Dear diari,
Dulu, libur Lebaran rasanya kayak naik odong-odong tapi di tengah jalan diturunin. Udah capek kerja sebulan penuh, eh giliran libur malah harus standby lagi. Aku ngerti sih, kerjaan ini memang enggak kenal tanggal merah. Sedikit senang karena ada uang dinas yang nilainya dilipatgandakan. Udah kayak pahala saja.
Tapi kadang suka mikir juga, apa rasanya jadi orang yang bisa seenaknya ambil cuti, ngilang tanpa laporan, pas yang lain sibuk jungkir balik?
Eh, terus muncul berita: Bupati Indramayu, Lucky Hakim, lagi jalan-jalan ke Jepang.
 Ya Allah, Jepang, Diari! Di saat banyak orang di bawah naungan pemerintahannya lagi kelimpungan ngatur lalu lintas arus balik, penanganan sampah, antisipasi bencana, dan lain-lain. Dia malah healing?
Gini ya, Pak Bupati. Kalau Bapak ngerasa jabatan itu capek dan butuh refreshing, kami juga capek, Pak. Tapi bedanya, kami---para kuli---harus ngikutin aturan kalau mau cuti. Di tempat kerja saya, contohnya, ada yang namanya masa percobaan tiga bulan. Itu artinya, selama tiga bulan pertama kerja, gaji belum full, cuti apalagi. Baru bisa ambil cuti setelah setahun kerja, itu pun harus komunikasi dulu sama atasan.
Dan cuti itu, Pak, bukan model "ujug-ujug hilang". Ada formulirnya. Harus jelas berapa hari, dari tanggal berapa sampai kapan. Nomor HP aktif juga harus dicantumkan. Bahkan ada bagian yang nanya, "Selama cuti, Anda berada di mana?"
Karena, Pak, kalau sewaktu-waktu perusahaan butuh, kami tetap bisa dihubungi.
Tahu enggak, Pak? Di pekerjaan saya, yang namanya libur Lebaran itu bukan libur beneran. Kami justru masuk saat orang lain mudik, dan baru bisa ngambil cuti setelah lebaran lewat. Itu juga cuma kalau dapet giliran. Teman-teman saya yang kerja di rumah sakit, polisi, tentara, dan sesama wartawan, mereka semua ngerti arti tanggung jawab.
Lha, Bapak? Kepala daerah, jabatan publik, digaji dari uang rakyat, harusnya juga ngerti dong arti melayani. Tapi Bapak malah jadi turis di tengah negeri yang Bapak pimpin lagi butuh kehadiran pemimpinnya. Apa Bapak pikir jabatan itu kayak status influencer? Bebas bikin konten dari negara orang lain, sementara masalah di rumah enggak kelar-kelar?
Kadang saya suka mikir, mungkin Bapak enggak pernah ngerasain jadi karyawan biasa. Yang harus mikir 2-3 kali sebelum ambil cuti, karena beban kerja dan pertimbangan orang lain. Kalau iya, mungkin Bapak juga enggak bakal bisa ngerasain rasanya jengkel lihat atasan yang bisa ngilang seenaknya, tanpa kasih kabar, di saat semua orang lagi kerja keras.