Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Ketika

26 September 2020   00:37 Diperbarui: 26 September 2020   01:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://tebuireng.online/

"Shin, kata gw mah mending lu bilang tuh bos. Jangan sok jadi malaikat demi menyelamatkan muka bos lu, itu khan anak dia juga. Harus lu ingat yah, tuh anak nggak berdosa.  Jadi biar bagaimanapun nggak ada hak lu atau bos lu untuk cabut nyawa tuh bocah.  Terserah entah itu digugurin atau lu bunuh diri, tetap saja lu mengambil haknya untuk hidup."

"Pegang kata gw, lu datang ke Tuhan dan minta ampun.  Dia tuh pasti bantu lu, asal lu datang dengan hati.  Khan Tuhan itu Bapa, dan kita ini anaknya.  Mana ada sih Bapa yang meninggalkan anaknya.  Lu taulah semua itu bro. Terus ajak tuh bos bicara baik-baik. Satu kesalahan cukup, dan lu perbaiki. Kalau gw mau becanda yah Shin, kagak maulah gw punya teman jadi setan, kelakar Dina mencoba menenangkan suasana yang memang sudah horor karena kebetulan hujan badai malam itu.

Berharap mendengar suara Shinta menjawab, tapi yang ada hanyalah tangis hancur hatinya.  Kebayang sih, siapapun perempuan diposisinya pastilah panik.

Nggak lama Shinta bersuara dengan tentunya campur tangis,"Din, thanks yah untuk waktu lu,"  Lalu telepon itu ditutupnya, sementara penulis bingung ini maksudnya apa lagi.  Mencoba menelepon Shinta segera tetapi telepon itu tak menjawab.

Pasti pembaca penasaran ada apa dengan Shinta khan? Idem, Dina juga ketika itu.  Malam itu dihabiskan Dina dengan berusaha keras menyelesaikan tugas kantornya sampai begadangan karena Sabtu siang ditunggu atasannya.  Bercabang-cabang pikiran Dina memikirkan hal buruk kalau-kalau Shinta berbuat bodoh.

Terus mencoba menghubungi Shinta, tetapi sejak malam itu nomor Shinta tidak bisa dihubungi.  Namanya seolah lenyap hingga beberapa tahun kemudian sebuah telepon masuk.

"Din, ini gw Shinta.  Gw masih hidup Din," kata suara di telepon itu yang memang suaranya.

Kaget campur girang Dina, tapi mencoba untuk kalem.  "Wow...kemana aja lu?  Yakin ini bukan setannya si Shinta?  Cerita dong, kemana dan ngapain aja lu selama ini bro," seloroh Dina.

"Gw sudah resign dari kantor itu Din.  Malam itu gw nggak jadi bunuh diri.  Gw kagak mau jadi setan seperti kata lu.  Jadi, dua hari kemudian gw cerita ke bos gw, dan gw resign.  Sekarang sih gw udah kerja lagi di tempat lain.  Nah anak itu gw lahirin Din.  Jadi gw dikawinin sama dia, dan setelah anak itu lahir gw minta cerai.  Bagi gw yang penting anak gw statusnya jelas, punya bapak.  Soal bini bos gw itu bukan urusan gw, kita bicara baik-baik bertiga setelah pengakuan gw hamil anak suaminya.  Gw juga minta maaf karena lancang ganggu rumahtangga dia," curhat Shinta yang kali ini sangat jauh lebih tenang.

"Benar kata lu Din, ketika kita datang dengan hati maka Tuhan itu pasti tolong.  Anak gw itu diurus nyokap gw di kampung.  Tapi pegang kata gw, tuh anak enggak akan gw telantarin, dan gw enggak akan malu ngaku kalau gw mamanya, " ada nada bangga dalam suara Shinta.

Ehhmmm...kali ini aku yang lebih banyak terdiam mendengar pengakuan luarbiasa Shinta yang entah darimana mendapatkan kekuatan untuk berani menjalani keputusan beratnya sendirian.  Berbanding terbalik dengan telepon dulu yang hanya memikirkan kematian sebagai solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun