Mohon tunggu...
J Wicaksono
J Wicaksono Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Kesehatan ingin belajar menulis

Saya suka menulis dan membaca berbagai artikel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bara dan Badai, Kenangan Mei 1998 (Bagian 2)

8 Maret 2024   11:13 Diperbarui: 8 Maret 2024   14:15 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BANGSA, CITA DAN CINTA 

 

Kelana Senja (J Wicaksono)

 

 

 

PROLOG BUKU PERTAMA

Semangat reformasi adalah buah dari sebuah penantian panjang,

Dari anak-anak bangsa yang telah teramat luka,

Derita berkepanjang, mengharap perubahan yang bagai mimpi,

Mimpi, karena Kerajaan yang ada begitu kokoh,

Tiada tempat bagi mereka yang bekerja tidak untuk mereka,

Mei 1998 adalah catatan emas bagi mereka,

Anak-anak bangsa yang saat itu berdiri bersama,

Berusaha meraih cita yang beberapa bulan sebelumnya bagai mimpi,

Kepada para pejuang reformasi,

kupersembahkan buku ini,

Apa, bagaimana dan dimana Pun berada sekarang,

Semoga saudara-saudara semua tetap menjaga jiwa kita,

Tiada niatan memberi noda pada-nya,

Cerita Sebelum, 

Disisi luar, para petugas segera merapatkan barisan dan juru foto sibuk yang sebelumnya berada disekitar gerbang kampus mengambil kamera mendekati kedua kubu serta menanti perkembangan situasi kedepan. Melihat mahasiswa yang mulai bergerak. Pimpinan petugas di lapangan hari itu yang berseragam dengan tanda pangkat balok kuning tiga baris dipundak segera mengatur barisan. Perintah dari komando atas jelas. Mahasiswa dilarang keras keluar dari pagar kampus. Apapun yang terjadi.

3

Melihat massa mahasiswa melebihi jumlah personil yang dipimpin, Kapten Johan, Komandan Detasemen Brigade Mobil dari kepolisian segera mengkonsentrasikan anggotanya di depan gerbang utama kampus.

"Waduh, berabe nih urusannye. Suep, Man, kite bikin barisan di sebelah dalem pager aje, tadi Pak Komandan bilang gitu ke Gua, pokok anak-anak kagak boleh keluar!" dengan logat Betawi yang kental, Pak Kusen mengatur barisannya.terjemahannya kurang lebih ,'Bahaya ini, situasi makin memanas masalah bisa menjadi meluas. Suaib, Maman, kita buat barisan di sisi dalam pagar, Komandan dari kepolisian tadi memberi instruksi seperti itu kepada saya. Mahasiswa tidak boleh keluar dari pagar kampus'

Dalam hitungan menit mahasiswa telah sampai disisi dalam gerbang kampus yang pada hari itu sengaja ditutup. Pihak Rektorat secara tegas mengultimatum, bahwa mereka tidak bertanggung-jawab atas aksi mahasiswa begitu mereka keluar dari halaman kampus. Kelompok satuan pengamanan yang berada diantara mahasiswa dan aparat saat itu menjadi kelompok paling sibuk. Di depan mereka, mahasiswa merangsek, sementara di belakang pasukan dari kepolisian menahan.

"Bos gimana ni?" ('Pak Komandan, bagaimana ini') Syuaib yang sudah berantakan, baik pakaian maupun atributnya berteriak kepada Kusen

"Gua juga bingung, Elu pade diem di sini dulu, jangan geser kemane-mane. Gua laporan Pak Hariawan dulu. Kite da ga' bisa ngatasin!" ('Saya juga bingung, kalian tetap di sini. Jangan mundur walau sejengkal. Saya laporan Bapak Hariawan sekarang. Kekuatan kita tidak cukup kuat menahan para mahasiswa') Kusen pun bergerak mencari Sang Purek III. Ratusan mahasiswa tidak sebanding dengan pasukan yang dipimpin oleh Pak Kusen.

Begitulah suasana di gerbang kampus. Massa mahasiswa berusaha keluar dari halaman kampus, sementara satuan pengamanan terjepit diantara mereka dengan gerbang yang secara ketat pada sisi luar dijaga oleh aparat kepolisian.

"Dai, kelihatannya sulit untuk kita bisa menembus mereka, kayaknya kita ga' mungkin bisa menembus hari ini," di tengah keramaian, Bara mencoba memberi saran kepada Badai.

"Iya kawan, aku pikir gitu juga,"

"Jadi gimana?"

"Sebentar, aku cari Togar,"

"Gar, Togar!" Badai berseru kepada Togar

"Yo kawan, apa?"

"Kau suruh anak-anak mundur 2 meter dari pagar!"

"Ok kawan!" Togar kemudian naik ke atas tembok pagar kampus,"Kawan-kawan, mundur, mundur semua mundur!" Berteriak lantang menggunakan perangkat pengeras suara jinjing .

Tim barikade, mendengar komando Togar, segera mendorong rekan-rekan mahasiswa untuk mundur.

"Kawan-kawan tenang. Kita dengar dulu pimpinan kita bicara! Rekan Badai, silahkan!" Togarpun membantu Badai naik ke atas tembok tempatnya berdiri.

"Kawan-kawan, hari ini belum berakhir. Masih panjang jalan yang akan kita tempuh. Kita tidak boleh berhenti. Bapak-bapak petugas didepan kita bukanlah musuh. Saya yakin mereka disini karena perintah. Jauh di lubuk hati. Mereka pun merasakan kegetiran seperti kita. Apalagi bapak-bapak dari satuan pengamanan kampus. Mereka mengalami beban yang jauh lebih berat dari kita. Beban yang sekarang kita perjuangkan".

"Kawan-kawan, saat ini hampir seluruh kampus, di seluruh penjuru Tanah Air berusaha menyuarakan derita rakyat, derita bapak-bapak satuan pengamanan kampus, derita bangsa yang kita cintai bersama!"

"Satu kata untyk kita. Reformasi!" demikian orasi Badai membangkitkan semangat,

"Reformasiiii!" disambut gemuruh massa.

"Reformasi!"

"Reformasiii!"

-

Hari itu, mahasiswa gagal keluar dari pagar kampus. Mereka berorasi di depan gerbang kampus. Bergantian mereka saling berorasi Badai, Bara, Togar, Puspita bahkan Rossa yang baru bergabung dengan gerakan turut menyampaikan orasi.

Menjelang petang. Aksi hari itu pun berakhir. Para pimpinan mahasiswa berkumpul di ruang BEM untuk menyusun rencana esok hari.

"Ketua, saya dapat informasi, teman-teman dari kampus lain membentuk kesatuan aksi gabungan. Bagaimana kalau kita kirim utusan malam ini ke Kampus Kedokteran di Salemba. BEM seluruh kota malam ini berkumpul di sana?" Bara mengusulkan.

"Saya dengar juga berita itu Ra, rencananya malam ini saya ke sana. Kawan-kawan saya harap tetap di sini, tunggu berita dari saya, selain itu tolong persiapkan apa-apa yang diperlukan untuk besok."

"Saya temani," Bara menyampaikan usul.

"OK. Kalau begitu, Togar kau pimpin kawan-kawan di sini.Tunggu berita dari kami berdua."

"Beres kawan, serahkan semua pada Togar!"

"Reformasi!"

"Reformasi!"

Berdua, Badai dan Bara melangkah meninggalkan ruang BEM.

"Kak boleh saya ikut?" Rossa yang sedari tadi menjadi pendengar menjajarkan langkah

"Gimana Ra?"

"Boleh, aku ikut kamu aja Dai."

"Kak, pakai kendaraan saya saja," Rossa menawarkan kendaraannya,"Kak Badai bisa nyetirkan? Atau Kak Bara?"

"Aku ga bisa Ros", jawab Bara

"Aku bisa," jawab Badai,"Tapi ga apa kalo kita pakai mobilmu Ros?"

"Memangnya kenapa?"

"Ga kenapa-napa sih", akhirnya ketiganya bergerak ke Salemba menggunakan kendaraan roda empat milik Rossa

Sejak medio akhir 80-an, kampus mereka mulai direlokasi dari kawasan Salemba menuju kawasan Margonda, hal ini desebabkan lahan di Salemba akan digunakan untuk memperluas Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Nasional yang sebelumnya bersebelahan dengan kampus mereka. Kawasan Margonda sendiri letaknya sedikit di luar Ibukota ke arah selatan. Setelah relokasi ini, selain program pasca sarjana, hanya Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi yang tetap berada di Salemba karena bersebelahan dengan RSUP, tempat mahasiswa dari Fakultas Kedokteran utamanya untuk mengasah dan menambah ilmu pengetahuan.

