Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Dusun Manggis yang Murung di Tengah Hutan Lindung

6 September 2019   15:58 Diperbarui: 8 September 2019   13:13 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sisa-sisa sawah di Dusun Manggis (Dokumentasi pribadi)

Siti Maryam berkisah, jika dia di Dusun Manggis sudah 10 generasi. Berasal dari leluhurnya yang diusir oleh keluarga besarnya di Pamenang. Mereka yang terusir akhirnya menyusuri sungai Batang Asai dan Meloko. 

Akhirnya mereka menepati  sebuah tempat yang banyak dijumpai pohon manggis hutan dan menjadi nama kampungnya, Dusun Manggis. Sebuah dusun mungil-terisolir yang terletak di tengah-tengah hutan lindung. Dulu mencari asa dan kini tinggal nestapa.

Pukul 08.30 kami sudah siap menempuh perjalanan jauh hari ini. Orang kampung Napal Melintang mengatakan, menuju Dusun Manggis bisa satu hari penuh perjalanan. Bisa dibayangkan?

Pagi ini kami berempat dihantar oleh Pak Muhamad Tola, mantan Sekdes Napal Melintang. Dahulu saat masih menjabat sekdes, pak Tola dalam sebulan bisa 1 -2 kali berjalan ke Dusun Manggis. 

Kami juga ditemani Roby, sekdes baru yang akan mengikuti jejak seniornya. Pak Rusli sebagai seorang pemburu dan pencari kayu hutan ikut bersama kami sebagai penunjuk jalan.

Dusun Manggis adalah salah satu dusun di Desa Napal Melintang, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dusun ini letaknya di tengah-tengah hutan lindung. 

Jarak terdekat menuju dusun ini adalah dari Napal Melintang sejauh 14 km, atau Sungai Beduri sejauh 22 km, dan atau melalui Batang Asai dengan perahu selama 6 - 12 jam.

Nenek Siti Maryam yang berkisah tentang leluhurnya (Dokumentasi pribadi)
Nenek Siti Maryam yang berkisah tentang leluhurnya (Dokumentasi pribadi)
Kami memutuskan untuk menempuh melalui rute Napal Melintang. Sebuah ransel sudah saya kenakan dan saatnya berjalan. Langkah awal yang cukup berat karena kami harus berjalan di sepanjang aliran sungai. 

Bukan perkara susahnya, tetapi lintah yang menjadi momok bagi kami. Beberapa kali kami mencabuti lintah yang sudah menghisap darah kami. Darah mengucur dan kami biarkan dibilas oleh air sungai ketari.

Sudah 1,5 jam kami berjalan tanpa berhenti akhirnya sampai juga di batas sungai dan hutan. Sebuah gubug kecil menjadi persinggahan kami. Hutan lebat siap menyambut kami. Kembali kami memastikan, tidak ada lintah yang menghisap kulit kami.

Perjalanan kami sedikit kontras. Saya dan teman-teman bergaya ala mapala dengan pakian rimba. Namun pak Tola hanya dengan celana setinggi lutut, kaus singlet, sandal jepit, topi rimba, dan tas mungil, serta golok. Dia nampak berjalan santai seolah tidak ada beban, berbeda dengan kami yang tergopoh-gopoh dan keringat bercucuran.

Di depan pak Tola dan Rusli berjalan dan kadang hanya terdengar mereka berbincang dan tertawa. Kami tertinggal jauh di belakang, sedangkan Roby dipastikan menjadi orang terakhir dari kami.

Langkah kaki kami yang secara usia jauh lebih mudah tak semudah orang tua yang ada di depan dalam memijakan kaki menembus bukit di jalan setapak. Akhirnya mereka paham juga jika nafas kami hampir putus dan mereka melonggarkan kabel gasnya untuk berjalan pelan.

Mereka berdua sepertinya tidak memiliki raut muka lelah. Bagimana tidak, kami berjalan dengan satu dua nafas, mereka berjalan sembari tertawa dan asap rokok mengepul dari mulutnya. Kebiasaan kami mendaki gunung dan lari pagi, sepertinya belum bisa mengimbangi mereka berjalan kaki di tengan rimba raya.

Sebuah tanjakan yang cukup terjal berhasil kami lalui. "Ini peradun Murau namanya mas" kata pak Tola. "Peradun itu artinya tempat istirahat dan murai itu nama kayu, karena ditemukan di sini" pak Rusli menimpali. Akhirnya kami satu persatu sampai juga di tempat datar ini dan tepat pukul 10.45.

"Ayo guyur.. guyur.." kata Pak Tola, yang artinya ayo jalan. Belum darah ini mengering, karena saat istirahat kami mencabuti lintah yang sedang asyik menghisap darah kami harus segera berjalan. Langkah kaki semakin pendek, manakala pak Rusli mengatakan masih ada 4 bukit lagi.

"Mas setinggi-tingginya bukit, kalau kita daki pasti akan tetapi di bawah kaki kito" kata pak Tola memberi semangat pada kami. 

Rekan kami mas Sigit yang nampak sudah gentayangan "Iya pak kalau di daki, kalau dilihat dari ini ya tetap di atas kepala kita pak". "hahaha ayo guyur" kata pak Rusli dan kami segera mengikutinya, sebab berhenti artinya memberi makan lintah.

Makan siang di Peradun Gedang (dokumentasi pribadi)
Makan siang di Peradun Gedang (dokumentasi pribadi)
Pukul 12.00 akhirnya kami sampai di Peradun Gedang atau tempat istirahat yang luas. Segera kami membuka bekal dan di tengah matahari yang terik ini kami makan siang. 

Makan yang sangat nikmat, karena hawa yang sejuk dari kanopi hutan hujan tropis yang melindungi kami. Suhu udara sekitar 25C dan kelembapan sekitar 80% membuat lingkungan yang nyaman. Jika tidak banyak lintah pasti kami sudah tertidur nyenyak di sini.

Kembali kami berjalan, dan akhirnya satu jam kemudian kami sampai di Peradun Taye, taye adalah nama mangga hutan/pakel. Di tempat ini kami beriistirahat agak lama, karena habis tempat ini akan melewati jalan eskavator yang panjang.

Jalan eskavator penambang liar di tengah hutan lindung (dokumentasi pribadi)
Jalan eskavator penambang liar di tengah hutan lindung (dokumentasi pribadi)
Selepas Peradun Taye, benar saja kami menemukan jalan bekas jalan eskavator. Alat berat ini didatangkan oleh penambang emas liar. Bagaimana tidak, Dusun Manggis adalah area yang kaya akan kandungan emas. 

Mungkin cerita nenek Siti Maryam menunjukan mengapa mereka pergi ke hulu, karena emas. Menurut cerita pak Tola, dalam sebulan Manggis bisa menghasilkan sampai 1 - 2 kg emas. Kekayaan alam yang nantinya menjadi kutukan.

Tidak diketahui dengan pasti siapa yang berani menerobos kawasan hutan lindung ini dengan eskavator. Yang pasti, jejak jalan eskavator ini masih ada dan terbuka. 

Cerita yang berkembang, di bagian hulu sungai banyak penambang yang mencari emas. Sungai yang keruh dan berwarna kuning menjadi indikator adanya aktivitas penambangan, karena ada lumpur yang ikut terlarut saat pencucian batuan.

Sungai yang keruh akibat penambangan di hulu (dokumentasi pribadi)
Sungai yang keruh akibat penambangan di hulu (dokumentasi pribadi)
Selama 2 jam kami mengikuti jalan eskavator yang naik turun. Matahari sudah semakin condong ke barat dan harus dihadapkan pada sebuah bukit yang benar-benar curam. Dengan tenaga tersisa kami sampai juga di puncak bukit. 

Mas Andi rekan saya duduk terdiam di hamparan pohon-pohon yang telah tumbang. Matanya terlihat nanar melihat kerusakan hutan akibat pembukaan lahan. Sangat kontras sekali dengan hutan disekitarnya yang masih nampak hijau lebat.

"Wadoooh orang manggis ini" kata Pak Tola saat melihat hamparan hutan yang telah gundul. Lantas saya bertanya, memangnya kenapa pak dengan Orang Manggis. 

"Mereka terpaksa membuka lahan di hutan, karena sawah mereka sudah tidak ada lagi karena didonfeng (dikeruk untuk tambang emas). Mereka kini menanam padi lahan kering, dan begini jadinya" sambil menunjuk hutan yang sudah kering kerontang.

Kawasan hutan yang dibuka untuk ladang (Dokumentasi pribadi)
Kawasan hutan yang dibuka untuk ladang (Dokumentasi pribadi)
Kami berjalan pelan menyusuri hutan yang gundul akibat pembukaan lahan pertanian. Yang terbenak dalam pikiran saya, sebentar lagi akan ada pembakaran hutan. 

Akhirnya kami sampai di tepi sungai Kemlako kecil yang airnya jernih. Mungkin ini satu-satunya sungai yang saya temui yang airnya masih jernih. Muka saya yang kepanasan segera saya guyur dan kaki yang kelelahan ini saya rendan.

"Ayo guyur, manggis 1 jam lagi sampai" kaya pak Rusli dan pak Tola sudah jauh di depan. Bergegas kami berjalan menyusuri sungai. Memasuki Dusun Manggis, benar saja terlihat bebatuan hasil galian di sana-sini. 

Terlihat petak-petak bekas sawah yang kini seperti planet mars, penuh dengan batuan dan kering. Inilah salah satu kutukan kekayaan alam ini  yang bisa menghancurkan sumber kehidupan.

Jalan menuju Dusun Manggis (dokumentasi pribadi)
Jalan menuju Dusun Manggis (dokumentasi pribadi)
Selama 1 jam perlanan, akhirnya kami sampai di Dusun Manggis. 8,5 jam kami berlanan dan tepat pukul 5 sore kami memasuki kampung yang ada di tengah taman nasional. 

Wajah asing kami menjadi pusat perhatian warga. Yang membuat kami tenang adalah mereka semua mengenali wajah dan hormat pada pak Tola. Mereka juga kenal dengan pak Rusli dan Roby, sehingga amanlah kita.

Pak Tola yang suka bercanda mengajak kita berkenalan dengan orang-orang di kampung. Saya sepertinya tidak mau melewatkan momen menarik ini. 

Ada beberapa mereka yang menolak saya bidik dengan kamera. Ada juga mereka yang curiga terhadap kami, namun pak Tola meyakinkan meraka dengan berkata "tidak apa-apa, mereka utusannya Jokowi".


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun