Dalam situasi seperti ini, pakaian tidak lagi menjadi sarana ekspresi, tetapi berubah menjadi alat kompetisi. Mahasiswa yang tidak mampu mengikuti tren sering kali merasa terpinggirkan. Padahal, hakikat identitas tidak ditentukan oleh merek pakaian, melainkan oleh nilai, prestasi, dan kepribadian yang dimiliki.
3. Nilai Positif: Kreativitas dan Peluang Baru
Meski demikian, tren OOTD tidak selalu membawa dampak negatif. Banyak mahasiswa yang justru memanfaatkannya sebagai sarana pengembangan diri dan kreativitas. Melalui kegiatan OOTD, mereka belajar tentang fotografi, estetika, manajemen konten, hingga strategi pemasaran digital. Hal ini sejalan dengan tuntutan era digital yang menekankan kemampuan berkreasi dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
OOTD juga bisa menjadi langkah awal menuju peluang ekonomi kreatif. Banyak mahasiswa yang kemudian dikenal sebagai fashion influencer atau content creator berkat konsistensinya dalam menampilkan gaya berpakaian. Mereka mendapatkan kerja sama dengan merek lokal, melakukan promosi produk, hingga memperoleh penghasilan tambahan. Dengan kata lain, gaya berpakaian dapat menjadi modal sosial dan ekonomi yang bernilai jika dikelola dengan cerdas.
Selain itu, tren ini turut mendorong bangkitnya produk-produk lokal. Semakin banyak mahasiswa yang bangga mengenakan karya anak bangsa seperti brand pakaian UMKM atau desainer muda. Hal ini bukan hanya memperkuat ekonomi lokal, tetapi juga menumbuhkan rasa nasionalisme dan apresiasi terhadap kreativitas dalam negeri.
4. Dampak Negatif: Konsumtivisme dan Tekanan Sosial
Namun, sisi lain dari budaya OOTD juga tidak bisa diabaikan. Fenomena adu outfit kerap membuat mahasiswa terjebak dalam perilaku konsumtif. Demi mempertahankan citra di media sosial, mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli pakaian dan aksesoris baru. Ketika hal ini dilakukan secara terus-menerus tanpa kesadaran, dapat memunculkan gaya hidup boros dan tidak realistis.
Selain itu, tekanan untuk selalu tampil sempurna juga berdampak pada kesehatan mental. Banyak mahasiswa yang merasa cemas atau tidak percaya diri jika penampilannya tidak sesuai dengan standar media sosial. Budaya ini sering disebut sebagai “budaya performatif”, di mana seseorang tampil bukan karena keaslian diri, melainkan karena tuntutan sosial untuk terlihat menarik. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengikis makna sebenarnya dari identitas dan kejujuran diri.
5. Membangun Kesadaran dan Keseimbangan
Fenomena OOTD tidak perlu ditolak, tetapi perlu dipahami secara kritis. Mahasiswa harus menyadari bahwa berpakaian adalah bagian dari ekspresi diri, bukan ajang pembuktian sosial. Tidak ada salahnya mengikuti tren fesyen, selama dilakukan dengan kesadaran dan tetap memperhatikan kemampuan finansial.
Kampus juga memiliki peran penting dalam membantu mahasiswa menumbuhkan literasi media dan pemikiran kritis terhadap budaya populer. Melalui diskusi, seminar, atau kegiatan kreatif, mahasiswa bisa diajak memahami bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan versi “terbaik” dari kenyataan. Kesadaran semacam ini akan membantu mahasiswa untuk tidak mudah terjebak dalam ilusi kesempurnaan yang diciptakan dunia digital.