Bayangkan seorang pemuda bernama Budi, sarjana cumlaude dari universitas ternama. Di atas kertas, IPK-nya nyaris sempurna, kepalanya penuh dengan teori-teori cemerlang, dan skripsinya mendapat pujian setinggi langit dari para dosen. Namun, saat memasuki bulan pertamanya di dunia kerja, dinding realitas seakan menamparnya. Budi kewalahan. Ia kesulitan menerjemahkan konsep-konsep kompleks yang dihafalnya menjadi solusi praktis saat menghadapi masalah klien. Ia canggung ketika harus berkolaborasi dalam tim untuk mengejar tenggat waktu yang ketat, dan presentasinya, meskipun penuh data, gagal meyakinkan atasan karena kurang fokus pada hasil yang konkret dan bisa dieksekusi.
Kisah Budi bukanlah sebuah anomali; ini adalah cerminan dari fenomena yang lebih besar dan semakin mengkhawatirkan: kesenjangan keterampilan (skill gap) antara dunia pendidikan dan tuntutan dunia industri. Banyak perusahaan, dari startup teknologi hingga korporasi multinasional, menyuarakan keluhan yang sama. Mereka kesulitan mencari talenta yang tidak hanya "pintar" secara akademis, tetapi juga "siap kerja" -- individu yang mampu beradaptasi, mengeksekusi ide, dan memberikan kontribusi nyata sejak hari pertama.
Fenomena ini memaksa kita untuk menengok kembali ke hulu dan mengajukan pertanyaan fundamental: Apakah ada yang kurang pas dengan sistem pendidikan kita? Mungkinkah selama ini kita terlalu asyik melayang di awang-awang ide dan gagasan, hingga lupa untuk membumikan kaki pada realitas? Artikel ini akan mengupas bagaimana "sentuhan realisme" dalam filsafat pendidikan bisa menjadi jawaban untuk menjembatani jurang tersebut, demi mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara teoretis, tetapi juga tangguh dan relevan dalam menghadapi tantangan dunia nyata.
Jurang Menganga Antara Ruang Kelas dan Dunia Kerja
Kisah individu seperti Budi bukanlah sekadar anekdot personal, melainkan manifestasi dari sebuah masalah struktural yang tervalidasi oleh data. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk lulusan universitas masih menjadi salah satu yang tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya, berada di angka 5,99%. Ironisnya, di saat yang sama, banyak perusahaan di Indonesia justru melaporkan kesulitan dalam merekrut talenta yang tepat. Laporan "Indonesia's Talent Landscape 2024" dari berbagai platform rekrutmen ternama secara konsisten menyoroti keluhan utama para manajer HRD: lulusan baru seringkali kurang memiliki keterampilan praktis (hard skills) seperti analisis data, literasi digital tingkat lanjut, dan manajemen proyek, serta keterampilan lunak (soft skills) krusial seperti pemecahan masalah kompleks, komunikasi persuasif, dan kolaborasi tim.
Kesenjangan atau skill gap ini menciptakan paradoks yang merugikan. Di satu sisi, ribuan sarjana berjuang mencari pekerjaan yang sesuai. Di sisi lain, industri-industri vital---mulai dari teknologi, manufaktur, hingga ekonomi kreatif---melambat laju inovasinya karena "krisis talenta". Dampaknya terasa secara ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, perusahaan terpaksa mengalokasikan biaya besar untuk program pelatihan intensif guna "memoles ulang" karyawan baru agar siap kerja, sebuah inefisiensi yang seharusnya bisa diminimalkan. Secara sosial, fenomena ini melahirkan frustrasi massal di kalangan generasi muda yang merasa ijazah hasil jerih payah mereka seolah tak berharga, memicu persaingan yang tidak sehat dan potensi masalah sosial yang lebih luas.
Akar masalah ini sejatinya lebih dalam dari sekadar kurikulum yang usang. Ia menyentuh inti dari paradigma filosofis yang mendasari sistem pendidikan kita. Selama ini, kita mungkin terlalu fokus pada tujuan mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara teoretis, namun kurang memberikan porsi yang seimbang pada tujuan pragmatis untuk mempersiapkan mereka menghadapi realitas kehidupan setelah wisuda. Masalahnya bukan lagi sekadar tentang "apa yang diajarkan," melainkan sebuah pertanyaan reflektif yang lebih mendasar: "Untuk dunia yang seperti apa kita sedang mempersiapkan anak-anak kita?" Jurang antara ruang kelas dan dunia kerja ini adalah sinyal keras bahwa pendidikan kita memerlukan evaluasi mendalam, sebuah panggilan untuk kembali membumi.
Perang Gagasan di Balik Kurikulum Kita
Di balik setiap pilihan mata pelajaran, metode pengajaran, dan sistem evaluasi di sekolah kita, sesungguhnya ada sebuah fondasi tak terlihat yang menopangnya: filsafat pendidikan. Sadar atau tidak, setiap kurikulum dirancang berdasarkan seperangkat keyakinan tentang apa itu realitas, pengetahuan apa yang paling berharga, dan bagaimana cara terbaik untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya. Dalam arena gagasan ini, dua "raksasa" filosofis telah lama berdebat dan membentuk wajah pendidikan di seluruh dunia: Idealisme dan Realisme. Memahami pertarungan gagasan ini adalah kunci untuk membedah mengapa skill gap bisa terjadi.