjalan. Langkah kaki semakin pendek, manakala pak Rusli mengatakan masih ada 4 bukit lagi.
"Mas setinggi-tingginya bukit, kalau kita daki pasti akan tetapi di bawah kaki kito" kata pak Tola memberi semangat pada kami.Â
Rekan kami mas Sigit yang nampak sudah gentayangan "Iya pak kalau di daki, kalau dilihat dari ini ya tetap di atas kepala kita pak". "hahaha ayo guyur" kata pak Rusli dan kami segera mengikutinya, sebab berhenti artinya memberi makan lintah.
Makan yang sangat nikmat, karena hawa yang sejuk dari kanopi hutan hujan tropis yang melindungi kami. Suhu udara sekitar 25C dan kelembapan sekitar 80% membuat lingkungan yang nyaman. Jika tidak banyak lintah pasti kami sudah tertidur nyenyak di sini.
Kembali kami berjalan, dan akhirnya satu jam kemudian kami sampai di Peradun Taye, taye adalah nama mangga hutan/pakel. Di tempat ini kami beriistirahat agak lama, karena habis tempat ini akan melewati jalan eskavator yang panjang.
Mungkin cerita nenek Siti Maryam menunjukan mengapa mereka pergi ke hulu, karena emas. Menurut cerita pak Tola, dalam sebulan Manggis bisa menghasilkan sampai 1 - 2 kg emas. Kekayaan alam yang nantinya menjadi kutukan.
Tidak diketahui dengan pasti siapa yang berani menerobos kawasan hutan lindung ini dengan eskavator. Yang pasti, jejak jalan eskavator ini masih ada dan terbuka.Â
Cerita yang berkembang, di bagian hulu sungai banyak penambang yang mencari emas. Sungai yang keruh dan berwarna kuning menjadi indikator adanya aktivitas penambangan, karena ada lumpur yang ikut terlarut saat pencucian batuan.
Mas Andi rekan saya duduk terdiam di hamparan pohon-pohon yang telah tumbang. Matanya terlihat nanar melihat kerusakan hutan akibat pembukaan lahan. Sangat kontras sekali dengan hutan disekitarnya yang masih nampak hijau lebat.
"Wadoooh orang manggis ini" kata Pak Tola saat melihat hamparan hutan yang telah gundul. Lantas saya bertanya, memangnya kenapa pak dengan Orang Manggis.Â
"Mereka terpaksa membuka lahan di hutan, karena sawah mereka sudah tidak ada lagi karena didonfeng (dikeruk untuk tambang emas). Mereka kini menanam padi lahan kering, dan begini jadinya" sambil menunjuk hutan yang sudah kering kerontang.
Akhirnya kami sampai di tepi sungai Kemlako kecil yang airnya jernih. Mungkin ini satu-satunya sungai yang saya temui yang airnya masih jernih. Muka saya yang kepanasan segera saya guyur dan kaki yang kelelahan ini saya rendan.
"Ayo guyur, manggis 1 jam lagi sampai" kaya pak Rusli dan pak Tola sudah jauh di depan. Bergegas kami berjalan menyusuri sungai. Memasuki Dusun Manggis, benar saja terlihat bebatuan hasil galian di sana-sini.Â
Terlihat petak-petak bekas sawah yang kini seperti planet mars, penuh dengan batuan dan kering. Inilah salah satu kutukan kekayaan alam ini  yang bisa menghancurkan sumber kehidupan.
Wajah asing kami menjadi pusat perhatian warga. Yang membuat kami tenang adalah mereka semua mengenali wajah dan hormat pada pak Tola. Mereka juga kenal dengan pak Rusli dan Roby, sehingga amanlah kita.
Pak Tola yang suka bercanda mengajak kita berkenalan dengan orang-orang di kampung. Saya sepertinya tidak mau melewatkan momen menarik ini.Â
Ada beberapa mereka yang menolak saya bidik dengan kamera. Ada juga mereka yang curiga terhadap kami, namun pak Tola meyakinkan meraka dengan berkata "tidak apa-apa, mereka utusannya Jokowi".