Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Penulis - Hanya orang biasa

Hidup ini indah kalau kita bisa menikmatinya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pengantin Pembawa Petaka, Eps 19

26 September 2019   05:03 Diperbarui: 26 September 2019   05:04 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parmita berdiri hingga berhadapan dengan Andi Tulani. Parmita tersenyum misterius.
" Kamu memisahkan kami, kamu terima akibatnya."  Senyum Parmita semakin misterius.
" Aku sudah memenuhi permintaanmu, cepat bebaskan anakku !" suara Andi Tulani meninggi.
Parmita berhenti tersenyum. Matanya bergerak gerak, lalu tubuh itu lunglai ke tanah. Andi Tulani melihat tubuh anaknya oleng, segera menyambar dan memeluk anaknya. Pendeta Chalongkorn ikut berdiri. Ia meraba wajah Parmita. Ia mengalungkan tasbih di tangannya ke leher Parmita.
Mata Parmita membuka. " Papa, kenapa kita ada disini ?" seekor kupu kupu terbang dari rambut Mita, hingga di salah satu kuburan orangtua Iwan.
" Kamu kesurupan roh Iwan. Papa menghabiskan banyak biaya untuk menyembuhkanmu, Mit." Andi Tulani senang tak terkira melihat anaknya kembali seperti semula.
" Uang bisa dicari, papa. Kuburan siapa ini ?" tanya Mita menunjuk ke makam yang baru selesai dibangun.
" Panjang cerita. Ayo kita pulang, jangan berada di tempat sial ini."
DC geleng geleng kepala mendengar omongan Andi Tulani. Anak dan bapak itu bergerak ingin pergi. DC bergerak ke kuburan, bersikap soja di depan kedua kuburan. Ia menatap kupu kupu yang hinggap di salah satu batu nisan.
" Terima kasih kamu tidak mempersulit kami,"  ucap DC.
Sayap kupu kupu itu digerakkan seakan ingin terbang, tapi hanya pindah ke kuburan lain.
DC mengangguk dua kali, lalu ikut rombongan pendeta Chalongkorn bergerak ke pintu keluar pemakaman. Mereka kembali ke hotel. Andi Tulani langsung chek out dan memesan tiket. Sore itu juga ia dan Parmita kembali ke  Jakarta. Mau tak mau DC memesan penerbangan berikutnya. Malas ia sepesawat dengan orang sombong.

Pendeta Chalongkorn menyatakan niatnya ingin mengunjungi candi Borobudur. DC bersedia menemani. DC menelpon Andi Tulani, bertanya apakah Andi ingin ikut. Andi mengatakan banyak pekerjaannya yang terbengkalai sejak anaknya kesurupan. Ia harus menyelesaikan banyak pekerjaan yang tertunda, tak bisa ikut. Ia meminta DC yang melayani Pendeta Chalongkorn. Ia berjanji akan mengganti biaya yang DC keluarkan. DC oke oke saja.

Sepulangnya pendeta Chalongkorn dan Nguyen Tinh ke Thailand, Jonatan Ferdi kembali bertransaksi seperti biasanya. Ia duduk di depan monitor, sesekali menatap ke DS, sesekali menatap Dewi Not.
Desen mengamatinya dari jauh. Desen berdesah. Dewa Cinta sudah berganti generasi, begitu juga DK.  Waktu berjalan terus. Paradewa semakin berjaya dalam bidang kerelawanan.
Seorang gadis membuka pintu, berjalan mendekati tempat DC duduk. Begitu tiba, ia menarik kursi dan duduk di sebelah DC.
" Apa kabar, Mit ?" sapa DC ramah.
" Baik. Mama mengatakan, berkat Dewa Cintalah aku berhasil sembuh dari kesurupan. Boleh aku meneraktir Dewa makan siang ?" tanya Parmita.
" Tidak menolak. Sekarang ? " tanya Jonatan Ferdi.
Parmita mengangguk. DC langsung mengangkat bokongnya, meraih hape dan dimasukkan ke saku baju. Keduanya keluar berbarengan. Atas permintaan Parmita, mereka hanya bawa satu mobil. Mobil Parmita. Parmita berjanji setelah makan akan mengantar DC kembali ke sekuritas.
Parmita memilih restoran yang tidak terlalu ramai. Ada yang ingin ia bicarakan dengan DC. Dua bulan sudah berlalu sejak mereka kembali dari Jambi. Semakin hari Parmita terlihat makin ceria, dan makin cantik.  Keduanya duduk berhadapan di sebuah meja di dalam ruang vip restoran Manja.
" Ada yang ingin dibicarakan, Mit ?" tanya DC sambil menunggu hidangan disiapkan."
Parmita membuka tas, mengambil sesuatu, dan diulurkan ke hadapan DC.
" Ini kunci Ayla."
DC tersenyum. " Aku tidak menuntut janji orangtuamu. Aku menolak pemberianmu."
" Why ? " tanya Parmita.
" Paradewa itu kumpulan relawan. Segala biaya yang kukeluarkan telah diganti ayahmu. "
" Mama memberi dengan ihlas, terimalah."
" Aku sudah punya mobil. Satu saja cukup." Dalih DC.
" Apakah itu perinsip? Satu saja cukup, kalau begitu kubelikan sesuatu yang belum kamu punya. "
" Jangan, aku sanggup mencukupi kebutuhanku. Gimana dengan jodohmu ? Apa  sudah ada pria baru di hatimu ?" DC sengaja berpindah topik.
Parmita tersenyum. Senyumnya kemalu-maluan.
" Kelima mantanku itu kembali, " ucap Parmita agak salah tingkah.
" Serentak ?"
Parmita menganggguk.
" Dan, " ucap DC dan sengaja ditahan sejenak, " Parmita yang cantik kebingungan memilih yang mana untuk dijadikan suaminya."
" Betul," yang ini tanpa malu malu. " Dewa bantu Mita donk memilihnya."
" Tidak, Mit. Jodohmu adalah hakmu memilihnya. Pilihanmu penentu masa depanmu. Jangan meminta pendapat orang saat menentukan calon suami. Nanti kalau terjadi apa apa kamu akan menyalahkan orang itu."
Parmita berhenti tersenyum. Tangannya bergerak ke dalam tas, mengeluarkan lima lembar  kertas dan dijejerkan di depan DC.
DC melihat foto lima pria. Semua keren dan berdasi. Semua pasti mempunyai pekerjaan yang bagus, bergaji tinggi, bermasa depan cerah, berpendidikan S-3. Kelima pria itu pasti sudah lolos seleksi Andi Tulani di masa lalu.
DC tersenyum sendirian. Dalam hati ia berkata, Nai... menurutmu mana yang akan dipilih Mita ? Telinganya bergerak gerak, dan ia seakan mendengar suara Nai tertawa sambil mengatakan : malam pengantin akan terjadi kehebohan.
" Beri aku sedikit petunjuk saja, " Pinta Mita. Mita kembali mencari sesuatu di dalam tasnya. Ia menaruh satu kunci lagi di sebelah kunci Ayla yang ia taruh di atas meja, bersebelahan dengan gambar gambar pria mantannya yang kembali.
DC yakin itu kunci Agya. Ternyata ia salah. Di kunci itu terdapat plat bertuliskan Sigra. Betapa mudahnya mendapatkan sebuah mobil, tapi ia relawan, bukan pembaca masa depan. Lagian, ia teringat senyum misterius roh Iwan sebelum menghilang.
" Pilih sendiri, Mit. Itu masa depanmu. Jangan percaya pendapat orang."
" Apakah dewa selalu berpegang teguh pada prinsip ?" tanya Mita.
" Aku tak punya perinsip. Aku relawan, bergerak berdasarkan hati nurani. Selama ini, suara papa atau mama yang lebih kamu dengar ?"
" Mama."
" Apa kata mamamu ?"
" Mama suruh aku tanya dewa,"
Kembali ke titik semula. DC  kembali tersenyum. " Ikut kata hatimu, jangan dengar omongan orang. Oke, Mit ?"
" Ini, sangat rumit. " keluhnya.
" Yang mana yang paling kamu sukai?"
Parmita menunjuk ke foto ketiga, yang berada paling tengah. Ia berharap DC mengiyakan. DC  menatap foto itu,  itu gambar pria yang paling ganteng.
" Hai DC, lagi bertugas ya, maaf mengganggu."
DC senang melihat  orang yang menyapanya. DC mengumpulkan foto-foto, semua disatukan dan dikembalikan pada Parmita. " Ikut kata hatimu ya, Mit. Jangan dengar omongan orang."
Parmita tersenyum. Ia benci gangguan, tapi DC terlalu tenar untuk dibawa ke tempat yang tidak ada gangguan. Ia pasrah melihat wanita itu berdiri.
" Silahkan duduk, klien DC juga?"
Wanita itu mengangguk. DC merasa terselamat-kan. Wanita itu  duduk dan tak mau pergi hingga Parmita merasa bosan dan setelah makan pergi, lupa pada janjinya yang akan mengantar DC ke sekuritas.

Bersambung 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun