Aku paham betapa nekadnya perempuan yang pernah aku sayangi. Malam seperti ini dia hadir sendiri. Tapi Aku harus mulai berkata dari mana? Padahal aku masih pusing pengaruh alkohol.
"Ayuk, semestinya kau tidak datang. Dari mana kamu tahu aku di sini? Aku sudah melupakan semuanya. Semua tentang diri Ayuk."
"Semudah itu Bli melupakan?" Tangannya menjauhkan minuman di depanku.
"Terus bagaimana lagi?"
Aku mematahkan pertanyaan yang dilontarkan. Andai jawabku "tidak", apa juga yang kuharap lagi. Bukankah perempuan di sampingku telah bahagia di pelukan laki-laki yang dia cintai.
"Apa selama ini Bli tidak tahu perasaanku?"
"Yuk, aku tidak biasa berperasaan. Walau Aku sering mengurai kata-kata, itu bukan soal perasaan. Itu soal seni."
"Bli, coba tatap wajahku. Coba Bli...! Bli akan tahu apa yang ada dalam hatiku."
Air mata Ayuk mulai terurai. Aku memang sengaja membuang pandangku jauh-jauh. Sejauh harapanku yang telah pupus. Tapi kali ini Aku berusaha menatap Ayuk. Mungkinkah ini tatapku yang terakhir?"
Malam terus beranjak. Hembusan angin pantai kian kencang. Dinginpun mulai menyengat. Jejeran alkohol di hadapanku sudah berubah menjadi nasi goreng ditambah telur mata sapi kesukaanku. Aku merasakan sesuatu yang lain. Seperti perempuan yang menyuapiku malam ini milikku.
"Ayuk, kau tak boleh seperti ini,"
"Siapa bilang tak boleh Bli? Aku tidak biasa membagi cinta. Bukankah Bli tahu perjalananku?"
"Ya Bli tahu. Itulah sebabnya Bli melupakanmu."