Idealitas (Ontologi) menuntut bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang utuh. Aktualitas (Pragmatisme) menuntut siswa harus mampu memecahkan masalah. Sintesisnya adalah Pedagogi Proyek Berbasis Nilai. Siswa belajar memecahkan masalah praktis (Aktualitas), tetapi dalam prosesnya, mereka harus mengambil keputusan etis dan moral yang didasari Idealitas (Aksiologi).
Relevansi pada Kehidupan Kontemporer
Relevansi tertinggi Filsafat Pendidikan adalah ia memberikan Kompas Moral dan Intelektual bagi individu di tengah chaos informasi. Tanpa filsafat, setiap lulusan menjadi korban dari trend dan tekanan sosial. Dengan filsafat, mereka menjadi subjek yang mampu:
- Memilah Kebenaran (Epistemologi): Mampu membedakan hoax dari fakta, bukan karena hafalan, tetapi karena mengerti bagaimana kebenaran diverifikasi.
- Mengambil Keputusan Etis (Aksiologi): Mampu menolak korupsi atau intoleransi, bukan karena takut hukuman, tetapi karena memahami nilai kemanusiaan yang lebih tinggi.
- Menciptakan Makna (Ontologi): Tidak hanya mencari nafkah, tetapi mencari tujuan hidup yang bermakna (the meaningful life), mampu beradaptasi dan berkontribusi pada kebaikan bersama.
Dengan demikian, studi teoretis dan praktis Filsafat Pendidikan tidak hanya memperbaiki sistem, tetapi juga memberdayakan individu untuk menjadi arsitek bagi kehidupan mereka sendiri, sekaligus menjadi agen perubahan yang bertanggung jawab di tengah masyarakat. Kegagalan untuk menimbang Idealitas dan Aktualitas secara seimbang berarti kita gagal mendidik manusia, dan hanya berhasil melatih robot.
Merefleksikan Makna, Mengukir Tindakan
Kita telah menjelajahi medan studi Filsafat Pendidikan sebagai Dwitunggal: dari langit Idealitas Teoretis yang menetapkan tujuan dan nilai luhur, hingga bumi Aktualitas Praktis yang menuntut perwujudan nyata di ruang kelas dan kebijakan. Kesimpulannya tegas: Pendidikan yang mengabaikan akarnya (filsafat teoretis) akan layu dan dangkal dalam Aktualitas (praktis); sebaliknya, filsafat yang tidak membumi (praktis) akan menjadi ide kosong yang tidak relevan. Kegagalan kita dalam menyeimbangkan Idealitas dan Aktualitas adalah sumber utama krisis makna, yang menciptakan lulusan yang cerdas tetapi nihil dalam kebijaksanaan.
Kini, tugas kita adalah merespons krisis ini. Refleksi yang mendalam harus dimulai dari setiap pemangku kepentingan. Bagi guru, ini berarti setiap keputusan metodologis harus didasari oleh keyakinan filosofis yang kokoh, mengubah peran mereka dari sekadar penyampai materi menjadi filsuf praktis di depan kelas. Mereka harus terus bertanya: "Apa hakikat pengetahuan yang sedang saya sampaikan ini?" dan "Apakah ini membentuk karakter atau hanya menguji ingatan?"
Bagi pembuat kebijakan dan birokrat, ini adalah ajakan untuk berhenti hanya melayani tuntutan pasar dan statistik jangka pendek. Setiap kurikulum dan regulasi harus lulus uji aksiologi: apakah kebijakan ini membawa kita mendekati idealitas pembentukan manusia paripurna yang lebih baik? Pendidikan harus dilihat sebagai investasi moral jangka panjang, bukan sekadar biaya operasional.
Pada akhirnya, Filsafat Pendidikan bukanlah barang mewah intelektual, melainkan kebutuhan dasar dalam merancang masa depan peradaban. Kita tidak bisa terus menambal lubang di sistem tanpa pernah memperbaiki fondasinya. Harapan ke depan adalah integrasi yang lebih kuat antara Idealitas dan Aktualitas, menjadikan Pedagogi Filosofis sebagai inti dari pelatihan guru, dan menjadikan nilai-nilai luhur sebagai jangkar fleksibilitas kurikulum.
Masa depan pendidikan tidak ditentukan oleh seberapa canggih teknologi kita, melainkan oleh seberapa mendalam kita memahami tujuan kita. Marilah kita jadikan filsafat pendidikan bukan sekadar mata kuliah wajib, melainkan komitmen moral kita bersama. Dengan menimbang Idealitas dan Aktualitas secara seimbang, kita tidak hanya membangun sistem pendidikan yang lebih baik, tetapi juga mengukir generasi yang bijaksana, berdaya, dan bermakna.
Tugas kita bukan hanya mengisi bejana dengan ilmu, tapi menyalakan obor pemikiran. Apakah obor itu akan kita nyalakan dengan kayu bakar filsafat yang kokoh, atau membiarkannya padam tertiup angin pragmatisme sesaat? Pilihan ada di tangan kita.