Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Namaku Awai 216-218

4 Juli 2018   05:10 Diperbarui: 4 Juli 2018   06:57 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matanya seakan disengat lebah ketika melihat seorang yang sangat dikenalnya keluar dari samping pasar, berjalan ke belakang menuju dermaga. Ia melihat Tiong It mengejar Awai dengan sepeda.

Ting Ling turun dari beca. Beca tak bisa masuk ke jalan kecil menuju dermaga. Disitu ada penjual ayam dan kepiting. Dengan memencet hidung Ting Ling berjalan melewati penjual ayam, penjual bebek, penjual kepiting, tibalah ia di pangkal dermaga. Dari pangkal dermaga ia melihat Awai menuang sesuatu ke laut, dan Tiong It berdiri di samping sepedanya. Awai mencuci ember, lalu keduanya duduk di pembatas dermaga.

" Sial ! Benar benar sial ! Mereka mengadakan pertemuan gelap disini ! Dasar orang miskin tak sadar diri ! Mereka bermain petak umpet di belakangku ! Awas kalian!" Ting Ling melotot hingga matanya pedih. Ia ingin melabrak ke ujung dermaga, namun ia sadar, andai ia memaki Awai, Tiong It pasti membela Awai. Ia kalah posisi. Bagaimana caranya memisahkan keduanya tanpa perlu berperang mulut ? " Mereka pasti setiap sore bertemu disini. Pantas tadi Tiong It buru buru !" Ting Ling tersenyum. Ia tak maju, malah mundur dan pulang dengan becanya.

Setiap sore menjelang jam 3 Tiong It naik sepeda ke pasar. Ia menunggu Awai membuang sisa makanan. Ia tak bisa berlama-lama. Hanya setengah jam berhubung Awai harus pulang untuk mengajak ayahnya berjalan-jalan sambil melatih kaki.

Setengah jam itu terasa indah baginya, bisa memandang wajah Awai membuat hatinya bahagia tak terkira. Begitu pun sore ini. Ia menyandar sepeda, duduk di pembatas dermaga. Awai mencuci ember. Keduanya duduk sejenak, saling bertatapan. Terkadang Tiong It bertanya apakah Awai cape atau tidak, sudah makan atau belum, bagaimana kemajuan kesehatan paman Tan? Awai menjawab apa adanya.

Sore ini, sebuah sepeda berhenti di samping mereka. Awai mulanya tak menyadari siapa yang datang, dikiranya nelayan. Begitu melihat wajah galak ibunya, nyali Awai ciut hingga tak bersisa.

" Anak Jadah. Sedang apa kalian disini ?!!!" suara Huina mengguntur.

" Mama....kenapa kemari ?" tanya Awai gugup, cepat-cepat berdiri, begitu juga Tiong It.

" