Mohon tunggu...
DESTY LIANA
DESTY LIANA Mohon Tunggu... MAHASISWA

Memasak Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

OOTD Jadi Identitas: Fenomena Adu Outfit Di Kalangan Mahasiswa

16 Oktober 2025   20:11 Diperbarui: 16 Oktober 2025   19:11 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 OOTD JADI IDENTITAS: FENOMENA ADU OUTFIT DI KALANGAN MAHASISWA

 Oleh : DESTY LIANA ( 257311050 )

 Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakarta

Kemajuan teknologi dan berkembangnya media sosial telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi dan menampilkan diri. Salah satu fenomena yang mencolok di kalangan generasi muda saat ini adalah tren Outfit of The Day atau OOTD. Awalnya hanya sekadar istilah untuk unggahan foto berpakaian di media sosial, kini OOTD telah berubah menjadi bagian penting dari gaya hidup, terutama di kalangan mahasiswa.

Bagi sebagian mahasiswa, memilih pakaian untuk kuliah bukan lagi hal sederhana. Busana kini dianggap sebagai cerminan diri yang mampu menggambarkan karakter, kepribadian, hingga selera estetik seseorang. Tak sedikit mahasiswa yang rela meluangkan waktu sebelum berangkat kuliah untuk menata pakaian dan berfoto di sudut kampus yang estetik demi unggahan media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa gaya berpakaian telah bergeser dari kebutuhan fungsional menjadi bentuk ekspresi identitas diri yang diakui secara sosial.

1. OOTD sebagai Representasi Diri

Gaya berpakaian memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar pilihan busana. Bagi mahasiswa, pakaian sering menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tanpa kata. Seorang mahasiswa yang tampil dengan pakaian santai seperti kaus dan celana jeans biasanya ingin menonjolkan kesan bebas dan sederhana. Sebaliknya, mereka yang mengenakan pakaian formal mungkin ingin menampilkan kesan profesional dan serius.

OOTD kemudian menjadi ruang bagi mahasiswa untuk menunjukkan siapa dirinya. Melalui gaya berpakaian, mereka berusaha mempresentasikan citra diri yang diinginkan, baik di dunia nyata maupun digital. Dalam konteks kehidupan modern yang penuh persaingan, kemampuan membangun personal branding lewat gaya berpakaian menjadi hal yang cukup penting. OOTD memberikan ruang untuk mengekspresikan keunikan, memperlihatkan rasa percaya diri, sekaligus menjadi sarana komunikasi nonverbal di lingkungan sosial kampus.

2. Peran Media Sosial dan Budaya “Adu Outfit”

Media sosial memiliki pengaruh besar terhadap merebaknya fenomena OOTD. Platform seperti Instagram dan TikTok menjadi wadah utama bagi mahasiswa untuk memamerkan gaya mereka, mengunggah foto-foto estetis, dan mendapatkan perhatian publik. Setiap like atau komentar positif sering kali dianggap sebagai bentuk pengakuan sosial yang meningkatkan rasa percaya diri.

Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan budaya “adu outfit”. Mahasiswa kerap merasa terdorong untuk tampil lebih menarik dari teman-temannya agar tidak dianggap ketinggalan tren. Beberapa bahkan rela membeli pakaian baru secara berkala atau mengikuti tren fesyen terkini tanpa mempertimbangkan kebutuhan maupun kondisi finansial. Tekanan sosial ini dapat menimbulkan rasa minder dan membentuk pola pikir bahwa penampilan luar menentukan nilai diri seseorang.

Dalam situasi seperti ini, pakaian tidak lagi menjadi sarana ekspresi, tetapi berubah menjadi alat kompetisi. Mahasiswa yang tidak mampu mengikuti tren sering kali merasa terpinggirkan. Padahal, hakikat identitas tidak ditentukan oleh merek pakaian, melainkan oleh nilai, prestasi, dan kepribadian yang dimiliki.

3. Nilai Positif: Kreativitas dan Peluang Baru

Meski demikian, tren OOTD tidak selalu membawa dampak negatif. Banyak mahasiswa yang justru memanfaatkannya sebagai sarana pengembangan diri dan kreativitas. Melalui kegiatan OOTD, mereka belajar tentang fotografi, estetika, manajemen konten, hingga strategi pemasaran digital. Hal ini sejalan dengan tuntutan era digital yang menekankan kemampuan berkreasi dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

OOTD juga bisa menjadi langkah awal menuju peluang ekonomi kreatif. Banyak mahasiswa yang kemudian dikenal sebagai fashion influencer atau content creator berkat konsistensinya dalam menampilkan gaya berpakaian. Mereka mendapatkan kerja sama dengan merek lokal, melakukan promosi produk, hingga memperoleh penghasilan tambahan. Dengan kata lain, gaya berpakaian dapat menjadi modal sosial dan ekonomi yang bernilai jika dikelola dengan cerdas.

Selain itu, tren ini turut mendorong bangkitnya produk-produk lokal. Semakin banyak mahasiswa yang bangga mengenakan karya anak bangsa seperti brand pakaian UMKM atau desainer muda. Hal ini bukan hanya memperkuat ekonomi lokal, tetapi juga menumbuhkan rasa nasionalisme dan apresiasi terhadap kreativitas dalam negeri.

4. Dampak Negatif: Konsumtivisme dan Tekanan Sosial

Namun, sisi lain dari budaya OOTD juga tidak bisa diabaikan. Fenomena adu outfit kerap membuat mahasiswa terjebak dalam perilaku konsumtif. Demi mempertahankan citra di media sosial, mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli pakaian dan aksesoris baru. Ketika hal ini dilakukan secara terus-menerus tanpa kesadaran, dapat memunculkan gaya hidup boros dan tidak realistis.

Selain itu, tekanan untuk selalu tampil sempurna juga berdampak pada kesehatan mental. Banyak mahasiswa yang merasa cemas atau tidak percaya diri jika penampilannya tidak sesuai dengan standar media sosial. Budaya ini sering disebut sebagai “budaya performatif”, di mana seseorang tampil bukan karena keaslian diri, melainkan karena tuntutan sosial untuk terlihat menarik. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengikis makna sebenarnya dari identitas dan kejujuran diri.

5. Membangun Kesadaran dan Keseimbangan

Fenomena OOTD tidak perlu ditolak, tetapi perlu dipahami secara kritis. Mahasiswa harus menyadari bahwa berpakaian adalah bagian dari ekspresi diri, bukan ajang pembuktian sosial. Tidak ada salahnya mengikuti tren fesyen, selama dilakukan dengan kesadaran dan tetap memperhatikan kemampuan finansial.

Kampus juga memiliki peran penting dalam membantu mahasiswa menumbuhkan literasi media dan pemikiran kritis terhadap budaya populer. Melalui diskusi, seminar, atau kegiatan kreatif, mahasiswa bisa diajak memahami bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan versi “terbaik” dari kenyataan. Kesadaran semacam ini akan membantu mahasiswa untuk tidak mudah terjebak dalam ilusi kesempurnaan yang diciptakan dunia digital.

Dengan cara itu, mahasiswa dapat tetap tampil percaya diri tanpa kehilangan esensi dirinya. Gaya berpakaian memang penting, tetapi nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan prestasi akademik tetap menjadi fondasi utama identitas seorang mahasiswa.

6. OOTD Sebagai Potret Budaya Generasi Muda

Fenomena OOTD juga mencerminkan bagaimana generasi muda berevolusi dalam mengekspresikan diri. Jika dulu ekspresi diri banyak diwujudkan melalui tulisan atau musik, kini hal itu diwujudkan dalam bentuk visual, termasuk cara berpakaian. Melalui busana, mahasiswa dapat berbicara tanpa kata — menyampaikan pesan tentang siapa mereka dan bagaimana mereka ingin dipandang.

Tren ini memperlihatkan sisi positif generasi muda yang kreatif, terbuka, dan berani menampilkan identitasnya. Namun, yang perlu diingat adalah perbedaan antara ekspresi dan pencitraan. Ekspresi lahir dari keaslian, sedangkan pencitraan berasal dari keinginan untuk diakui. Mahasiswa idealnya mampu menempatkan dirinya di antara dua hal itu, agar tetap autentik tanpa kehilangan daya tarik sosialnya.

Fenomena OOTD di kalangan mahasiswa menggambarkan perubahan cara pandang generasi muda terhadap identitas dan ekspresi diri. Pakaian kini tidak hanya berfungsi sebagai pelindung tubuh, tetapi juga menjadi simbol komunikasi sosial dan kepribadian. Melalui OOTD, mahasiswa berusaha menampilkan diri mereka dalam bentuk visual yang estetik dan bermakna.

Meski begitu, budaya adu outfit tidak lepas dari risiko. Tekanan sosial, perilaku konsumtif, dan pencarian validasi di media sosial menjadi tantangan nyata yang harus disadari. Mahasiswa perlu memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh merek atau tren pakaian, melainkan oleh isi pikiran, sikap, dan kontribusi yang diberikan kepada lingkungan.

Dengan menyikapi tren ini secara cerdas, OOTD dapat menjadi sarana ekspresi positif yang memperkaya kreativitas tanpa kehilangan esensi diri. Menjadi modis boleh, tetapi keaslian dan integritas tetap menjadi gaya paling elegan yang dapat ditunjukkan oleh generasi muda masa kini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun