Gamelan adalah sebentuk warisan dari bumi Nusantara. Sejak dulu kala, gamelan bukan semata berbicara soal musik. Ia berelasi dengan banyak hal: politik, agama, sosial, dan budaya. Kehadirannya jadi bukti keagungan tinggi peradaban nenek moyang bangsa Indonesia. Jejak gamelan bahkan telah hadir pada relief Candi Borobudur. Relief itu laksana bukti musik --gamelan-- sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia sejak abad ke-8. Lebih lagi, sebagai penyeimbang antara etika dan estetika.
Selain terdapat ratusan patung, dua sisi dinding teras dari Candi Borobudur semuanya tertutup relief yang diukir pada batu keras. Relief Borobudur tak ubahnya sebuah kitab. Relief tersebut memuat banyak ilmu pengetahuan. Akan tetapi, membaca relief tak boleh sembarangan.Â
Bagi relief yang dipahat pada dinding-dinding Candi Borobudur harus dibaca dari kanan ke kiri (prasawya) -- berlawanan dengan arah jarum jam. Sedang, untuk membaca relief yang berada di bagian dalam pagar langkan dibaca sebaliknya, atau searah dengan jarum jam.
Pendangan itu diamini oleh Antropolog dari Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih. Cara itu digunakan agar memudahkan khalayak membedakan antara relief berisi cerita atau relief non-cerita (ornament, hiasan, atribut).Â
Jika dipelajari dengan seksama, relief-relief menakjubkan itu akan memberikan informasi terkait banyak hal. Relief Borobudur dapat bercerita terkait kejadian alam, teknologi yang digunakan, bentuk bangunan, hingga budaya--termasuk alat musik.
Alhasil, Borobudur yang selama ini kita kenal, bukan saja sebagai situs candi terbesar di negeri ini, tetapi ternyata bisa dikatakan bahwa situs ini dulu adalah pusat musik dunia. Sebuah sentrum yang mempertemukan ragam peradaban dari seluruh nusantara, bahkan dunia, melalui seni musik.
Perihal alat musik sendiri, lebih dari 200 relief yang berada di 40 panil menampilkan 60-an jenis alat musik. Masing-masing alat musik itu berjenis: petik, tiup, pukul, dan membran. Peruntukkan alat musik pada masa itu --abad ke-8---pun beragam.Â
Alat musik digunakan untuk sajian pertunjukan, upacara-upacara penting, hingga pengiring tarian-tarian sakral. Dalam konteks itu, relief alat musik jadi bukti penghargaan masyarakat Nusantara kepada seni. Tentu dengan level estetika yang tinggi.


"Alat-alat musik yang dipahatkan di sana menunjukkan bahwa masa itu peradaban sudah berjaya tidak hanya menegakkan etika, namun menuntut pada level estetika. Alat-alat musik yang terdapat pada pahatan relief di Candi Borobudur menunjukkan keragaman dan kekayaan instrumen musik yang dikenal, dipakai, dan dinikmati oleh masyarakat dalam tata kehidupannya," tambah antropolog kelahiran Yogyakarta tersebut.
Oleh sebab itu, tak salah jika gerakan Sound of Borobudur yang dimotori oleh tiga musisi senior Indonesia, Ir.Purwatjaraka, Trie Utami dan Dewa Budjana menyebut Borobudur sebagai pusat musik dunia. Relief musik di Borobudur itu jadi salah ajian Indonesia dalam mempromosikan gaung Wonderful Indonesia.Â
Sebab, relief yang ada telah menunjukkan keanekaragaman instrumen musik dan kemajuan teknologi pembuatan alat musik. Teknologi metalurgi yang luar biasa itu tersirat dari kehadiran instrumen gamelan pada relief Borobudur.
Gamelan Pada Relief Borobudur
Kehadiran gamelan dalam relief candi Borobudur telah diakui oleh banyak peneliti. Di dalam relief itu, setidaknya memuat empat pengelompokan alat musik gamelan. Pertama, Idiophone yang dipukul atau diketok. Kedua, Chordophone yang memiliki senar atau tali. Ketiga, aerophone yang dapat berbunyi karena adanya sentuhan udara. Keempat, membraphone yang terbuat dari kulit hewan.
Gambaran itu senada dengan yang diungkap oleh Etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst (1891-1960). Dalam peta studi musik Indonesia --khususnya musik Jawa-- Jaap Kunst adalah nama yang paling mentereng. Ia menjadi aktor utama yang banyak merekam nama-nama ratusan alat musik Nusantara.Â
Semuanya dihimpun dari manuskrip Jawa Kuno. Jaap Kunst yang mula-mula telah terpesona dengan suara gamelan, kemudian melakukan pengembaraan keliling Indonesia yang kala itu bernama Hindia-Belanda.
Tujuannya tak lain mempelajari bentuk-bentuk Instrumen musik Nusantara. Sebagaimana yang Jaap Kunst pelajari dari pahatan dinding-dinding candi kuno, yakni Candi Borobudur. Di Borobudur, Jaap Kunst mendapati instrumen musik menyerupai gamelan. Beberapa dari Idiophone, Chordophone, aerophone, hingga membraphone.Â
Akan tetapi, gambaran tersebut bukan pada gamelan modern. Asumsi Jaap Kunst dikarenakan terdapatkannya corak yang sama antara kendang Jawa dan India.
"Namun, Richard Widdess (1993), seorang etnomusikolog yang mengkhususkan studinya pada musik India, berpendapat bahwa jika kita menelusuri praktik musik India seperti digambarkan dalam risalah Natyasastra yang ditulis sekitar 500AD, maka kita menemukan musik bahwa susunan melodis dan ritmis musik India sebenarnya mirip dengan gamelan sekarang. Dengan demikian, spekulasi mengenai adanya kemungkinan hubungan antara musik Jawa dan India terus berlanjut," ujar tokoh penting dalam pelestarian gamelan, Sumarsam dalam buku Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global (2018).
Berbeda dengan Sumarsam, ilmuwan Belanda, Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905) punya spekulasi sendiri. Ia menyebut justru sebelum masuknya pengaruh budaya India ke Nusantara. Suku Jawa telah lebih dulu memiliki 10 pengetahuan dan kemahiran, seperti wayang, gamelan, ilmu irama sajak, batik, pengerjaan logam, sistem mata uang sendiri, teknologi pelayaran, astronomi, persawahan, dan birokrasi pemerintahan yang teratur. Artinya, jauh sebelum datangnya pengaruh bangsa India, gamelan sudah hadir lebih dulu.

Harmoni dan suara yang menyenangkan dari gabungan semua instrumen tersebut menyebabkan musik Jawa mempunyai karakter yang khas di antara daerah Asiatik lainnya. Saking pentingnya gamelan, setiap penguasa lokal di Jawa paling tidak memiliki satu atau lebih gamelan.
"Satu set gamelan pelog mempunyai harga mulai dari seribu hingga 600 dolar (250 hingga 400 pounds), namun satu set gamelan bekas pakai sering dibuang. Pabrik terbesar terdapat di Gresik. Secara khusus gong merupakan barang ekspor yang mahal. Setiap penguasa lokal memiliki satu atau lebih gamelan, dan kurang lebih terdapat perlengkapan gamelan lengkah di kota-kota besar di propinsi sebelah timur," ujar Thomas Stamford Raffles dalam mahakaryanya, The History of Java (1817).
Gamelan Mendunia
Keterpesonaan orang Barat terhadap gamelan mempunyai sejarah yang panjang. Salah satu yang terpesona adalah Naturalis, Alfred Russel Wallace. Dalam pengembaraannya menjelajahi Nusantara dari 1854 hingga 1862, ia pernah terpesona dengan gamelan kala berkunjung ke Jawa. Alfred Russel Wallace menyaksikan permainan gamelan sebagai bagian dari acara pesta --lima hari, lima malam-- sunatan kerabat Wedana Mojoagung (Jombang).

Buahnya, muncul sebuah kombinasi irama nan harmonis dari permainan gamelan. Harmonisasi itu disebutnya serupa mendengarkan kotak musik, tapi versi kotak musik raksasa.
"Seluruh pemusik adalah pemuda yang bermain musik dengan ketepatan tinggi. pertunjukan tersebut sangat menyenangkan namun, karena hampir semua alat musiknya sama, pertunjukan itu lebuh menyerupai sebuah kotak musik raksasa, daripada sebuah band. Untuk bisa menikmatinya, kita perlu melihat langsung seluruh pemain gamelan," cerita Alfred Russel Wallace dalam buku Kepulauan Nusantara (2009).
Keterpesonaan akan gamelan lainnya muncul dari penulis Belanda Leonhard Huizinga (1906-1980). Gamelan, kata Leonhard Huizinga hanya dapat dibandingkan keindahannya dengan dua hal: cahaya bulan dan air mengalir.Â
Dirinya mengakui musik yang tercipta dari permainan gamelan memang bukan untuk telinga orang Eropa. Kendati demikian, keindahannya alunan nadanya dapat dinikmati oleh setiap bangsa. Serupa dengan menikmati ketenangan yang ditawarkan cahaya bulan ataupun air mengalir.
"(Gamelan) seperti cahaya bulan dituangkan di atas ladang. Ia mengalir dan mengalir, berkotek, berdenting hingga menggelegak, seraya air turun dari pegunungan. Namun tak pernah monoton. Sekarang suaranya mengalir lebih cepat dan lebih keras, sama seperti air yang mengalir tiba-tiba berbicara lebih keras di malam hari, dan kemudian menghilang lagi menjadi sunyi," pungkas Leonhard Huizinga dikutip Jaap Kunst dalam buku Music in Java (1949).

Akhir kata, sederet pameran tersebut jadi bukti gamelan mulai kesohor di tanah Eropa. Lebih lagi, gamelan adalah sebentuk identitas musik Nusantara. Gamelan jadi bukti jika sederet alat musik yang hadir pada relief Candi Borobudur telah mendunia. Apalagi, kehadiran gamelan turut membuktikan tentang kebesaran Borobudur sebagai pusat musik dunia, setidaknya hingga hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI