Apartemen Arion dan Lara hangat malam itu. Cahaya temaram menimpa deretan foto polaroid di dinding, saksi bisu tawa dan pelukan mereka. Arion memeluk Lara dari belakang, aroma rambut Lara memenuhi indranya. Mereka larut dalam keheningan yang nyaman.
"Ingat foto ini, Sayang?" bisik Arion, menunjuk sebuah foto mereka di Bromo. "Waktu itu kamu kedinginan banget, padahal sudah aku bilang pakai jaket tebal. Tapi tetap maksa foto di bibir kawah."
Lara terkekeh, kepalanya bersandar di dada Arion.
"Tentu saja! Kamu panik banget waktu itu, Ra. Sampai-sampai mukamu merah padam, takut aku kenapa-kenapa. Padahal Cuma mau lihat sunrise dari dekat."
Arion mengecup puncak kepala Lara. "Itu kan memang kebiasaanmu, selalu membuatku khawatir. Tapi itu juga yang membuatku makin sayang, kok."
Ia membalik halaman album. Foto lain, mereka berdua tertawa lepas di festival musik.
"Oh, ini!" seru Lara, matanya berbinar. "Konser band favoritmu. Kamu joget sampai lupa diri. Untung aku merekamnya, jadi ada buktinya."
Arion tertawa kecil. "Dan kamu merekamnya! Aku bersyukur kamu tidak mengunggahnya ke media sosial. Bisa malu tujuh turunan aku kalau teman-teman melihatnya."
Mereka tertawa bersama. Tangan Arion merayap ke jari manis Lara, mengusap lembut cincin pertunangan yang melingkar. Dua bulan lagi, mereka akan menikah. Masa depan cerah terbentang di depan mata.
Kehangatan itu perlahan memudar.
Apartemen mereka, yang dulu dipenuhi tawa, kini sunyi, diselimuti kesedihan. Siang itu, Arion duduk sendirian di sofa, album foto yang sama di tangannya. Ia menatap punggung Lara yang membelakanginya, Lara berdiri di dekat jendela, tatapannya kosong.