Di sisi lain, pelanggan juga semakin cerdas. Mereka bisa membedakan mana bisnis yang serius mengelola kehadiran digitalnya dan mana yang asal-asalan. Mereka menilai kualitas bukan hanya dari produk, tetapi juga dari cara sebuah brand berinteraksi secara online. Inilah mengapa pemasaran digital yang dikelola dengan baik bisa menjadi pembeda besar. UKM yang mampu tampil profesional dan responsif akan jauh lebih dipercaya dibanding yang hanya mengandalkan promosi konvensional.
Pada akhirnya, kesenjangan keterampilan digital bukan sekadar persoalan kemampuan teknis, melainkan tantangan budaya dan mentalitas. Dunia digital menuntut cara berpikir yang terbuka, keingintahuan yang tinggi, serta keberanian untuk bereksperimen. UKM yang mau belajar dan beradaptasi akan selalu punya tempat di pasar, seberapa besar pun perubahan yang terjadi. Sementara yang bertahan pada cara lama akan semakin sulit mengejar ketertinggalan. Maka, mungkin sudah saatnya kita berhenti menganggap keterampilan digital sebagai tambahan, dan mulai melihatnya sebagai fondasi. Sama seperti kemampuan menghitung atau berkomunikasi, literasi digital kini menjadi kebutuhan dasar setiap pelaku usaha. Dunia tidak menunggu siapa pun. Pelanggan sudah berada di ruang digital, pesaing juga sudah ada di sana. Pertanyaannya, apakah UKM kita siap untuk ikut bermain?
Jika jawabannya belum, maka sekaranglah waktu terbaik untuk mulai belajar. Tidak harus langsung mahir, cukup mulai dari hal sederhana, memahami media sosial, memanfaatkan data, atau mengikuti pelatihan singkat. Setiap langkah kecil menuju keterampilan digital adalah investasi besar bagi masa depan bisnis. Karena di dunia yang serba digital ini, keberhasilan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling besar, tapi oleh siapa yang paling siap beradaptasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI