Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apakah Kompasiana Baik-baik Saja? (Tamat)

29 Desember 2021   20:27 Diperbarui: 29 Desember 2021   20:31 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer adalah sosok yang sebenarnya loyal tapi kondisi yang tak nyaman bisa membuat mereka berubah pikiran (sumber gambar: pusat franchise.com) 

"Customer satisfaction is worthless. Customer loyalty is priceless."
- Jeffrey Gitomer

Kompasianer adalah aset Aku sepakat dengan komentar kawan-kawan termasuk Brader Yefta. Model bisnis Kompasiana itu unik, sehingga ia menjadikan Kompasianer sebagai aset atau sumber daya (key resource) dan juga bagian dari konsumen produk Kompasiana itu sendiri. 

Selama ini sebagian besar Kompasianer dikenal militan, seperti yang disebut Acek Rudy. Meskipun platform Kompasiana tak sempurna -- dulu suka error saat masuk dan unggah artikel, namun mereka tetap bertahan. Selalu mendukung, meski sering juga menggerutu.

Namun sayangnya masalah yang terus dikeluhkan Kompasianer jarang sekali disimak. Meski sudah begitu banyak artikel dan komentar yang mengeluhkan masifnya aksi copas oleh beberapa media online, namun masalah tersebut tak kunjung tuntas. Seingatku fenomena tersebut sudah muncul sejak tahun 2017 dan semakin ganas. 

Mbok ya disampaikan ke Kompasianer, masalah tersebut sedang dicarikan solusinya. Paling-paling Kompasiana bakal merasa lega (sebentar) dan kemudian kembali menagih janjinya.

Masalah soal perhitungan K-rewards yang kurang transparan dan sistemnya diubah mendadak tanpa pemberitahuan juga mengecewakan sebagian kalangan. Memang ada sebagian Kompasianer yang tak berharap K-rewards. Tapi kita tetap perlu hargai mereka yang berjuang keras untuk mendapatkan K-rewards. Sebenarnya hal tersebut wajar karena ada platform lainnya yang juga menerapkan benefit serupa.

Masalah-masalah lainnya yang juga dikeluhkan Kompasianer di antaranya soal ketidaknyamanan membuka laman K yang penuh kejutan iklan. Seperti ranjau, harus hati-hati melangkah. Jika jemari kepencet iklan maka pembaca malah kelabakan dan tersesat. Ia bisa-bisa malah lupa tujuan sebenarnya, mau baca tulisan si A.

Ada juga yang terus mempermasalahkan jumlah keterbacaan seperti mas Reno. Memang sedih, sudah nulis panjang kali lebar yang membaca hanya satu dua. Ini ibarat sebuah pertunjukan teater, sudah latihan keras berhari-hari eh penontonnya hanya satu dua. Tidak ada yang tepuk tangan pula.

Memang tak sedikit Kompasianer yang sudah merasa lega dan senang asal sudah selesai menulis. Tapi kita juga perlu hargai mereka yang juga ingin artikelnya cukup banyak dibaca. Sebuah gagasan, kritik, dan saran akan lebih bergema bila banyak dibaca, bukan?!

Masalah lainnya adalah tentang komunitas yang merasa dianaktirikan. Suka disebut-sebut jumlah komunitas Kompasiana sudah berjumlah sekian, tapi jarang sekali didengar jika mereka punya masalah. Seperti tidak ada rasa penasaran mengapa komunitas yang aktif mengadakan kegiatan itu-itu saja.

Padahal komunitas membawa nama Kompasiana. Ketika nama komunitas bagus di mata klien maka nama Kompasiana juga ikut terdongkrak.

Masalah lainnya yang juga pernah diungkit para Kompasianer yakni soal artikel utama yang lebih banyak memberikan porsi ke gaya hidup terutama anak muda. Sementara porsi artikel utama untuk politik dan ekonomi semakin berkurang. Padahal mesin kampanye sudah mulai dipanaskan dan masalah ekonomi di Indonesia masih sesuatu yang legit dibahas. Eh jangan-jangan penulisnya sebagian sudah menghilang? Ups...

Soal hadiah Kompasiana Awards juga jadi bahan omongan, seperti yang dibahas oleh mas David Abdullah. Ya, memang kontradiktif. Di satu sisi manajemen merayakan angka-angka fantastis dan berani memberikan K-rewards hingga tujuh jutaan. Tapi mengapa ketika memberikan K-Awards dengan nilai berkurang jauh kemudian beralasan Kompasiana sedang mengalami kondisi finansialnya.

Ehem...

Ketika Kucing Mengeluarkan Cakar
Sejak mas Nurul bersemangat mengabarkan kabar pencapaian Kompasiana dengan angka-angka fantastisnya disertai rencana mengadakan program baru Kompasiana Hub, ada alarm bawah sadar berbunyi. Alarm kembali menyala ketika ada transferan dana hadiah dan permohonan maaf hadiah berkurang.

Si Kidut ini manis tapi bisa jadi ancaman ketika mengeluarkan cakar (dokpri) 
Si Kidut ini manis tapi bisa jadi ancaman ketika mengeluarkan cakar (dokpri) 

Ada apa dengan Kompasiana? Apakah ia baik-baik saja?
Angka-angka fantastis itu nampak berkilauan. Sebuah catatan performa yang cemerlang menutup akhir tahun. Sebuah laporan yang bagus, memenuhi atau malah melebihi target.

Namun melihat catatan kaleidoskop disusul membaca ulang grafik yang dibagikan mba Wida rasanya ada yang aneh. Lagi-lagi kontradiksi. Ini seperti sebuah saham yang nilainya dikatrol naik tapi performa perusahaannya padahal kurang bagus.

Hal tersebutlah yang membuat si penulis yang biasanya adem ayem, yang biasa memilih menulis dengan topik hiburan dan kucing-kucing lucu, kemudian mengeluarkan kalkulator dan membaca ulang grafik, lalu membuat analisis panjang lebar. Dari ketiga artikel sudah ada sekitar 5 ribu kata. Sudah cocok jadi sebuah paper konferensi.

Si penulis yang biasanya mendengarkan musik metal lalu mematikan musiknya dan berkata dalam dirinya. Ada sesuatu yang kurang pas. Ia lalu susah tidur dan bergadang mencari data untuk memperkuat analisisnya. Ibaratnya seperti kucing yang sedang mengasah kukunya. Ia tengah menyiapkan cakarnya.

Sebuah Dilema
Bukan. Penulis tidak membenci Kompasiana. Malah sebaliknya. Terbayang di mata penulis wajah mas Kamil yang lelah, mas Kevin yang menahan diri karena membaca komen negatif itu juga penuh energi negatif, Mbak Widha dan mbak Nindy yang sibuk memoderasi konten, dan mas Nurul yang nampak kuyu dan kurang bersinar di Kompasianival.

Penulis berkata ke mbak Muthiah, kasihan sebenarnya mas Nurul. Mungkin ia mengalami tekanan besar. Key performance index-nya mungkin dipenuhi dengan persentase jumlah Kompasianer baru dan jumlah view. Ia ingin berbuat sesuatu yang baru. Ia mencoba melakukan inovasi. Dan hasilnya adalah angka-angka yang cemerlang. Tapi mengapa Kompasianer masih terus mengeluh? Mengapa ada penulis yang merugikan angka-angka yang dibagikannya tersebut?

Ya, saat ini mungkin adalah masa yang sulit bagi Kompasiana. Pada masa-masa yang sulit umumnya pimpinan dihadapkan pilihan yang rumit dan dilematis. Saat inilah waktu yang tepat untuk mengevaluasi diri. Mengapa semakin banyak Kompasianer loyal yang meninggalkan Kompasiana? Mengapa sudah begitu banyak anggota baru tapi belum lega dari masalah finansial?

Hanya Masalah Komunikasi?
Komunikasi antara pengelola Kompasiana dan Kompasianer diyakini Reno, Acek Rudy, dan lainnya cukup buruk. Kompasiana seperti mendirikan benteng bagi Kompasianer, hanya sedikit yang dibukakan pintu.

Ketika sistem perhitungan K-rewards diubah Kompasianer berharap ada pemberitahuan sebelumnya. Ketika Kompasianer hendak memberikan saran, juga disediakan wadahnya.
Ya, masalah komunikasi itu vital. Itu salah satu bentuk perhatian dan salah satu wujud layanan. Pelanggan loyal di sebuah perusahaan bisa jadi menyingkir dan berpindah ke lain hati apabila ia merasa tidak diperhatikan.

Mendengarkan pelanggan itu penting (sumber gambar: http://shoutanalytics.blogspot.com) 
Mendengarkan pelanggan itu penting (sumber gambar: http://shoutanalytics.blogspot.com) 


Komunikasi yang baik akan mendekatkan antara perusahaan dan konsumennya. Apalagi di sini Kompasianer bukan hanya sebagai konsumen, ia juga adalah aset dan tenaga kerja tidak langsung. Ia penghasil konten dan juga bagian dari pembaca konten tersebut.

Jika konsumen loyal Kompasiana menghilang, ia tak hanya kehilangan sebagian pasar, namun juga aset dan tenaga kerjanya. Bagaimana bila yang menghilang itu adalah mereka yang selama ini menghasilkan konten-konten yang bagus? Ibarat toko kue, pembuat kue-kue yang lezat pindah ke toko lain, maka konsumen ya bisa jadi pindah ke toko kue tersebut meski harganya mungkin sedikit lebih mahal.

Komunikasi juga tak hanya penting di laman Kompasiana, lini-lini lainnya seperti media sosial dan bagian pemasaran juga tak kalah penting. Apa gunanya media sosial seperti Twitter jika dikelola seperti robot, hanya seperti tempat menaruh tautan? Apa guna marketing bila kehilangan potensi klien karena tawaran yang tak kunjung direspon?

Sebenarnya masalah Kompasiana bukan hanya  terletak di komunikasi, ada masalah lainnya yang juga besar, strategi bisnis yang kurang pas karena kurang menyadari keunikannya, penyakit lama suka buat program baru tapi kemudian terbengkalai, dan keterbatasan SDM.

Soal keunikan dan eksekusi program sudah aku bahas di dua artikel sebelumnya. Kini soal keterbatasan SDM.

Kompasiana diisi oleh orang-orang yang kompeten. Namun banyak dari punggawa K yang telah pergi, pindah ke lingkungan kerja yang baru. Kini jumlah SDM mereka terbatas, sementara masalah semakin besar karena bertumpuk-tumpukan.

Dampaknya, artikel politik mengalami karantina karena mungkin tidak ada yang benar-benar menguasai bidang ini. Satu admin bisa jadi harus memoderasi semua artikel dan ini bergantung pengalaman. Ini juga yang membuat komunitas juga kurang bisa bertumbuh, ya adminnya punya banyak pekerjaan, tidak bisa fokus mengurus hanya soal komunitas.

Masalah keterbatasan SDM ini juga penting. Sudah kekurangan SDM mau buat program baru lagi? Yakin?! K-premium saja belum dieksplorasi, hanya sebatas biar tidak kebanjiran iklan.

Apabila Kompasiana ingin all out ya semua lini harus diperhatikan. Lini komunikasi, SDM, dan strategi perlu kembali dievaluasi.

Dengarkan para Kompasianer, ia adalah aset, tenaga kerja dan juga sekaligus bagian pasar (sumber gambar: medium.learningbyshipping.ckm) 
Dengarkan para Kompasianer, ia adalah aset, tenaga kerja dan juga sekaligus bagian pasar (sumber gambar: medium.learningbyshipping.ckm) 


Bagaimana dengan Soal Finansial?

Bagaimana bila masalah finansial ini terus mendera? Bagaimana jika buruk-buruknya manajemen tidak bisa lagi membiayai operasional Kompasiana?

Duh moga-moga jangan. Apabila Kompasiana mengalami kondisi seperti itu apakah Kompasianer bersedia menggalang dana untuk   Kompasiana? Misalnya sukarela menjadi Kompasianer premium demi kelanggengan hidup Kompasiana?

Tentang hal ini ada sesuatu menarik yang penulis jumpai di sebuah media yang baru berkembang. Sebut saja namanya Media X. Media ini memiliki program semacam Sahabat Media X. Untuk menjadi Sahabat Media X maka warganet membayar biaya atau semacam menjadi anggota premium. 

Apa manfaatnya? Para sahabat akan diajak untuk mengikuti rapat bulanan. Di sana para sahabat bisa ikut urun rembug tentang tema yang akan diinvestigasi.

Jangan salah program ini banyak mendapatkan sambutan. Tak sedikit yang rela mengeluarkan uang untuk mendapat kesempatan mengintip dapur redaksi dan juga diajak urun rembug untuk mengungkap suatu peristiwa. Dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk biaya operasional karena mereka selama ini lebih bersifat independen.

Kasus tersebut bisa menjawab masalah Kompasiana berkaitan dengan dana operasional (apabila diperlukan) dan juga soal komunikasi.

Tentang komunikasi dan bentuk perhatian ke pembaca juga pernah diterapkan oleh Jawa Pos dalam bentuk Dewan Pembaca. Para pembaca loyal diseleksi dan kemudian diajak menjadi Dewan Pembaca. 

Mereka ibaratnya pengguna kartu prioritas di sebuah bank, diajak makan-makan, kumpul-kumpul, dan bisa ikut urun rembug secara periodik. Dewan Pembaca ini bergantian. Aku tidak tahu apakah ia masih ada. Tapi ide ini menarik, membuat Pelanggan loyal merasa diperhatikan.

Platform jurnalisme warga kerap membuat grup WA untuk menjembatani antara pengelola dan penulis. Dengan demikian penulis benar-benar diperlakukan sebagai aset, pendapatnya dianggap penting.

Bagaimana bila suatu hari kita perlu patungan menjadi K-premium agar K tetap eksis? (Sumber gambar: gjn.org) 
Bagaimana bila suatu hari kita perlu patungan menjadi K-premium agar K tetap eksis? (Sumber gambar: gjn.org) 

Bagaimana Bila Kompasiana Menjadi Medium CSR?
Satu lagi yang mengusik yakni masih soal finansial. Akhir-akhir ini Kompasiana dituntut untuk banyak menghasilkan keuntungan, tapi bagaimana bila model bisnis tersebut diubah. 

Bagaimana bila Kompasiana menjadi wadah CSR Kompas Group. Ia menjadi medium CSR Kompas Group dalam menyebarkan semangat literasi dan mengajak warganet aktif berbagi opini. Itu sebuah tujuan yang mulia.

Dengan demikian para punggawa Kompasiana bisa bekerja dengan lebih fokus mengutamakan kualitas konten, tidak pusing dengan urusan finansial. Wajah-wajah admin K dan mas Nurul juga bisa lebih cerah dan ceria seperti dulu.

Namun itu hanya usulan.

Ya tulisan berseri ini harus berakhir di sini. Keempat tulisan ini hanyalah kritikan dan usulan agar Kompasiana mendatang tetap eksis dan lebih baik.

Mendatang si penulis akan kembali menjadi 'kucing yang jinak' tidak lagi memasang cakar dan berpura-pura menjadi macan. Penulis akan kembali menulis hal-hal yang ringan.

Semoga Kompasiana selalu baik-baik saja!

Dari sini tirai ditarik perlahan-lahan dan kemudian muncul tulisan 'Tamat'...

Lalu muncul ucapan terima kasih di layar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Humaidy,  Pak Khun, mbak Muthiah, Pak Rudy, Reno, Bu Dee Devinar, Pak Irfan, David, Brader Yefta, mbak Indah, mbak Windhu, dan semua teman-teman yang menjadi rekan diskusi dan memberikan komentar yang membantu untuk membuat analisa.  

Layar sudah ditarik dan muncul kata tamat. Si penulis kembali berubah jadi penulis yang adem ayem (sumber gambar: freepik. com) 
Layar sudah ditarik dan muncul kata tamat. Si penulis kembali berubah jadi penulis yang adem ayem (sumber gambar: freepik. com) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun