Mohon tunggu...
Dhanang Pradipta
Dhanang Pradipta Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa Ilmu Sejarah

Mahasiswa Ilmu Sejarah, Hobi Makan terlebih lagi Mie Ayam. Menekuni digital content, tapi masih coba coba ajasih. ehe.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah Sembahyang Keluarga The Goan Tjing di Kawasan Pecinan Kota Surabaya sebagai Bentuk Warisan Budaya Indonesia

6 Juni 2020   19:51 Diperbarui: 6 Juni 2020   19:51 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Tengah Rumah Sembayang Keluarga The / Sumber : Facebook

Pada tingkat nasional, upaya perlindungan dan pelestarian benda-benda yang termasuk kedalam kategori cagar budaya sudah diatur kedalam Undang -- Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya sebagai perwujudan dan pelaksanaan beberapa konvensi.

Dalam Undang -- Undang tersebut pula ditegaskan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang memiliki nilai penting sebagai bentuk lanjutan dari pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, sehingga perlu untuk dilindungi dan dilestarikan demi peumupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.

Hal ini bermakna sebagai peninggalan dan benda-benda cagar budaya, sebetulnya bukan hanya sebagai bagian dari bukti historis dan bagian dari akar sejarah sebuah bangsa, teteapi benda -- benda cagar budaya juga dapat dijakian sebagai sumber pengetahuan dan ekspresi dari jati diri sebuah bangsa, sebuah kota atau kabupaten, dan tentunya masyarkat itu sendiri.

Pada abad ke 19 di Kota Surabaya mulai muncul berbagai macam perkumpulan dan organisasi yang diprakarsai oleh etnis Tionghoa. Beberapa perkumpulan yang didirikan oleh etnis Tionghoa pada pertengahan abad ke-19 adalah perkumpulan Gie Khie ( 1865 ), Kong Gie Sing ( 1876 ), Po Gie ( 1886 ) dan Tik Gie ( 1893 ). Beberapa perkumpulan berdasarkan ikatan primordial yang berdiri pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 meliputi Thjin Tjhik Kongsoe ( 1883 ), The Goan Tjing ( 1884 ), Thee Tjhie Soe ( 1895 ), Oe Boen Giau ( 1896  dan Ing Swan Tjo Soe ( 1898)

Jalan Karet, yang dulunya bernama Chineesche Voorstraat, masih menyisakan memori kawasan Pecinan yang menarik. Tiga Rumah Sembahyang keluarga menjadi bagian catatan sejarah kota Surabaya, bahwa disan penah tinggal dan bermukim sebuah peradaban dan budaya Tinghoa yang cukup baik. Rumah Sembayang ini berada di Chineesche Voorstraat ---kini lebih dikenal sebagai "Rumah Sembayang Keluarga The Goan Tjing". Rumah ini didirikan oleh anak-anak The Goan Tjing pada 1883

Rumah Sembahyang (Su-tng atau Mandarin Citang ) atau yang biasa dikenal dengan Rumah Sembayang adalah rumah yang dikhususkan untuk memperingati dan menghormati leluhur dari suatu keluarga, marga atau klan, di dalamnya tersimpan papan nama arwah (Sinci atau Sincu atau Mandarin Shenzhu ) leluhur yang bersangkutan. Bangunan Inilah salah satu benteng terakhir yang menjaga denyut budaya Tionghoa di Surabaya.

Bangunan ini meiliki desain khas arsitektur Tiongkok, demikian juga detail-detail arsitekturnya. Ada sepasang patung singa di kiri kanan, seolah menjaga keamanan pintu masuk. Juga beberapa ornamen khas ada di wajah depan bangunan menghadap barat ini. Dulunya di atas jendela, ada hiasan dengan tulisan beraksara Mandarin. namun kini tinggal bekas-bekasnya saja, setelah meletus peristiwa G-30-S. Pagar besi Hijau adalah tambahan baru sebagai fungsi keamanan saja.

Sisi kiri dan kanan Ruang Tamu berisi seperangkat meja kursi. Ada batas jelas antara Ruang Tamu dan Ruang Keluarga, sekat ini menunjukan juga gradasi ruang dan Ruang Publik ke Ruang Semi Privat, terdapat Ruang di kiri kanan yang juga bernoda simentri. Ukiran selalu berunsur flora dan fauna tertentu.

Upaya pelestarian benda, bangunan dan kawasan di Kota Surabaya tentu saja dimaksudkan untuk menjaga keaslian, mempertahankan nilai -- nilaisejarah untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, pariwisata serta meningkatkan kesadaran masyarakat Surabaya mengenai pentingnya arti dari sejarah lokal sebgai bentuk perkembangan kota Surabaya, mengingat Surabaya adalah salah satu kota tertua di Pulau Jawa.[3]

Dengan semakin berkembangnya pembangunan Kota Surabaya yang menghasilkan berbagai kemajuan pembangunan Gedung -- Gedung fisik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap usaha untuk pelestarian benda -- benda bersejarah. Selain itu masih banyak warisan budaya yang telah memenuhi kriteria untuk menjadi benda cagar budaya namun belum di tetapkan oleh tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun