Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Namaku Awai 235-236

12 Juli 2018   06:37 Diperbarui: 12 Juli 2018   06:56 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah kepalanya sembuh, Awai kembali mengajak ayahnya melatih kaki sambil berjalan di sore hari. Ia mengajak ayahnya berjalan menuju jalan Rumbia. Jalan itu lebih sepi, bebas dari ledekan anak anak.

Setiap sore ia melewati rumah itu. Rumah itu kosong. Lalu suatu sore ia melihat seseorang yang serasa dikenal olehnya.

" Hei, Joyah. Kenapa menyapu di halaman rumah itu ? " tanya Awai.

Joyah mengangkat kepalanya. " Eh, Awai. Kamu tinggal dekat sini ?" Joyah berhenti menyapu. Wajahnya tampak gembira menyambut kedatangan Awai. Ia membantu Awai mendudukkan Tan Suki.

" Kami tinggal tak jauh dari sini. Kenapa Joyah menyapu rumah ini? Setahuku rumah ini rumah kosong, jarang ada penghuninya."

" Betul, sebelumnya rumah ini kosong. Bunda membelinya supaya kami tak perlu menyewa."

" Apa ? Makcik membeli rumah ini ? Apa makcik tak tahu rumah ini berhantu ?"

" Berhantu? Pemiliknya tak bilang rumah ini berhantu. Bunda membeli karena ditawari, lagian murah harganya. " kata Joyah.

" Papa, kata orang rumah ini berhantu, kan ?" Awai mencari dukungan dari papanya.

Tan Suki mengangguk. Joyah pucat mukanya. Ia tak menyangka majikannya membeli rumah berhantu.

" Hantu apa, Wai ?" tanya Joyah.

" Dulu rumah ini dihuni sepasang suami istri. Suaminya selingkuh. Istrinya bunuh diri, gantung diri kat sana." Awai menunjuk ke tiang di ruang tamu. ( kat berasal dari singkatan kata dekat, tapi maknanya di.)

Joyah menubruk Awai. Ia ketakutan mendengar rumah yang ditidurinya sejak 10 hari yang lalu itu pernah ada yang bunuh diri. " Aduh, cemmana ini, Awai ! Aku takut, aku tak berani tidur di rumah ini lagi."

" Makcik belum sembuhkah ?" tanya Awai.

Joyah menggeleng. Awai mengaduh. Sejak pulang dan bekerja di kedai kopi, ia tak sempat menjenguk makcik yang baik hati itu.

" Besok Awai akan menjenguk makcik sepulang kerja. "

Joyah mengangguk. Lututnya gemetar. " Aduh.. Awai... gimana nih, aku tak berani tidur di rumah ini lagi... aduh.. gimana ini..malam ini aku tidur dimana? "

" Sudah berapa lama kamu tidur di rumah ini" tanya Awai.

" Sudah seminggu lebih. Bunda membelinya dua minggu yang lalu. Sial, pemilik rumah itu berbohong. Katanya rumah ini aman. Apanya yang aman kalau sudah pernah ada yang bunuh diri !" keluh Joyah.

" Selama seminggu kamu tak mengalami gangguan ?" tanya Awai.

" Tidak. Aman-aman saja." Jawab Joyah.

" Kalau begitu kamu tak perlu takut. Jika sudah seminggu tidak ada gangguan, berarti kamu aman tinggal disini selamanya."

" Benarkah ?" tanya Joyah tak percaya.

" Biasanya begitu. Oke, sudah malam, aku harus mengajak ayahku pulang. Besok aku kemari lagi kalau sempat." Kata Awai.

Joyah mengangguk. Awai berjalan bersama ayahnya, sementara Joyah masuk ke rumah dan menutup pintu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun