Mohon tunggu...
dewi laily purnamasari
dewi laily purnamasari Mohon Tunggu... Dosen - bismillah ... love the al qur'an, travelling around the world, and photography

iman islam ihsan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk Ayah

17 April 2021   17:50 Diperbarui: 17 April 2021   19:36 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senin adalah hari yang dirundung kemalasan. Bu Hayati, jadi malas mengajar. Padahal sudah masuk ke dalam kelas 11 yang ramai. Memberi salam dan duduk di kursi kayu yang keras. 

Tenang saja, ini situasi biasa. Tinggal memberi tugas siswa untuk mengarang bebas. Tentukan topik, lalu instruksikan. Duduk manis, tunggu hingga bel pelajaran berakhir, sudah beres.

"Anak-anak, selamat pagi!" seru Bu Hayati berusaha terdengar semangat.

"Pagi Bu ...", jawab sebagian saja siswa.

"Hari ini kita akan mengerjakan tugas mandiri. Mengarang bebas tentang sosok ayah. Sebanyak dua halaman!". jelas Bu Hayati.

Lalu dijelaskan mengapa memilih tema tersebut. Sosok ayah sangat berarti bagi setiap anaknya. Ayah selalu bekerja keras dan bersama ibu menemani kita tumbuh kembang. 

Usai memberikan instruksi, Bu Hayati kembali duduk di kursi dan mengeluarkan sebuah buku berjudul 'Masuk Surga Sekeluarga' yang ditulis seorang dai kondang di tanah air. Dibuka halaman tengah, dibaca judulnya 'Kurikulum Pendidikan Luqman'. Sambil asyik menikmati bacaannya, Bu Hayati sesekali berdehem bila ada siswa yang terdengar berisik.

Di pojok kanan dekat pintu masuk, Indra, sang juara OSN Matematika tingkat nasional tak kunjung menulis. Jago berhitung tak membuatnya seketika bisa menggoreskan kata demi kata di kertas putih bergaris itu. Kosong ... masih benar-benar kosong. Indra berkali-kali menarik nafas panjang. Tak ada ingatannya tentang ayah, sedikitpun ... sekelebatpun.

Indra menggosok sudut matanya. Hatinya menggelepar, tetiba terasa ditusuk buluh bambu. Konon banyak mulut berucap jika kelahiran dirinya tak dinginkan. Ibunya hamil saat SMA dan tidak menikah. Lelaki yang katanya pacar ibunya itu tak bertanggung jawab, tak mengakui kalau dia yang menghamili. Bayi yang dilahirkan di sebuah desa kecil agar tak diketahui sesiapapun, langsung diserahkan ke panti asuhan. Ibunya kembali ke rumah orangtuanya dan melanjutkan sekolah lagi.

Kini diusianya yang ketujuhbelas, tak pernah berjumpa keluarganya. Indra masih tinggal di panti asuhan, membantu para pengurus yang baik hati. Mengajari adik-adik di panti, yang juga punya kisah hampir mirip dengan dirinya. 

"Apa yang harus aku tulis ???" gumamnya lirih. 

Lebih baik mengerjakan soal matematika yang paling sulit sekalipun. Jangan menulis tentang sosok ayah. Luka batin terkoyak kembali. Sering rasa dendam pada sosok yang telah membuang dirinya. Pohon kebencian tumbuh kokoh dan subur.

Sementara di bangku belakang, Sita meneteskan airmata. Ingatannya kembali saat ayahnya memukul wajah ibunya. Keras sekali. Hingga ibunya jatuh terjengkang, kepalanya membentur ujung tangga. Luka di bagian belakang kepala. Darah merembes di sela rambut panjang ibu. Belum puas rupanya, lelaki yang terus mengoceh kata-kata kasar itu menarik tangan ibu, dan menjambak rambutnya. Didorong lagi hingga ibu limbung dan terjungkal di sisi sofa. 

Ibu tak bergerak ... Pingsan. Sita berlari keluar kamar. Menjerit. Menangis. Mengguncangkan badan ibunya.

"Mamiiii ... Mam ... Maammmiiii ... Bangun!" teriaknya panik.

"Papa ... Tolong Mami", ujarnya kepada ayahnya yang malah berbalik menuju pintu utama, membantingnya. Tak lama terdengar deru mobil menjauh.

"Biikkkk ... Tolong!" Sita berteriak memanggil Bi Ani yang sudah melayani keluarga mereka dari sebelum Sita lahir.

Bi Ani tergopoh dari arah dapur. 

"Yaaa ... Ampun, Nyonya .... Kenapa ?", tanyanya histeris melihat darah mulai menggenang di sekitar kepala ibu.

Sita masih setengah sadar, mengambil handphone dan menelepon Tante Ratih, adik ibunya yang seorang dokter. Terburu-buru diceritakan keadaan ibunya.

Tante Dewi segara bertindak. Tak lama ibu sudah berada di ruang UGD. Sita sesak mengenang kejadian itu. Sejak malam kelam yang membuat dirinya benci kepada ayahnya, tak ingin lagi Sita mengingat apapun tentang ayah. Di matanya ayah adalah sosok menakutkan, jahat, kasar, kejam, tak bertanggung jawab, dan tak pernah kembali lagi ke rumah. Hilang bagai ditelan bumi.

Apakah kisah itu yang harus dituliskan sekarang? Bagaimana kalau Bu Hayati membacanya ? Keadaan itu ditutup rapat oleh Sita kepada teman-temannya. Mereka mengenal Sita sebagai siswa yang tegas dan aktif di kepengurusan OSIS. Sita, ketua kelas yang pendiam menyimpan dendam.

Di tengah ruang kelas, Key gadis popular di sekolah, loyal dan senang mentraktir teman-temannya. Supel dengan beragam barang branded yang berganti-ganti. Setiap hari diantar supir pribadi dengan mobil mewah keluaran terbaru. Biasanya senang menebar senyum manis, kini termangu. Pandangan matanya kosong menatap papan tulis putih. 

Sedari tadi berusaha mencari sosok ayah. Tapi yang muncul Pa Adi supirnya. Lagi ... lagi dan lagi dicoba ... Pa Adi terus. Mana bayangan Daddy? Tertimbun kabut, samar saja. Rasanya Daddy ada namun tiada. Kartu kredit platinum tinggal gesek. Juga kartu atmnya dari beberapa bank tak pernah kosong. Belanja sepekan di mal mentereng seputaran Jakarta jadi aktivitas biasa.

Mommy dan Daddy jarang sekali menemani. Bahkan mengambil rapot saja diwakili Pa Adi. Alasannya orangtua Key sedang ada bisnis ke luar negeri. Kadang pagi buta sudah tak ada di rumah. Sampai tengah malam pun belum kembali, bahkan tak segan menginap saja di hotel. Entah Daddy dan Mommy apa juga berjumpa dalam kesibukan masing-masing?

Rumah mewah dengan fasilitas lengkap terasa gersang. Untung saja Kei masih punya aktivitas positif. Menari balet dan main piano bisa meredakan kegalauannya. Sedih sering menerpa, ketika pentas hampir semua orangtua menonton anaknya. Key ... Tak pernah ada Mommy dan Daddy dibangku penonton. Apa kisah ini yang akan  tulisnya ? Kembali air mata Key menetes membasahi lembar kertas yang belum terisi sama sekali.

Bu Hayati melirik jam tangannya. Waktu tinggal setengah jam lagi. 

"Ayo anak-anak yang sudah selesai nanti karangan kalian akan dijadikan surat untuk ayah," kata Bu Hayati memecah keheningan.

Terdengar suara dengung bisik dan guman para siswa. Bagus mengangkat tangan.

"Maksudnya gimana Bu ? Nanti ayah kita membaca karangan ini ?" tanyanya sambil menunjukkan kertasnya yang sudah terisi penuh.

"Iya ... benar sekali! Tentu ayah kalian akan senang menerimanya," jawab Bu Hayati sambil tersenyum.

Di pojok kanan dekat pintu masuk, di bangku belakang, dan di tengah ruang kelas, Indra, Sita dan Key menundukkan kepalanya semakin dalam. Kertas mereka masih kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun