Mohon tunggu...
desi guswita
desi guswita Mohon Tunggu... Penulis - Desi Kirana

Do it, get it. Sukai yang kamu buat, buat yang kamu sukai

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rinai [Bab 1]

21 September 2019   14:22 Diperbarui: 21 September 2019   14:30 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Diusir


Kali ini Aini benar-benar merasa terbuang, bahkan sangat terhina. Bagaimana tidak? baru empat puluh hari kematian Datuak Sati suaminya. Piah adik iparnya, sudah mengusir Aini dan Rinai anaknya dari rumah yang selama ini mereka huni.

Piah datang membawa kebencian yang tumbuh mengganti hilangnya nyawa Datuak Sati. Dari dulu memang Piah tidak menyukai Aini, dia selalu bermuka sinis kepada Aini. Entah apa sebabnya? Walaupun Piah begitu jahat namun Aini tetap bersikap baik kepadanya.

Dari cerita saudara Datuak Sati yang lain, Piah tidak menyukai Aini karena dia bukan orang Minang asli. Tidak basuku jo ba Nagari begitu katanya. Tapi tidak demikian dengan Aini, dia bahkan sangat paham dan mengerti dengan adat Minangkabau. Karena Aini lahir dan besar di dalam lingkungan orang yang beradat, Ayahnya juga seorang yang bergelar Penghulu.

Orang tua Aini dulu bertugas menjadi mantri  dan bidan di kampung ini, sampai Aini menikah pun masih tetap di sini. Semenjak  Ayahnya meninggal dunia, baru Ibunya pulang ke Jawa karena merasa tidak enak tinggal dengan menantu. Begitu kilah ibu Aini saat dia dilarang pulang ke Jawa, selain itu, beliau juga ingin mengurus rumahnya yang di Jawa.

Meski Aini berwajah Jawa tetapi di dalam tubuhnya masih mengalir darah Minang, yang membuat lidah dan ucapannya tahu dengan pedasnya lado ( cabe kata kiasan mulut tajam). Berhubung di Minang Kabau sistem kekerabatannya Matrilineal maka Aini harus ikut suku ibunya, yaitu Jawa.

Aini menarik Nafas Panjang, sejenak melupakan perih yang disayatkan Piah ke jiwanya yang masih kosong. Duduk di tepian jendela kayu menghadap halaman. Matanya tak lepas dari Rinai dan dua temannya yang sedang bermain tali, mereka tertawa sesukanya, tanpa beban, tanpa tekanan.

Andai saja dulu, dia tidak menuruti keinginan Datuak Sati tinggal di rumah pusako (warisan) sukunya, mungkin saat ini Aini tidak perlu pusing memikirkan ke mana dirinya dan Rinai harus tinggal.

Ah ...
Aini mendesah menatap Rinai, , wajahnya mirip sekali dengan Datuak Sati dan Piah sewaktu kecil. Kulitnya sawo matang, rambut panjang sepunggung. Tingginya pun di atas rata-rata teman seusianya. Aini tidak bisa membayangkan bagaimana kelak nasib Rinai jika memang semua peninggalan Datuak Sati pindah ke tangan Piah, sedang mereka tidak memiliki saudara di kampung ini, kecuali seseorang yang sudah lama tidak bersilaturahmi dengan mereka.

Wajah Aini tiba-tiba muram, terbayang nasib Rinai kelak. Tamparan tirai jendela terembus angin membuat Aini memejamkan mata, sehingga membawa pikirannya pada derit lantai kayu yang di injak Piah tadi pagi.
**
"Seharusnya uni sadar diri, kan Uda Sati sudah meninggal. Jadi tidak ada lagi hak uni dan Rinai atas rumah ini!" mata Pia menyala, mulutnya mencong-mencong penuh amarah.

Aini paham sekali, semenjak Amak Baidar meninggal. Piah merupakan pewaris tunggal Rumah Durian, karena ia anak perempuan satu-satunya yang se perut dengan Datuak Sati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun