" Sama siapa, hayo ? Wah, jangan-jangan kamu udah punya pacar nih ? Terus kamu nraktir aku ya ? Wah... wah... wah... Ada kemajuan nih. Tapi kenalin dulu dong sama aku, " cecar Fredy bertubi-tubi.
" Nah, itu yang mau aku omongin, " kata Iwan akhirnya.
" Anak mana, Wan, yang sanggup melumerkan hatimu yang keras bagai batu. Aku musti ngacungin jempol sama dia. Dan suatu saat nanti kalian berdua akan kutraktir bakso. Oke ! "
" Ah, jangan nggede-gedein dulu dong. Ini masih tahap pendekatan. Iya kalau dia juga kasih respon yang menyenangkan. Kalau dia menolak ... "
" Kejar terus, Wan. Tempel terus kayak perangko. Jangan mundur. Maju terus pantang mundur. Wow, keren ! " semangat Fredy untuk Iwan. Iwan cuma ber-hehehe mendengar tanggapan Fredy.
" Kalau perlu mak comblang, aku bantuin deh. Suwer, kamu bisa mengandalkan aku, " lanjut Fredy mempromosikan dirinya.
" Kurasa tidak perlu, Fred. Tapi makasih atas tawaranmu itu. Yang aku takutkan, musti berapa mangkok lagi yang harus aku traktirkan untuk kesediaanmu menjadi mak comblangku... " gurau Iwan saat melihat bakso pesanan Fredy yang ke-2 datang. Fredy merah mendengarnya. Malu. Dan agak tersindir.
" Kalau kamu nggak rela, entar baksonya aku bayar sendiri aja deh. Tapi ... " Fredy meraih semua saku di baju dan celananya. Diraba-raba...
" Tapi apa ... ? " tanya Iwan tak mengerti.
" Kali ini tolong bayarin dulu ya. Soalnya aku lagi tongpes nih. Cuma lima ratus perak doang, nggak ada saudaranya yang lain ! " pinta Fredy sambil menunjukkan koin pecahan Rp 500.
" Ha... Ha... Ha... Fred... Fred... aku 'kan udah bilang kalau kali ini aku traktir. Makan aja dengan tenang. Nanti aku yang bayar. Atau kalau uangku nggak cukup, paling-paling kamu disuruh tinggal untuk cuci-cuci mangkok. He... He... He... !!! "
# Pare, medio 1998
# written by Dewi Leyly