Selain itu, kecakapan sumber daya yang menggunakannya juga tak kalah penting. Kemampuan menyaring informasi dan menggunakan ruang digital dengan bijak perlu ditingkatkan, setidak-tidaknya ada pemahaman yang ditanamkan bahwa kemudahan yang ditawarkan internet datang bersama dengan konsekuensinya sendiri.
Adaptasi digital bukan hanya soal mampu menggunakan, adaptasi digital juga berarti paham dan siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya.
Belum lagi soal penguasaan sumber daya teknologi oleh privat.
Kalau kita ingat kalimat ini, "bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat."Â
Sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kalimat tersebut merupakan bagian dari upaya mewujudkan keadilan bagi seluruh warga negara yang dituangkan dalam undang-undang.
Sebab jika sumber daya dikuasai privat, dikhawatirkan privat akan menggunakan sumber daya sesuai kehendaknya. Tak ada orientasi kepentingan bersama, sehingga menimbulkan kesenjangan yang semakin meningkat.
Pertanyaannya apakah sumber daya teknologi yang menjadi hak privat dapat memenuhi kepentingan umum secara merata tanpa ada bias kepentingan pihak-pihak tertentu? Sebab, seperti yang kita tahu bahwa privat akan selalu berorientasi pada keuntungan.
Metaverse boleh saja disambut, namun perlu ada kesadaran bahwa inovasi bukan sesuatu yang bisa dinikmati begitu saja.Â
Otentisitas yang ditawarkan metaverse melalui NFT punya harga, belum lagi perangkat penunjang yang perlu kita miliki untuk mengakses metaverse.Â
Belum selesai respon regulator terhadap cryptocurrency, kini regulator harus menghadapi tantangan lain yang kurang lebih berkaitan satu sama lain. Â Â Â Â
Jika mengesampingkan segala kekhawatiran tersebut, ada hal yang terasa mengganjal ketika membayangkan metaverse yang lambat laun akan terjadi. Muncul pertanyaan, apakah kita siap dengan metaverse dari segi fasilitas?