Jarum jam belum menunjukkan pukul 09:00 WiB ketika kami tiba di kawasan Pasar Lama, Tangerang. Matahari masih muncul malu-malu, sinarnya belum menyengat, hanya menyisakan hawa yang mulai terasa lembab dan gerah. Aku melihat ada begitu banyak penjual makanan dari tape uli, bubur ayam, susu kedelai dan bubur kacang hijau, asinan, hingga laksa.Â
Wah apakah kami bakal icip-icip sejumlah makanan? Mataku berbinar-binar. Namun, tur kali ini tak hanya tentang rasa dari makanan. Melainkan juga rasa dari suasana Pasar Lama, jejak sejarah dan budaya, serta tradisi yang masih  dirawat oleh warga di dalamnya, yang disebut warga Benteng karena lokasinya yang tak jauh dari benteng kompeni yang dulu pernah berdiri kokoh di sana.Â
Namun sayangnya karena ada begitu banyak spot  lokasi yang harus dikunjungi maka acara jelajah rasa pun dilakukan terbatas. Kami tak sempat menyantap laksa khas Tangerang atau berburu sate bandeng dan sate manis gerendeng yang merupakan kuliner khas Tangerang.Â
Kami hanya sempat jajan es podeng di pinggiran Sungai Cisadane dan menikmati makan siang berupa paket ayam rempah di rumah makan legendaris Kedai Kopi Lampion.Â
Es Podeng dan Ayam Rempah Kedai Kopi Lampion
Perjalanan pagi dan beberapa kali transit membuatku was-was dan susah tidur. Pukul lima lewat aku harus sudah siap berangkat. Mie goreng dan kopi hitam pun menjadi teman sarapan.Â
Pada saat menjelajah bersama 30an Kompasianer yang dipandu oleh Elsa Novia Sena dan Ronaldi yang jadi tantangan adalah hawa yang begitu gerah dan lembab. Alhasil air putih rasanya begitu nikmat. Namun, ketika melihat ada penjual es di bantaran Sungai Cisadane, aku pun tertarik. Apalagi ada selang waktu istirahat agak lama.Â
Es podeng adalah sebutan untuk minuman  berupa es krim dari santan. Di dalamnya ada potongan roti tawar, agar-agar,  alpukat, dan kacang hijau. Rasanya manis dan menyegarkan. Es krim santan yang gurih dengan tekstur yang agak kasar berpadu serasi dengan alpukat yang lembut, kacang ijo yang berserat, dan agar-agar yang kenyal. Harganya sedikit lebih mahal dari es podeng biasanya, yaitu Rp12 ribu.Â
Menuju tempat makan siang yang lokasinya tak jauh dari Museum Benteng Heritage dan Klenteng Boen Tek Bio, ada beberapa penjual jajanan seperti bacang. Teman-teman ada yang membeli liang teh.Â
Kami makan siang di Kedai Kopi Lampion. Tempat makan ini populer di kawasan Pasar Lama berkat kopi dan hidangan roti selai kaya-nya, tapi menu lainnya juga beragam.Â
Kedai kopi ini menyediakan aneka menu peranakan, seperti kopi O, mie kari nyonya, kuo tie dan aneka dimsum, ayam rempah, teh bunga krisan, dan pindang bandeng. Menariknya meski rumah makan ini ramai, tetapi hanya beroperasi dari pukul 07.00 hingga 14.00 WIB. Hari Senin libur.Â
Makanan telah disiapkan. Masing-masing mendapatkan paket nasi ayam rempah. Nasi dengan lalapan berupa selada, mentimun, dan tomat dihidangkan bersama ayam kecokelatan serta semangkok sayur asem yang bening. Teman minumnya adalah es teh manis yang segar.Â
Ayam gorengnya empuk, gurih, dan bumbunya meresap. Sayur asemnya segar dengan isian jagung, kacang panjang, dan daun melinjo. Karena berjalan kaki sejak pukul 08.30 hingga 12.25, maka santapan ini cepat ludes karena lapar dan sedap.Â
