Pendahuluan: Memudarnya Makna di Balik Ritual Belajar
Kita semua mengenalnya. Seseorang yang lulus dari universitas terkemuka dengan predikat cum laude, memiliki tumpukan ijazah dan transkrip nilai sempurna. Di mata masyarakat dan sistem pendidikan, ia adalah produk sukses. Namun, begitu ia melangkah keluar gerbang kampus, ia kebingungan. Di hadapan tantangan hidup yang kompleks, entah membedakan informasi yang benar di media sosial, mengambil keputusan moral yang sulit, atau bahkan hanya menentukan apa makna dari pekerjaan yang digeluti, pengetahuannya seolah menguap. Kebanyakkan orang menguasai bagaimana menyelesaikan soal ujian, tetapi tidak menguasai mengapa ia harus hidup dengan nilai-nilai tertentu. Pendidikan telah memenuhinya dengan data, tetapi gagal memberinya kebijaksanaan.
Fenomena ini, di mana tingkat kelulusan tinggi tidak berbanding lurus dengan kedewasaan moral dan kecakapan berpikir kritis, bukanlah anomali, melainkan cerminan dari sebuah sistem yang telah kehilangan kompasnya. Pendidikan, yang seharusnya menjadi mercusuar kehidupan, seringkali terasa hampa dan mekanis. Sekolah berubah menjadi pabrik ijazah, memproduksi output yang terstandarisasi, alih-alih individu yang tercerahkan dan berdaya. Di Indonesia, data dan laporan global menunjukkan adanya gap signifikan antara kurikulum yang sarat teori dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah nyata (misalnya, hasil PISA yang stagnan).
Kesenjangan yang menganga antara Idealitas (tujuan mulia pendidikan: membentuk manusia seutuhnya) dan Aktualitas (realitas praktik di lapangan: kejar target nilai dan kurikulum) inilah yang memanggil kita untuk menilik kembali fondasinya. Masalah ini bukan sekadar teknis tentang metode mengajar yang kurang inovatif atau materi yang ketinggalan zaman, hal ini merupakan krisis makna yang berakar pada abainya kita terhadap Filsafat Pendidikan.
Filsafat Pendidikan hadir bukan sebagai mata kuliah asing yang membosankan, melainkan sebagai pertanyaan kritis "Apa itu kebenaran yang layak diajarkan? Apa tujuan akhir dari semua proses belajar? Dan bagaimana idealitas mulia itu dapat diwujudkan dalam hiruk pikuk ruang kelas kita?" Oleh karena itu, artikel ini akan mengajak pembaca menyelami Filsafat Pendidikan sebagai studi dwitunggal: idealitas yang diidamkan (teoretis) yang menentukan tujuan, dan aktualisasi yang dihadapi (praktis) yang menentukan cara. Kita akan menimbang bagaimana dua sisi ini, ketika dipersatukan, dapat mengembalikan roh dan relevansi sejati pendidikan.
Urgensi Menegaskan Arah Pendidikan Bangsa
Di tengah arus globalisasi yang tak terhindarkan dan derasnya disrupsi teknologi, sistem pendidikan kita saat ini berada di persimpangan jalan yang genting. Kepentingan untuk mengangkat kembali studi Filsafat Pendidikan kini menjadi kebutuhan mendesak, bukan lagi sekadar pelengkap kurikuler, tetapi juga kasus nyata dan data yang menunjukkan adanya kegagalan fundamental dalam menghasilkan warga negara yang utuh.
Contohnya pada fenomena maraknya berita bohong (hoax) dan polarisasi pendapat yang ekstrem di ruang publik. Fenomena ini bukan hanya masalah kegagalan literasi digital, tapi merupakan kegagalan fundamental dalam Epistemologi Pendidikan, kegagalan sekolah dalam menanamkan kemampuan berpikir kritis untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan, serta sumber informasi yang kredibel. Secara sosial, kita juga melihat peningkatan kasus perundungan (bullying) dan intoleransi sebagai sebuah indikasi jelas dari kegagalan pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Aksiologis (etika dan moral) yang kokoh, humanis, dan inklusif.
Saat ini, pendidikan kita rentan terjebak dalam Aktualitas Pragmatis yang dangkal. Kebijakan pendidikan sering kali didorong oleh kebutuhan pasar kerja jangka pendek yaitu mencetak lulusan yang 'siap kerja' secara instan atau tuntutan politik sesaat, sehingga mengabaikan Idealitas Jangka Panjang tentang pembentukan manusia yang bijaksana dan warga negara yang bertanggung jawab. Pendidikan menjadi reaktif, terus menerus mengejar tren tanpa pondasi yang kuat. Kurikulum diubah bukan berdasarkan keyakinan filosofis yang mendalam tentang tujuan pendidikan, melainkan sering kali hanya demi memenuhi checklist standarisasi internasional atau tren ekonomi.
Inilah mengapa kita perlu berhenti sejenak dari pertanyaan Bagaimana (metode mengajar) dan beralih pada pertanyaan Mengapa (tujuan akhir). Tanpa pijakan filosofis yang kuat, kurikulum hanyalah daftar mata pelajaran yang kosong, guru hanyalah penyampai informasi mekanis, dan siswa hanyalah wadah pasif. Mengangkat kembali studi teoretis dan praktis Filsafat Pendidikan adalah upaya kolektif untuk menarik mundur, menanyakan kembali tujuan utama eksistensi pendidikan di tengah dinamika zaman, dan merumuskan ulang komitmen moral kita. Hanya dengan mengukuhkan filsafatnya, pendidikan dapat bertransformasi dari sekadar mesin penyedia tenaga kerja menjadi arsitek peradaban bangsa.