-

Kampus Salemba. Bertempat di ruang Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran, malam itu berkumpul para pimpinan kesatuan aksi mahasiswa dari hampir semua kampus yang ada di Ibukota Negara. Mereka saling bertukar pendapat dan menyampaikan berbagai hal terkait upaya untuk memperluas aksi. Salah satu agenda penting adalah dicapai suatu kesepakatan untuk menggalang massa mahasiswa yang lebih luas. Setiap kampus yang malam itu hadir, diharapkan mampu mendorong BEM Universitas lain, yang lokasinya berdekatan dengan kampus mereka untuk turut ikut serta menggalang aksi. Dan sebagai catatan selanjutnya, aksi dimaksud haruslah aksi damai serta tidak anarkis. Terakhir, aksi ini tidak akan berhenti. Apapun yang terjadi, mahasiswa akan terus bergerak sampai reformasi benar-benar tercapai.

Mimpi mahasiswa hanya satu. Kebijakan negara ini berubah, entah seperti apa bentuknya, mahasiswa berharap adanya pembaharuan. Perubahan menyeluruh dimulai dari puncak tertinggi pemerintahan. Jalan mereka adalah terus meningkatkan intensitas gerakan aksi damai secara terus-menerus hingga dapat memberikan tekanan yang cukup kepada penguasa. Karena gerakan mereka membuat terjadinya konsentrasi massa, tidak bisa tidak membuat turut sibuknya kepolisian dengan dukungan militer, selaku alat keamanan negara.

Mereka memiliki tugas pokok menjaga stabilitas negara, pada akhirnya menjadi penghalang aksi mahasiswa untuk turun ke jalan. Para pemimpin mahasiswa menegaskan bahwa pihak aparat negara bukanlah musuh. Mereka ada di lapangan dalam rangka tugas serta kewajiba, apalagi sejauh ini belum ada tindakan represif dari pihak aparat kepada mahasiswa.

Menjelang tengah malam, ketiganya kembali ke kampus untuk merundingkan keputusan-keputusan, hasil pertemuan di Salemba kepada rekan-rekan pimpinan mahasiswa yang masih setia menunggu di ruang BEM.

 

4

"Gimana Ross? Capai?" Badai bertanya Rossa.

"Lumayan kak, tapi aku semangat", jawab Rossa yang duduk disamping Badai yang tengah mengemudi sementara Bara duduk di kursi belakang.

"Semangat dengan gerakan ini atau semangat karena kamu bisa dekat dengan aku?"

"Hekkkkk!" Dasar senior ga ada malu nya

"Hahahahahahhaha!" terbahak Rossa mendengar pertanyaan ngawur  Badai,"

"Sebenernya kak. Untuk statement pertama, jelas-jelas benar. Statement kedua kakak. Hmm, Aku seneng sama kakak karena pintar mengemudi, kebetulan aku tidak punya supir. Kakak berminat jadi supir aku?"

"Tergantung."

"Tergantung apa Kak?"

"Tergantung seberapabesar kamu mau gaji aku."

"Huuu".

"Bicara tentang supir, nanti saya antar gimana? Kamu tinggal dimana?"

"Apakah tidak merepotkan Kak?" tanya Rossa,"aku tinggal di dekat Kalibata Kak".

"Kalao pertanyaannya kayak gitu, jawabannya si pasti repot. Tapi sebagai supir yang baik, kemana pun perintah majikan, pasti di antar," Bara dibelakang hanya mendengarkan pembicaraan keduanya. Pembicaraan yang kelak menjadi awal dari kisah Badai dan Rossa. Kisah yang menjadi bumbu manis perjuangan keduanya.

Rumah Rossa terletak di bilangan Kalibata. Sesaat setelah dinyatakan lulus di Universitas Harapan Bangsa, orang tua Rossa mengirim dirinya ke Ibukota Negara dan memberi rumah serta kendaraan roda empat kepada Rossa sebagai hadiah kelulusan.

"By the way, menurut kamu gimana Ra?" tanya Badai sambil mengendalikan mobil.

"Gimana, bagaimana maksudmu Dai?" Bara balik bertanya.

"Pesan dari rekan mhasiswa tadi untuk kita mengalang aksi lebih luas".

"Oh itu .... ," Bara tidak melanjutkan jawaban.

"Loh kamu pikir tentang apa?"

"Engak sih, aku cuma sedikit mengantuk", jawab Bara kemudian.

"Tentang ajakan kepada kampus lain yang bertetangga dengan kampus kita, kok kamu malah diem aja", ujar Badai.

"Emmm, itu ide bagus Dai. Memang sekurangnya ada 3 kampus swasta yang berdekatan dengan kampus kita. Kita kirim utusan kesana besok", Bara menjelaskan.

"Itu maksud aku Ra".

"Selain itu, menurut aku sudah saatnya para dosen tidak sekedar menjadi penonton".

"Maksud kamu?"

"Kita dekati para dosen yang memiliki kepedulian kepada aksi damai kita".

"Terus?"

"Kita minta mereka turut menyuarakan hal yang kita perjuangkan".

"Apa mereka mau? Beliau para dosen kan pegawai negeri".

"Iya benar mereka pegawai negeri, tetapi bangsa ini sekarang sedang menuju kandas, masak mereka diam saja?'

"Iya juga sih Ra".

"Tidak ada salahnya kita berupaya".

"Aku setuju, kita sampaikan ke teman-teman nanti"' Badai menyepakati usul Bara.

-

"Bagaimana Kawan? Hasil pertemuan di Salemba?" Togar yang pertama menyambut ketika ketiganya tiba di dekat gedung BEM kampus.sementara masih sekitar 20 hingga 30 orang rekan setia menanti kedatangan ketiga utusan dari kampus Salemba.

"Ayo kita kumpul saja, Gar tolong teman-teman dipanggil semua", Togar pun mengumpul para mahasiswa yang masih ada. Bara, Badai dan Rossa selanjutnya mengikuti rapat kedua malam itu. Kali ini dengan rekan satu almamater mereka dari berbagai fakultas dan jurusan.

Selain membahas apa yang dibicarakan tadi di Salemba, mereka juga menyusun renca aksi esok hari sekaligus menunjuk beberapa utusan dalam dua kelompok untuk menyambangi kampus tetangga dan kelompok lainnya mulai melakukan pendekatan kepada para dosen demi memperkuat aksi damai yang terus digaungkan.

-

Sekitar satu jam, merekapun membubarkan diri, bersiap untuk aksi berikutkan besok. Badai pun memenuhi janji mengantar Rossa. Mereka menuju tempat tinggal Rossa di Kalibata.

"Kakak nanti kembali ke Margonda pakai apa?" tanya Rossa ketika kendaraan mereka mulai melaju menembus malam.

"Ah tenang saja Ros, banyak angkutan malam. Aku yakin pasti ada yang menuju Margonda".

"Iya sih Kak, tapi apa memang ada nanti?"

"Terus kalo engak ada, kamu mau minta aku nginep dirumah kamu?"

"Ih apaan sih Kak Badai. Ngaco", jawab Rossa seraya mninju lengan kiri badai dengan pelan.

Kurang dari 20 menit mereka pun tiba di halaman rumah Rossa.

"Kamu sendirian Ros tinggal disini?" tanya Badai seraya turun dari bangku supir setelah mematikan mesin mobil.

"Enggaklah Kak. Aku bersama 2 orang asisten rumah tangga tinggal disini", jawab Rossa,"Memangnya kenapa Kak?"

"Enggak ..., Cuma ngebayangin kalo aku kost di rumah sebesar dan sebagus ini kira-kira bulanannya berapa ya?"

"Ah kakak ngaco lagi", keduanya tertawa bersama.

"Kak, minum dulu ya," Rossa menawarkan minuman kepada Badai. Sesaat setelah keduanya tiba di teras rumah.

"Ga usah adikku. Sudah dini hari. Kamu harus istirahat agar kecantikanmu ga pudar".

"Ih, apaan sih Kak Badai".

"Hihihihi, ya sudah aku pamit ya adik cantik".

"Ga jadi nginep disini?"

"Emang ditawarin?"

"Boleh kok, nanti aku kasih bantal, tidur di teras, hahahahahha",Rossa tertawa senang dapat membalas gombalan Badai.

"Hahahahahh, boleh, boleh, tapi bayarannya double ya. Supir dan securit".

"Ih ngeles terus".

"Iya donk. Udah ah dek. Aku jalan dulu", kali ini Badai benar-benar berpamitan.

"Iya Kak, hati-hati", jawab Rossa.

Tanpa keduanya sadari malam itu berkali-kali Badai menyebut adik kepada Rossa. Rossa yang sejatinya tidak memiliki pasangan tanpa sadar menjadi nyaman atas perlakuan Badai kepada dirinya sepanjang pagi, siang, hingga dini hari malam itu.

-

Dibagian lain Ibukota, sesosok mahasiswa tiba di kamar kontrakannya. Setelah rapat BEM tadi di kampus, ia pulang mengendara sepeda motor milik sahabatnya yang ditinggal di kampus karena Badai mengantar Rossa terlebih dahulu.

"Bar, aku minta tolong boleh?"

"Apa nih?"

"Minta tolong sepeda motorku dibawa ke kontrakan kita".

"Kamu menginap di Kampus?"

"Tidak sahabatku, aku mo nganter Rossa dulu".

"Oh, serius kamu ngater dia malam ini?"

"Ga papa kan?"

"Ya ga papa banget, asal kamu hati-hati".

"Nanti pulang ke kontrakan?"

          "Aku naik Omprengan (sebuah moda transportasi tengah malam yang banyak terdapat di Ibukota. Angkutan ini tidak ada secara resmi, sehingga mereka biasa mulai melaksanakan kegiatan lepas jam 22 hingga menjelang waktu Subuh, ketika moda transportasi resmi mulai kembali muncul dijalanan sesaat setelah waktu Subuh)"

"Ya sudah, tapi kamu hati-hati ya", Bara mengingatkan.

"Terimakasih temanku," Badai menimpali, kemudian dengan sedikit berbisik dan bicara dekat telinga Bara, Badai melanjutkan bicara,"Doai aku ya".

"Doain apaan?"

"Doain aku bisa jadian sama Rossa".

"Ah, dasar kamu Dai, sempet-sempetnya mikir asmara".

"Wajar lah kawan, sudah berumur kita berdua nih, sudah lebih 20 tahun usia kita".

"Iya aku doain, asal dirimu tetap fokus dan jangan lupa aksi damai kita ini".

"Baik kawan, tenang saja. Kamu tapi bisakan bawa motor aku ke kontrakan kita?

"Insya Allah Bisa".

          Badai pun menyerahkan kunci motornya kepada Bara sebelum selanjutnya mereka saling berpisah malam itu.

          -

            Setelah memastikan kendaraan Badai dalam posisi aman, terkunci dan sejenak mengaso, Bara kemudian membersihkan diri dan bersalin pakaian. Dera wudhu menyejukkan hati serta pikirannya dini hari itu. Sesaat mata Bara menatap jam dinding di kamar, sudah masuk sepertiga akhir malam. Sajadah pun kemudian digelar untuk dirinya menghadap Tuhannya.

Baginya, tidak ada lagi yang lebih indah dalam hidup ini, selain larut dalam suasana berdialog dan bercengkrama dengan Tuhannya di tengah ibadah pada waktu sepertiga akhir malam. kegiatan yang rutin dia lakukan sejak muda. Jauh sebelum dia menjadi seorang mahasiswa.

Apalagi, dini hari itu dirinya sedikit terguncang.

Guncangan yang hanya dirinya seorang tahu, dan idak perlu orang lain tahu sebabnya.

Dalam suasana seperti ini, Tuhan adalah jalan terbaik yang dia pilih.

-

Sesaat setelah dia menyelesaikan ibadah shalat wajib ditambah sunnah 11 rakaat, di balik jendala nampak shiluete sosok Badai melewati kamarnya yang baru tiba di kontrakan setelah sebelumnya mengantar Rossa.

"Dai", seraya berdiri Bara memanggil Badai yang baru lewat.

Langkah Badai langsung terhenti mendengar suara sahabatnya, diapun berpaling memandang pintu kamar Bara.

"Klik", setelah sesaat menunggu pintu tadi pun terbuka dan Bara muncul di depan pintu seraya mengangsurkan kunci motor milik Badai.

"Ah tenang saja Ra, lain kali, ga usah menunggu aku kembali untuk sekedar kunci. Tapi terima kasih ya, dirimu sudah mau membawa sepeda motor bututku malam ini.

"Ah, aku malah enak ga perlu jalan kaki", jawab Bara.

"Ya sudah Ra, aku kekamarku ya. Makasih, makasih, makasihhhhh banget", Badai pun berlalu dari hadapan Bara.

"Dai!"

"Yup, kenapa teman?"

"Assalamu Alaikum".

"Waalaikum salam"

"Kebiasaan nyelonong nih".

"Hehehe, enggak lah, Cuma lupa saja".

"Oke kalo begitu, selamat istirahat", Bara pun masuk kedalam kamarnya kembali.

"Sama-sama teman, tanpa dirimu aku berat untuk menggalang teman-teman", Badai menjawab. (BERSAMBUNG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun