Suatu hari saya berkesempatan mengunjungi Taman Buah Rayong di Bangkok, Thailand. Di tempat tersebut disajikan aneka macam bebuahan ungggul yang acap kali dengan sebutan bangkok. Bersama rombongan, kami langsung menyerbu meja yang berisi bertumpuk-tumpuk durian. Dengan kalap mereka melumat buah tersebut, karena ada aturan silakan bayar dan makan sepuasnya. Usai makan, salah satu menyarankan "tuang air minum dalam cekungan kulit dalam durian lalu minum, biar tidak mabuk". Tanpa berpikir panjang, banyak juga yang meniru, tanpa memahami apa logikanya.
Durian Lokal Kalimantan
Lain waktu saya berkunjung di Kalimatan Tengah. Kebetulan di Kabupaten Lamandau sedang musim durian. Kali ini durian yang disajikan adalah durian-durian lokal Kalimantan. Berbeda dengan bangkok yang terkenal dengan ukurannya yang besar, daging buah yang tebal, rasanya yang manis, dan aromanya yang kuat.
Durian lokal di sini ukurannya kecil, durinya lembek, daging buahnya tipis, aromanya tidak begitu kuat, dan rasanya juga tidak begitu manis. Mungkin bagi pecinta durian, kurang greget menyantap durian lokal Kalimantan.
Fakta Ilmiah Durian
Durian di sisi lain tidak banyak yang menyukai karena ada ketakutan atau mitos-mitos yang berkembang. "Jangan banyak makan durian nanti kolesterol" kata beberapa teman saya. Sepertinya sia-sia saya mengambil mata kuliah biokimia saat pelajaran tentang biosintesis lemak dan kolesterol. Mungkinkan tumbuhan mampu menghasilkan kolesterol/LDL (low density lipoprotein) mustahil, mungkin iya mungkin tidak. Tetapi banyak literatur ilmiah jika LDL disintesis oleh hewan.
Mungkin terlalu banyak menunduk mengawasi belahan-belahan durian agar tidak diserobot temannya, sehingga tengkuk lama-lama pegal. Atau mendadak stres menghitung kulit-kulit bergelimpangan dan teman yang tidak berhenti mengunyah, padahal janji akan bayar.