Dominasi Idealisme: Pendidikan untuk Mengasah Jiwa dan Pikiran
Filsafat idealisme, yang akarnya dapat ditelusuri hingga ke pemikiran filsuf Yunani kuno, Plato, berpandangan bahwa realitas tertinggi bukanlah dunia fisik yang kita sentuh, melainkan dunia ide, gagasan, dan spiritual. Dunia materi hanyalah bayangan atau manifestasi dari ide-ide universal yang abadi, seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Bagi seorang idealis, tujuan tertinggi hidup adalah mencapai pemahaman akan ide-ide ini melalui refleksi dan pemikiran rasional.
Ketika ditarik ke dalam dunia pendidikan, implikasinya sangat mendalam. Tujuan utama pendidikan idealis bukanlah untuk mencetak pekerja, melainkan untuk mengembangkan karakter, moralitas, dan intelektualitas siswa secara utuh. Pendidikan adalah proses "mengasah jiwa" agar siswa menjadi manusia yang berpikir mendalam, beretika, dan mampu mengenali kebenaran universal.
Kurikulumnya sangat kental dengan ilmu-ilmu humaniora: sastra, filsafat, sejarah, seni, dan agama. Pelajaran-pelajaran ini dianggap sebagai medium terbaik untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan besar tentang kemanusiaan.
Peran guru adalah sebagai seorang teladan moral dan intelektual, seorang fasilitator yang memancing pemikiran kritis siswa melalui dialog dan diskusi (metode Sokratik), bukan sekadar mentransfer fakta.
Tidak dapat dimungkiri, pendekatan idealis telah memberikan sumbangsih yang tak ternilai. Ia melahirkan individu-individu yang kritis, memiliki wawasan luas, dan berintegritas. Namun, di era di mana perubahan teknologi berjalan secepat kilat dan tuntutan industri menjadi sangat spesifik, dominasi idealisme yang berlebihan dapat menciptakan masalah. Ia bisa menghasilkan lulusan yang, seperti Budi dalam cerita kita, menjadi "raja" dalam diskusi konseptual di ruang seminar, namun gagap saat dihadapkan pada tuntutan untuk membuat sebuah model bisnis, menganalisis set data pasar, atau mengelola sebuah proyek dengan target yang jelas. Ia melahirkan pemikir, namun belum tentu seorang eksekutor.
Panggilan untuk Realisme: Pendidikan yang Membumi pada Kenyataan
Sebagai antitesis dari idealisme, hadirlah filsafat realisme yang dipelopori oleh Aristoteles, murid Plato sendiri. Realisme berpandangan sebaliknya: realitas sejati adalah dunia fisik yang objektif, yang dapat kita amati, sentuh, dan ukur melalui panca indra kita. Pengetahuan yang valid dan berharga adalah pengetahuan yang sesuai dengan fakta di lapangan, yang bisa diverifikasi. Kebenaran tidak ditemukan dengan merenung, melainkan dengan mengobservasi dan bereksperimen.
Inilah "sentuhan realisme" yang sangat dibutuhkan oleh pendidikan kita saat ini. Implikasinya dalam pendidikan adalah sebuah reorientasi total menuju dunia nyata dan kebutuhan praktis.