Sembari beristirahat, aku melihat-lihat koleksi benda antik yang dipajang di area kedai ini. Ada aneka telpon jadul, timbangan, pencetak kue satu, Â mesin ketik, dan seperangkat cangkir kaleng dengan warna kuning dan motif yang cantik.Â
Setelah makan siang, kami melongok-longok Pasar Lama. Kawasan perdagangan ini sudah ramai sejak abad ke-18 dan disebut pasar tertua di kawasan Tangerang.Â
Dagangannya komplet dari sembako, aneka bumbu, jajanan, roti, bunga, buah, dan aneka kebutuhan lainnya. Di sini juga dijual kecap khas Tangerang.Â
Mari Kita Bicara Tentang Kecap Tangerang alias Kecap Benteng
"Kecap nomor satu adalah... "
Hampir setiap merk kecap menyebut mereka kecap terlezat dan nomor satu. Memang ada begitu banyak merk kecap beredar di pasaran. Namun, warga Tangerang sulit berpindah hati dari  kecap produksi kota mereka.Â
Bagi mereka kecap SH dan Teng Giok Seng yang juga dikenal sebagai Kecap Benteng sulit tergantikan sebagai teman memasak dan menyantap makanan. Â Kecap ini digunakan oleh warga juga pengusaha kuliner, baik sekelas restoran maupun jajanan pinggir jalan.Â
Kecap Teng Gion Seng merupakan kecap tertua di Indonesia. Pabriknya didirikan pada tahun 1882 oleh Teng Hay Soey, lalu diteruskan oleh Teng Giok Seng. Kecap ini juga dikenal sebagai Kecap Istana.Â
Saat ini produknya dikemas dalam botol kaca dan  kemasan plastik. Rasa kecap manisnya tergolong gurih dan tidak begitu pekat, jika dibandingkan kecap yang memenuhi rak supermarket pasa umumnya. Dulunya rupanya ada tiga varian kecap ini, tapi sekarang yang dijual di pasaran hanya kecap yang manis sedang. Komposisi Kecap Teng Giok Seng terdiri dari kedelai, air, gula kelapa, bunga lawang, dan kayu manis.Â
Sedangkan Kecap SH didirikan tahun 1920 oleh Loh Tjit Siong. SH singkatan dari Siong Hin. Kecap ini terdiri dari kecap asin dan kecap manis. Untuk kecap manisnya, teksturnya agak cair dan warnanya kecokelatan. Rasanya tidak semanis kecap pada umumnya. Komposisinya berupa kedelai, gula kelapa, air, garam, ketumbar, bunga lawang, dan kayu manis.Â
Kecap SH ini kemasan dan cara pemasarannya mengikuti perkembangan jaman. Cukup modern. Kemasannya punya banyak ukuran, termasuk kemasan sachet, dan lebih mudah ditemui di supermarket dan pasar daripada Kecap Teng Giok Seng yang relatif lebih konservatif.Â
Kedua pabriknya saat itu tutup alias libur dan memang kita tak bisa melongok cara membuatnya karena merupakan resep rahasia. Sebenarnya ada satu lagi kecap Benteng yaitu Kecap Benteng Bango.Â
Keesokan harinya aku mencoba memasak dengan dua jenis kecap ini. Aku memasak semur ikan dengan kecap Teng Giok Seng. Sedangkan kecap SH kugunakan untuk menemani bersantap nasi dan telur ceplok plus kerupuk putih.Â
Semur ikannya menggunakan ikan salem. Kumasukkan juga potongan tomat, wortel, dan cabe ijo di dalamnya. Bumbunya ada bawang putih, bawang merah, lada, dan cabe. Aku tak menambahkan penyedap. Dalam waktu singkat, jadilah semur yang sedap dan hangat.Â
Rasa kecapnya memang cocok dengan seleraku yang tak suka kecap yang begitu manis. Bumbu-bumbu baik dalam Kecap SH maupun Teng Giok Seng seperti melengkapi bumbu yang kumasukkan dalam masakan, menjadi semacam umami dan memperkuat rasa.Â
Hari berikutnya aku memasak nasi goreng dengan Kecap Teng Giok Seng. Bumbunya hanya bawang putih, bawang merah, rebon, lada, dan cabe. Jadi deh. Sedap.Â
Yuk kita bahas rasa dari suasana Pasar Lama dan  kultur yang masih dirawat.
Jelajah Sejarah dan Budaya Yuk
Menuju Kawasan Pasar Lama, Benteng, Tangerang, perlu transit dua kali jika naik kereta dari arah Bogor. Ini kali pertama aku transit dari Stasiun Duri. Agak deg-degan mengumpulkan jadwal kereta karena harus transit di Manggarai dan Duri. Semalam tidak bisa tidur karena takut kesiangan.Â
Pada acara yang diadakan Minggu, 25 Mei 2025 rutenya terdiri Masjid Jami Kalipasir, tempat pembuatan kecap SH, dan Teng Giok Seng, Toapekong Kali, Roemboer, Rumah Oey Kim Tiang, Kelenteng Boen Tek Bio, Museum Benteng Heritage, dan diakhiri dengan Kedai Kopi Lampion.Â
Kami berkumpul di Stasiun Tangerang pukul 08.30. Setelah berkenalan dan saling sapa, Elsa langsung mengajak rombongan pertama untuk berkenalan dengan stasiun yang tergolong tua ini. Stasiun Tangerang didirikan tahun 1889 oleh Belanda. Dulu fungsinya untuk mengangkut hasil pertanian seperti gula, beras ke ke Jakarta. Dulu di dekat stasiun ada perkebunan tebu.Â
Dari stasiun menuju kawasan Pasar Lama hanya sekitar dari 500 meter. Meski hari Minggu pagi, jalanan sudah cukup rame. Pengguna jasa kereta juga cukup banyak.Â
Setelah mengunjungi lokasi pabrik Kecap HS dan Teng Giok Seng, kami menuju Masjid Jami Kalipasir. Sebelumnya kami juga melewati Masjid Agung Al-ttihad yang megah. Â
Masjid Agung Al-Ittihad yang didirikan tahun 1961 rupanya memegang peranan penting di sini. Seperti dijelaskan Elsa, kawasan ini awalnya dihuni keturunan China dan peranakan China-Sunda. Namun, juga ada kawasan muslim di sini. Kalangan China Benteng  kemudian berbaur dan hidup harmonis dengan kalangan muslim dan warga lokal. Masjid Agung Al-Ittihad adalah simbol multikultural karena masjidnya perpaduan antara Islam dan Tionghoa.Â
Sementara Masjid Jami Kalipasir didirikan tahun 1576 dan dikenal sebagai masjid tertua Tangerang. Â Masjid ini memiliki perpaduan warna putih dan hijau dengan menara yang cantik.Â
Masjid Jami Kalipasir masih aktif digunakan untuk beribadah. Ini bisa dilihat dari dinding informasi yang sarat informasi kegiatan dan dipajang lukisan masjid. Ada makam di dekat masjid yang dikhususkan untuk malam priyayi, tokoh pemerintahan dan tokoh muslim.Â
Lokasi Masjid Jami Kalipasir tak jauh dari Sungai Cisadane yang menjadi area Peh Cun atau Mendayung Perahu Naga yang diadakan hari ini (Sabtu, 31/5). Kami melihat ada beberapa regu yang sedang berlatih. Wah seru menontonnya.Â
Peh Cun diadakan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan China. Ada dua kategori lomba, perahu naga dan perahu papak. Pada festival Peh  Cun biasanya juga ada tradisi menyantap bacang, mendirikan telur, dan menangkap bebek. Ada 100 bebek yang dilepas di sungai dan peserta bisa menangkapnya. Ada nomor undian yang bisa ditukar hadiah di kaki bebek.Â
Nah pada saat itu di Toapekong Kali sedang ada yang berdoa dan kemudian melepas lele. Itu merupakan tradisi Fangsheng atau pelepasan kehidupan. Maknanya membantu satwa yang terancam dibunuh.
Elsa kemudian bercerita tentang sejarah China Benteng di mana pada gelombang pertama kedatangan bangsa China berkaitan ekspedisi Cheng Ho. Pada masa Belanda kemudian didirikan benteng untuk mencegah serangan Kesultanan Banten. Daerah sekitar Benteng kemudian disebut daerah Benteng.Â
Sekarang bentengnya sudah tidak ada. Menurut kabar tahun 1800an kondisi benteng sudah tak terawat. Di dalamnya ada gereja, kamp militer, gudang senjata, dan lain-lain.Â
Ekonomi warga Benteng lebih makmur dari berdagang. Di luar Benteng disebut Udik. Tradisi lebih terjaga di daerah Udik.Â
Bahasa China Benteng lebih ke Hokkien, tidak bisa berbahasa Mandarin. Kulitnya lebih hitam. Sedangkan baju pengantin perempuan seperti akulturasi dengan Sunda dan adat Betawi.Â
Setelah beristirahat sejenak kami menuju Roemboer yang berhadapan dengan rumah Oey Kim Tiang. Roemboer - Tangga Ronggeng merupakan rumah burung walet. Rumahnya memiliki ciri khas arsitektur Tionghoa dari ukiran dan lampion.Â
Bangunan ini didirikan tahun 1800-an. Lalu sempat menjadi sarang burung walet. Setelah dibeli oleh Udaya Halim yang juga pemilik Museum Benteng Heritage, bangunan ini dipugar dan sempat menjadi restoran di lantai dasar. Namun, kemudian tutup sejak pandemi.Â
Di seberang Roemboer ada rumah penerjemah lebih dari 100 cerita silat (cersil). Namanya adalah Oey Kim Tiang alias OKT. Ia menerjemahkan cersil dari bahasa Hokkien ke bahasa Melayu. Rumahnya sekarang masuk cagar budaya Petak 9.
Tujuan berikutnya adalah Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage yang lokasinya hanya beberapa meter dari Roemboer. Gang ini begitu padat dan damai karena banyak pengunjung yang berwisata budaya dan hendak sembahyang ke kelenteng.Â
Kelenteng Boen Tek Bio merupakan kelenteng tertua di Tangerang, dibangun tahun 1684. Kelenteng ini ramai dikunjungi, terbuka 24 jam. Bangunannya cantik dan tempat rapi dengan dominan warna merah plus aksen kuning dan hijau.Â
Di sini ada singa batu, lonceng, dan tempat pembakaran kertas yang dibuat tahun 1800-1900an. Atap bangunan utama melengkung melambangkan kemakmuran. Di belakang kelenteng ada wihara.Â
Sebelum makan siang kami menuju Museum Benteng Heritage yang diresmikan 11 November 2011.Â
Museum ini dulunya adalah rumah perkumpulan dagang yang didirikan sekitar tahun 1700an. Kemudian menjadi rumah tinggal. Semua bagian masih asli termasuk kayu jendela. Lantainya masih lantai terakota.Â
Ada banyak foto jadul dan lukisan yang memperlihatkan situasi Pasar Lama dan Tangerang jaman dulu. Juga ada alat untuk layar bermain wayang berusia sekitar 200 tahun. Ada relief batu di berbagai sisi yang cantik dan terawat.Â
Rofi Martin Siahaan yang menjadi pemandu mengajar kami ke lantai dua. Selama di museum tidak boleh mengambil foto. Di lantai dua kami juga harus melepas sepatu. Di lantai dua ada pintu kuno dengan dua slot. Oleh karena itu setiap rumah tidak boleh kosong, harus ada orang yang buka karena pintunya susah dibuka.Â
Koleksi museum ada begitu banyak pernak-pernik tentang budaya peranakan. Ada kecap benteng, sempoa, telpon dan jam jadul, tempayan, meja altar Kwan Kong sang Dewa Perang. Dewa ini dikenal jujur pemberani sehingga sumpah jabatan  di depan altar Kwan Kwong.
Kemudian ada timbangan candu dan dupa terbuat dari kayu atau bambu. Di tempat lain ada koleksi koin dan mata uang kuno, sepatu mungil bangsawan perempuan di mana kakinya diikat sejak kecil agar kecil dan cantik.Â
Ada koleksi ceki, gaplek, domino, catur China, ranjang pengantin abad ke-19, kebaya encim 1894, dan toilet portabel. Juga ada topi petani dan jas hujan jaman dulu, wayang potehi, dan mangkuk gaya peranakan. Wah koleksinya begitu lengkap dan banyak.Â
Akhirnya tuntas juga wisata hidden gem di Pasar Lama Tangerang. Ada banyak wawasan dan rasa yang kuserap. Sampai jumpa di acara jelajah lainnya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI