Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Sandal

28 September 2023   18:41 Diperbarui: 28 September 2023   19:34 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar jengki sunarta

#terinspirasi_poto_bli_jengki

SEPASANG SANDAL
DN Sarjana

Kabar anginpun tak ada. Baik di wa, fb, Ig, twitter apalagi youtube. Aku terperangah. Tiba-tiba malam itu dia telah berdiri di hadapanku. Andai aku bilang bidadari, aku takut salah. Dia tak suka dipuji. Padahal dari banyak lukisan bidadari yang pernah kulihat terpasang di galeri, dia lebih cantik dari lukisan-lukisan itu. Apalagi dengan artis yang konon bisa pra bayar. Eee..hanyal ku melambung.

Kembali Aku ceritakan gadis malam. Maksudku gadis di malam itu. Aku terheran saja, mengapa dia nyelonong? Apakah dia mendapat kabar tentang kesendirianku di cafe ini. Aku sengaja memilih tempat  jauh dari keramaian. Paling yang datang tamu-tamu yang sengaja mencari suasana sepi. Sama sepertiku. Malam ini Aku ingin melepas kenangan lalu. Kenangan di bulan Agustus.

Mestinya Aku seperti anak muda lain, merayakan suasana merdeka penuh kegembiraa karena hampir disetiap kampung maupun kota hiasan merah putih terlihat sumpringah. Tapi bagiku disetiap bulan Agustus, perasaan tidak enak kan muncul, karena torehan luka itu akan terkelupas kembali.

Di balik penampilannya dengan balutan pakaian modis berkelas dengan sandal bak Ciderela, senyumnya terlihat kecut. Itu yang tak ku mau. Mestinya dia datang dengan senyum manis, hingga suasana galauku kan hilang.

"Kau sering seperti ini?" Kau bahagia seperti ini? Bli, kehadiranku malam ini, tidaklah mudah. Bagaimana aku berbohong dari keluargaku, demi menemuimu. Aku masih terngiang peristiwa buram di bulan Agustus. Apakah Bli masih mengingatnya?"

Tiba-tiba perempuan itu duduk di sampingku. Sepertinya mau menyandarkan tubuhnya di badanku. Cuman aku sedikit berkelit. Aku malu bau alkohol keluar dari mulutku melukai dia lagi. Sepatah katapun tak keluar dari bibirku.

Sambil menggenggam jemariku, tatapan perempuan itu begitu tajam. Air mata, sedikit tertahan di ujung lentik mata sayu. Senyumnya terlihat sedih, memberi isyarat ada duka bergelayut di hatinya.

"Bli, kau laki-laki yang ku kenal. Kau begitu menjaga kehormatanku. Aku sangat bangga sama Bli. Bicaralah Bli !" Perempuan itu mengguncang tubuhku.

Aku paham betapa nekadnya perempuan yang pernah aku sayangi. Malam seperti ini dia hadir sendiri. Tapi Aku harus mulai berkata dari mana? Padahal aku masih pusing pengaruh alkohol.

"Ayuk, semestinya kau tidak datang. Dari mana kamu tahu aku di sini? Aku sudah melupakan semuanya. Semua tentang diri Ayuk."

"Semudah itu Bli melupakan?" Tangannya menjauhkan minuman di depanku.

"Terus bagaimana lagi?"
Aku mematahkan pertanyaan yang dilontarkan. Andai jawabku "tidak", apa juga yang kuharap lagi. Bukankah perempuan di sampingku telah bahagia di pelukan laki-laki yang dia cintai.

"Apa selama ini Bli tidak tahu perasaanku?"

"Yuk, aku tidak biasa berperasaan. Walau Aku sering mengurai kata-kata, itu bukan soal perasaan. Itu soal seni."

"Bli, coba tatap wajahku. Coba Bli...! Bli akan tahu apa yang ada dalam hatiku."
Air mata Ayuk mulai terurai. Aku memang sengaja membuang pandangku jauh-jauh. Sejauh harapanku yang telah pupus. Tapi kali ini Aku berusaha menatap Ayuk. Mungkinkah ini tatapku yang terakhir?"

Malam terus beranjak. Hembusan angin pantai kian kencang. Dinginpun mulai menyengat. Jejeran alkohol di hadapanku sudah berubah menjadi nasi goreng ditambah telur mata sapi kesukaanku. Aku merasakan sesuatu yang lain. Seperti perempuan yang menyuapiku malam ini milikku.

"Ayuk, kau tak boleh seperti ini,"

"Siapa bilang tak boleh Bli? Aku tidak biasa membagi cinta. Bukankah Bli tahu perjalananku?"

"Ya Bli tahu. Itulah sebabnya Bli melupakanmu."

"Semudah itukah? Dalam hitungan beberapa musim bersama Bli, tak mudah bagi Ayuk melupakan. Bli. Tanpa Bli Ayuk mungkin sudah terjerumus dalam hitam kelam kehidupan. Itu yang tak bisa aku lupakan Bli."

"Itu masa lalu Ayuk. Tidak hanya dirimu yang mengalami. Kebetulan saja Bli mendapati dirimu."

"Masa lalu itu yang ingin aku nikmati malam ini. Aku serahkan semuanya pada Bli. Obati rinduku Bli."

Ayuk makin menyandarkan tubuhnya di dadaku. Aku tak kuasa menahan degup asmara. Pusaran hasrat meletup-meletup. Akankah Aku mempermainkan perempuan yang merebah di dadaku? Semudah itukah kehormatan Ayuk dan kehormatanku kan runtuh? Aku menarik nafas.

"Ayuk, aku paham maksudmu. Tapi Aku lebih paham, kau sudah milik orang lain. Itu yang harus kita jaga."

"Tidak Bli. Tidak...Malam ini apa yang Aku punya milik Bli. Aku ingin habiskan malam ini di sini. Di sini... bersama Bli. Biarkan pilihanku seperti ini."

Aku kehabisan akal membendung kerinduan Ayuk yang kian membuncah. Kecuali Aku biarkan malam yang bertaburan bintang kan menjadi saksi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun