Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Keajaiban Berkompasiana, Antara Tersadar Kebodohan dalam Menulis sampai Bertemu Anak Berprestasi

11 September 2015   17:45 Diperbarui: 10 September 2016   11:39 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tidak terasa, sudah lebih dari lima belas bulan saya bersama Kompasiana, blog sosial yang telah membimbing saya menulis hingga bisa seperti sekarang ini. Dalam artikel kali ini, izinkan saya berbagi pengalaman, perjalanan menulis di Kompasiana. Mudah-mudahan, bisa mengambil manfaat.

Berkenalan dengan Kompasiana karena googling

Ketika saya duduk di bangku sekolah, saya suka mencari artikel dalam mesin pencari Google. Jika ada hal yang menarik, baru saya membaca. Pada tahun 2013, secara tidak sadar membuat saya terbawa ke situs Kompasiana walaupun diakses lewat ponsel. Artikel yang paling saya sukai adalah Pesta Kebun bersama Kaisar Jepang dan intisari dari lagu Percayalah yang dinyanyikan oleh Last Child.

Melihat anak dari kecamatan tetangga saya yang memiliki akun Kompasiana membuat keinginan saya gabung di Kompasiana semakin menjadi-jadi. Akhirnya, dengan keberanian, saya tercatat sebagai warga Kompasiana, pada tanggal 22 Mei 2014. Pada tanggal itu pula, saya menayangkan tulisan di Kompasiana, untuk pertama kalinya, meskipun “hanya lewat” oleh Admin.

Gara-gara Kompasiana, Saya Sadar Kebodohan dalam Menulis

Sebelum menulis di Kompasiana, saya telah melakukan kesalahan yang cukup fatal dalam menulis, karena saya dulunya jarang menulis karena kesibukan sekolah, kecuali catatan harian dan puisi, juga tidak punya dasar dalam menulis, akibat jarang diasah. Jika seandainya kesalahan saya berlanjut di bangku kuliah, bisa-bisa saya akan menerima omelan pedas dari dosen karena laporan saya dianggap plagiat.

Setelah lulus SMA, untung saya tidak kuliah dulu. Untuk mengisi waktu luang, saya sempat bermimpi untuk menulis buku, bahkan sampai tanya-tanya bagaimana cara penerbitannya. Namun, setelah dipikir-pikir, rasanya buku ini agak menyimpang dari isinya. Terlebih buku ini dibuat bukan dengan pikiran sendiri, alias copy paste dari internet. ‘Tradisi’ yang pernah saya lakukan di sekolah, jadi tertular jadi kebiasaan di rumah.

Karena itulah, saya membatalkan melanjutkan menulis buku dan selang beberapa waktu, saya kembali aktif menulis di Kompasiana, berhubung saya sudah bergabung di Kompasiana pada bulan Mei 2014 lalu. Waktu itu ada berita tentang izin RCTI akan dicabut setelah diperingatkan oleh KPI. Akhirnya, dengan pengalaman sendiri dalam menonton TV, saya menulis artikel tersebut, yang kemudian dinilai oleh Admin sebagai Highlight, kemudian Headline.

Tuh kan, hanya menulis dengan pikiran sendiri, Admin benar-benar menilainya sebagai tulisan asli tanpa plagiat. Hati akan selalu bahagia bisa menulis sendiri, apapun hasilnya yang akan diterima!

Menemukan arti menulis setelah ber-Kompasiana

Saya sempat googling, dan menemukan sebagaimana yang dikatakan Wikipedia, bahwa menulis adalah proses penciptaan informasi lewat media. Media yang digunakan beragam, baik kertas, sampai media online juga bisa. Dari pengalaman saya berkompasiana, didapat bahwa dalam menulis, saya merangkai kata-kata untuk disampaikan kepada pembaca.

Setelah berkutat dengan ratusan artikel, saya akhirnya tersadar bahwa menulis itu seperti ini:

“Menulis itu begini, harus punya pengetahuan tentang suatu isu, lalu rangkailah ide dan pengetahuanmu dalam kata-kata. Jangan takut dengan hasil tulisanmu. Berlatihlah, lama-lama akan semakin bagus seiring dengan perkembangan menulismu”

“Jika kamu melihat peristiwa, ambillah kesempatan dan catatlah apa yang disampaikan. Lalu tulislah ulang dengan bahasamu sendiri, mengolahnya layaknya wartawan profesional”

Akhirnya, dengan dua hal itulah, saya menulis dengan usaha sendiri. Tidak pernah diberedel tulisannya oleh Admin karena kedapatan plagiat. Karena di Kompasiana, plagiat diharamkan. Hal inilah yang menjadikan Kompasiana sebagai belajar menulis saya sampai saat ini.

Karena Kompasiana, saya dibiasakan untuk berpikir sendiri, juga melahirkan artikel tentang menulis

Dalam menulis artikel yang akan diunggah di Kompasiana, saya dibiasakan untuk berpikir sendiri, seperti yang saya jelaskan berikut ini:

“Jika kamu punya pengalaman berharga, bacalah dan tariklah kesimpulan. Padukanlah apa yang telah kamu baca di berbagai sumber, maka hal tersebut bisa dijadikan bahan untuk menulis”

Gara-gara hal tersebut, banyak artikel yang terlahir aktual dan diantaranya nangkring di kolom Headline. Saya juga mengunggah artikel tentang menulis, ya berdasarkan buah pikiran saya, membaca pengalaman menulis, membaca, dan berinteraksi di Kompasiana. Artikel tersebut diantaranya adalah:

Tips dan Trik Menulis yang Berkualitas

Menulis yang “Antimainstream”

Apakah Kepribadian Seseorang Mempengaruhi Gaya Tulisan?

Jujur, walaupun artikel tentang menulis tidak seberapa dibanding dengan jumlah artikel tentang menulis dari Kompasianer lain, saya tetap merasa bahagia bisa menuliskan artikel yang bermanfaat bagi orang lain.

Karena punya akun Kompasiana, saya berjumpa dengan anak berprestasi

Siapa sih yang ingin berjumpa tokoh inspiratif dan orang terkenal? Pasti ingin bukan? Namun, karena keterbatasan waktu, mereka tidak semua menyambangi daerah di seluruh Indonesia. Bagi warga biasa yang pernah berjumpa dengan anak berprestasi, bisa menjadi kebanggaan tersendiri.

Memiliki akun Kompasiana, membuat saya semakin bersemangat menulis. Setelah berkutat dengan opini yang cukup melelahkan, reportase membuat saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika ada kegiatan penting yang akan digelar. Seperti waktu saya berada di Palembang, kebetulan pada masa liburan karena acara keluarga, ada talkshow bedah buku Inilah Saatnya untuk Action bersama Dominic Brian, Remaja pemegang rekor dunia bidang daya ingat (selengkapnya bisa dibaca di artikel ini).

Ketika saya menghadiri dan mereportase langsung bedah buku tersebut, saya melihat sendiri, Brian yang pernah saya lihat di media massa, benar-benar ada di even tersebut! Bahkan saya menyaksikan sendiri, betapa Brian bisa menunjukkan kemampuannya dalam mengingat angka. Suatu pertemuan yang benar-benar langka.

Selepas kejadian tersebut, saya ketagihan ingin mengikuti bedah buku bersama anak berprestasi. Bahkan saya sampai mencari-cari informasi bedah buku di Twitter. Namun sayang, karena hanya kelewat, jadinya, saya gagal bertemu Yudi Lesmana di Bandar Lampung. Padahal saya ingin merportase bedah bukunya juga, bahkan keinginan tersebut sudah terpendam sejak beberapa bulan yang lalu.

Walaupun demikian, saya tetap senang bisa mereportase di Kompasiana untuk pertama kalinya! Mudah-mudahan, di lain kesempatan, saya berusaha untuk menghadiri bedah buku lainnya.

Ya udah, demikianlah cerita saya dan keajaiban yang saya dapatkan bersama Kompasiana. Bagaimana dengan Anda?

Akhir kata, selamat ulang tahun Kompasiana, semoga semakin jaya selalu!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun