Mohon tunggu...
Dew
Dew Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa.

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Metaverse dan Dilemanya

7 Januari 2022   18:00 Diperbarui: 8 Juli 2022   08:39 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi metaverse oleh freepik.com

Big tech katanya adalah aktor dari monopoli modern, sementara teknologi katanya adalah bentuk feodalisme digital.

Kekhawatiran regulator sudah bukan hal baru, namanya juga regulator, mengantisipasi dampak negatif dari inovasi yang diciptakan masyarakat adalah tugasnya. Terlebih jika melihat betapa besarnya pengaruh big tech dalam kehidupan kita.

Di sisi lain inovator akan terus berinovasi. Sudah jadi fitrahnya inovator untuk menciptakan kebaruan dengan berbagai gagasan yang mungkin muncul. Inovasi tak bisa dicegah.

Ini bukan soal memonopoli pasar dan menciptakan ruang baru yang bebas aturan, monopoli akan selalu hadir sebagai konsekuensi dari inovasi yang benar-benar baru, di awal kemunculannya.

Barulah kemudian pasar perlahan mengikuti, lambat laun akan muncul persaingan yang semakin beragam dan akhirnya meramaikan pasar, harga tak lagi ditentukan oleh segelintir orang.

Namun, kekhawatiran yang timbul bukan hanya menyangkut harga, bukan semata-mata ekonomi, lebih jauh lagi menyangkut tatanan sosial bahkan mungkin juga politik. Oleh sebab itu, peran regulator dalam mengawal perubahan sangatlah penting.

Jika dibayangkan sekejap mata, dunia kita sepertinya akan jadi dunia yang luar biasa keren, science-fiction yang kerap kita tonton akan menjadi realita, yang maya melebur dengan yang nyata. 

Pola hidup kita tak lagi sama, dari yang biasa menjadi serasa dalam film Hollywood, sebentar-sebentar pakai VR, sebentar-sebentar pakai gloves.

Metaverse mengubah pengalaman yang kita dambakan, menjadi keseharian, sekolah, bekerja, berbisnis, komunikasi dengan sesama, serta hiburan akan terasa lebih 'futuristik'.

Betapa pun kerennya metaverse, ada dampak-dampak negatif yang bisa sama-sama dibayangkan. Dengan bentuk internet seperti saat ini saja, kegiatan kita sehari-sehari lebih banyak dihabiskan di internet, bagaimana jika bentuk baru internet ini sudah terealisasi? Ada adiksi yang menjadi efek sampingnya.

Selain itu, kecakapan sumber daya yang menggunakannya juga tak kalah penting. Kemampuan menyaring informasi dan menggunakan ruang digital dengan bijak perlu ditingkatkan, setidak-tidaknya ada pemahaman yang ditanamkan bahwa kemudahan yang ditawarkan internet datang bersama dengan konsekuensinya sendiri.

Adaptasi digital bukan hanya soal mampu menggunakan, adaptasi digital juga berarti paham dan siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya.

Belum lagi soal penguasaan sumber daya teknologi oleh privat.

Kalau kita ingat kalimat ini, "bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat." 

Sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kalimat tersebut merupakan bagian dari upaya mewujudkan keadilan bagi seluruh warga negara yang dituangkan dalam undang-undang.

Sebab jika sumber daya dikuasai privat, dikhawatirkan privat akan menggunakan sumber daya sesuai kehendaknya. Tak ada orientasi kepentingan bersama, sehingga menimbulkan kesenjangan yang semakin meningkat.

Pertanyaannya apakah sumber daya teknologi yang menjadi hak privat dapat memenuhi kepentingan umum secara merata tanpa ada bias kepentingan pihak-pihak tertentu? Sebab, seperti yang kita tahu bahwa privat akan selalu berorientasi pada keuntungan.

Metaverse boleh saja disambut, namun perlu ada kesadaran bahwa inovasi bukan sesuatu yang bisa dinikmati begitu saja. 

Otentisitas yang ditawarkan metaverse melalui NFT punya harga, belum lagi perangkat penunjang yang perlu kita miliki untuk mengakses metaverse. 

Belum selesai respon regulator terhadap cryptocurrency, kini regulator harus menghadapi tantangan lain yang kurang lebih berkaitan satu sama lain.        

Jika mengesampingkan segala kekhawatiran tersebut, ada hal yang terasa mengganjal ketika membayangkan metaverse yang lambat laun akan terjadi. Muncul pertanyaan, apakah kita siap dengan metaverse dari segi fasilitas?

Internet yang keren itu sepertinya perlu penunjang yang juga keren, fasilitas dasar yang berkualitas dan menyeluruh, agar setiap lapisan masyarakat bisa menikmati internet versi baru itu. Layanan telekomunikasi.

Sebab, jangankan bicara augmented reality (AR), untuk telepon ke seberang timur saja masih kesulitan signal, dan terbatas pada provider tertentu. Padahal penyediaan konektivitas yang memadai dan merata adalah kunci tercapainya pemerataan.

Belum lagi, mengutip CNBC Indonesia (30/12/21) saat ini terdapat lebih dari 3.000 desa/kelurahan yang merupakan wilayah-wilayah blank spot alias belum terjangkau layanan telekomunikasi dan internet.

Kita para pengguna teknologi, calon 'penduduk' metaverse, hanya mampu berharap bahwa perluasan jangkauan jaringan, penyediaan infrastruktur yang tengah dikerjakan, serta literasi digitalnya yang berdasar pada pilar digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety dapat berjalan dengan lancar serta selesai sesuai dengan target pembangunannya, sehingga kita semua, di setiap pelosok negeri, dapat merasakan fasilitas yang sama dengan kualitas yang juga sama baiknya sehingga dapat menyambut metaverse dengan penuh kesiapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun