Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pencuri Takdir

29 Maret 2016   15:09 Diperbarui: 29 Maret 2016   22:52 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: latimes.com | Christos Kalohoridis / Netflix"][/caption]Pada tengah malam di mana anakku sedang tertidur pulas, aku masih terjaga. Aku mendengar suara yang tak biasa. Sepertinya, seseorang telah memasuki rumahku. Kutinggalkan ranjangku, mendatangi sumber suara. Dengan sebilah pedang di tangan kirinya, lelaki itu mengacak-acak lemari yang berada di ruang tengah. Sialnya, dia mendapatiku sedang memperhatikan dirinya.

Belum sempat berteriak, ia meraih tubuhku. Mulutku dibungkamnya lalu menyeretku ke halaman belakang. Aku hanya bisa memejamkan mata dan bersiap tercincang oleh sebilah pedang yang dibawanya. Jika nyawaku ini mampu melindungi anakku, maka akan kuberikan.

Kurasakan malam itu lebih dingin dari sebelumnya. Dingin yang menusuk hingga ke rongga dada. Kuraih celana dalamku lalu memakainya bersama dengan kain lurik yang sebelumnya melilit pada pinggangku. Lelaki itu telah membuatku miskin. Miskin yang semiskin-miskinnya. Dia mengambil semua hartaku. Ya, hartaku.

Aku masuk ke dalam kamar, membelai anakku kemudian memeluknya. Wajahnya begitu bercahaya penuh kedamaian. Sepertinya, anakku sedang bermimpi bertemu dengan ayahnya di surga sana. Dalam jeritku yang mungkin tak sampai ke telinga Tuhan, kunyanyikan syukurku bahwa anakku baik-baik saja. Apa yang lebih berarti bagi seorang ibu selain anaknya sendiri?

“Lima tahun yang lalu, lelaki itu membuatku sangat kotor, bahkan lebih menjijikkan dari tahi ayam yang kuinjak ini.”

Aku melepaskan ikatan selendang dan menurunkan bakul dari punggungku. Kuperhatikan gentong-gentong berukuran sedang telah penuh dengan air. Anakku memang rajin menimba air di sumur dengan tubuhnya yang kecil, katanya agar bisa berotot.

Biasanya setelah menimba air, anakku akan masuk ke dalam kamar untuk belajar tapi kali ini kudapati dia duduk di beranda sambil memijat-pijat lengannya. Aku tahu bahwa dia sangat kelelahan. Jika kutegur, maka ia akan memilih untuk tidak pulang ke rumah. Anak lelakiku berumur sepuluh tahun yang mempunyai impian untuk selalu membahagiakan ibunya.

“Nak, kau di sini rupanya.” Kubawakan segelas jamu beras kencur kesukaannya.

“Buk, jamunya tidak laku ya?”

“Belum rejeki saja.”

“Malam ini kita akan pesta jamu ya, Buk. Jadi tidak perlu makan. Dengan jamu sudah kenyang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun