Mohon tunggu...
Destya Bintang Herawati
Destya Bintang Herawati Mohon Tunggu... Mahasiswa

6

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Digital Bukan Sekedar Tren: Kesenjangan Keterampilan yang Menguji Ketangguhan UKM

11 Oktober 2025   21:04 Diperbarui: 11 Oktober 2025   21:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Pernahkah Anda memperhatikan betapa cepat dunia digital berubah? Hanya dalam beberapa tahun terakhir, pola belanja, cara orang berinteraksi dengan merek, hingga keputusan pembelian sudah bergeser ke ranah online. Media sosial, e-commerce, dan kampanye digital kini menjadi panggung utama bisnis, termasuk bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Namun sayangnya, tidak semua UKM siap memainkan peran di sana. Banyak yang masih tertinggal karena satu hal yang sering dianggap sepele, tapi berdampak besar: kesenjangan keterampilan digital.

Masalah ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Bedanya, dampaknya terasa lebih berat bagi UKM yang biasanya memiliki sumber daya terbatas. Mereka tahu bahwa dunia sedang bergerak ke arah digital, tapi sering kali tidak tahu bagaimana harus mulai. Ada yang sudah membuat akun media sosial, tapi bingung cara mengelolanya agar menarik. Ada pula yang mencoba beriklan di platform digital, tapi hasilnya tidak sesuai harapan karena tidak memahami cara menargetkan audiens dengan tepat.

Kita sering mendengar istilah “UMKM Go Digital” dalam berbagai kampanye pemerintah. Namun di lapangan, banyak pelaku usaha yang belum benar-benar “go” ke arah sana. Mereka mungkin sudah punya toko online atau akun Instagram, tapi belum memiliki keterampilan untuk membaca data pelanggan, memahami algoritma, atau mengelola strategi pemasaran yang efektif. Padahal, tanpa keterampilan itu, semua platform digital hanyalah etalase kosong, ada wujudnya tapi tidak menarik perhatian siapa pun.

Kesenjangan keterampilan digital muncul dari berbagai sisi. Pertama, tentu dari keterbatasan sumber daya. Banyak UKM beroperasi dengan modal pas-pasan dan tenaga kerja yang jumlahnya minim. Mereka harus menjadi pemilik, manajer, sekaligus pemasar. Dalam kondisi seperti itu, belajar teknologi baru sering dianggap membuang waktu dan biaya. Padahal, justru di situlah investasi jangka panjang seharusnya dimulai. Kedua, dari sisi kesadaran. Tidak sedikit pelaku UKM yang belum benar-benar memahami manfaat digitalisasi. Mereka merasa bisnisnya sudah berjalan baik selama bertahun-tahun dengan cara tradisional, jadi mengapa harus repot belajar hal baru? Sikap ini dapat dimaklumi, tapi berisiko besar. Karena saat mereka berhenti belajar, pasar bergerak lebih cepat dari kemampuan mereka untuk mengikuti. Konsumen yang dulu loyal bisa dengan mudah beralih ke pesaing yang tampil lebih profesional dan responsif di dunia digital.

Selain itu, perubahan teknologi yang terlalu cepat juga membuat banyak UKM kewalahan. Algoritma media sosial terus berubah, fitur baru muncul hampir setiap bulan, sementara pelaku usaha harus tetap mengurus produksi, distribusi, dan keuangan. Tidak semua memiliki waktu untuk mempelajari fitur baru TikTok atau tren konten yang sedang naik daun. Akibatnya, mereka tertinggal hanya karena tidak tahu bagaimana cara beradaptasi dengan tren yang berkembang. Bagi sebagian UKM di daerah, masalah ini diperparah oleh keterbatasan infrastruktur. Akses internet yang lambat, biaya koneksi tinggi, atau kurangnya pelatihan digital menjadi penghalang nyata. Bayangkan, bagaimana bisa mengelola kampanye iklan digital jika membuka situs saja membutuhkan waktu beberapa menit? Kondisi seperti ini membuat kesenjangan semakin lebar antara UKM di kota besar dan di wilayah yang belum tersentuh digital sepenuhnya.

Namun, yang sering kali tidak disadari adalah adanya kesenjangan mentalitas digital. Ini bukan sekadar soal tidak bisa menggunakan teknologi, tapi soal cara pandang terhadap perubahan. Banyak pelaku usaha yang merasa canggung atau bahkan takut mencoba hal baru. Mereka khawatir salah langkah, takut rugi, atau menganggap teknologi terlalu rumit. Padahal, teknologi justru diciptakan untuk mempermudah asalkan ada kemauan untuk belajar sedikit demi sedikit.

Dampak dari kesenjangan keterampilan digital ini terasa nyata dalam strategi pemasaran. Banyak UKM menjalankan kampanye digital secara coba-coba, tanpa strategi yang jelas. Mereka memasang iklan di media sosial dengan harapan bisa meningkatkan penjualan, tapi tidak memahami cara membaca data hasil kampanye. Saat hasilnya tidak sesuai harapan, mereka menyimpulkan bahwa iklan digital tidak efektif, padahal masalahnya bukan pada platform, melainkan pada cara penggunaannya. Bayangkan jika sebuah UKM makanan ringan memutuskan untuk beriklan di Instagram. Tanpa pengetahuan dasar tentang segmentasi audiens, mereka bisa saja menghabiskan anggaran besar untuk menampilkan iklan kepada orang yang tidak tertarik pada produk mereka. Akhirnya uang habis, tapi penjualan tetap datar. Sebaliknya, UKM lain yang memiliki keterampilan digital bisa memanfaatkan data pelanggan untuk menargetkan usia, lokasi, dan minat yang lebih spesifik. Hasilnya tentu berbeda, biaya iklan bisa lebih efisien dan hasilnya lebih optimal.

Kesenjangan keterampilan digital juga membuat UKM kehilangan efisiensi dalam pekerjaan sehari-hari. Banyak hal yang sebenarnya bisa diotomatisasi, seperti menjadwalkan posting media sosial, mengatur daftar pelanggan, atau membuat laporan penjualan digital, tapi tidak dimanfaatkan karena tidak tahu caranya. Akibatnya, waktu habis untuk tugas-tugas manual yang berulang, sementara energi untuk berpikir strategis justru berkurang. Masalah lain yang muncul adalah kualitas konten dan citra merek. Di era digital, visual dan interaksi adalah segalanya. Konten yang tidak konsisten atau tampak seadanya bisa membuat calon pelanggan ragu. Banyak UKM memposting foto produk tanpa pencahayaan yang baik, tanpa caption yang menarik, atau tanpa strategi storytelling yang mampu membangun koneksi emosional dengan audiens. Akibatnya, akun mereka sulit berkembang meski sudah lama aktif. Semua ini kembali lagi pada satu akar persoalan: keterampilan digital yang terbatas.

Tentu saja, tidak semua kabar buruk. Banyak UKM yang mulai menyadari pentingnya keterampilan digital dan mulai bergerak ke arah yang benar. Pemerintah, lembaga swasta, dan platform digital juga mulai menyediakan pelatihan. Namun sering kali pelatihan itu bersifat umum dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tiap bidang usaha. Seorang pemilik kedai kopi tentu butuh pendekatan berbeda dengan pengrajin batik atau penjual alat pertanian. Tanpa materi yang relevan dan berkelanjutan, pelatihan hanya menjadi kegiatan seremonial tanpa hasil nyata.

Yang paling dibutuhkan oleh UKM sebenarnya bukan sekadar pelatihan, melainkan pendampingan. Proses belajar teknologi tidak bisa dilakukan sekali duduk. Harus ada mentor atau komunitas yang bisa membantu ketika pelaku usaha mengalami kebingungan. Komunitas-komunitas digital seperti ini bisa menjadi ruang berbagi pengalaman, strategi, bahkan inspirasi. Karena pada akhirnya, belajar digital bukan hanya tentang memahami alat, tetapi juga tentang mengubah cara berpikir. Bayangkan jika setiap UKM memiliki kemampuan dasar membaca data pelanggan, memahami cara kerja iklan digital, atau membuat strategi konten yang efektif. Bayangkan jika mereka bisa mengatur kampanye promosi sendiri, memantau performa secara real time, dan mengambil keputusan berdasarkan data, bukan sekadar intuisi. Potensi pertumbuhan yang muncul akan sangat besar. UKM bisa menembus pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke luar negeri, tanpa harus bergantung pada pihak ketiga.

Tantangannya sekarang adalah bagaimana membuat proses pembelajaran itu terasa mudah dan relevan. Teknologi seharusnya bisa menjadi sahabat, bukan momok. Banyak alat digital sekarang yang sudah sangat ramah pengguna, tinggal bagaimana kita berani mencoba. Pelaku UKM perlu memahami bahwa kesalahan di dunia digital bukan akhir dari segalanya. Justru dari kesalahan itulah mereka belajar, bereksperimen, dan menemukan strategi yang paling cocok dengan karakter bisnis mereka. Peran pemerintah dan sektor swasta dalam hal ini sangat penting. Dukungan berupa insentif pelatihan, subsidi alat digital, atau bahkan kampanye literasi digital yang masif bisa menjadi pendorong besar. Namun dukungan itu harus disertai pendekatan yang humanis, bukan sekadar memberi pelatihan, tapi membantu UKM memahami mengapa keterampilan digital adalah kebutuhan, bukan pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun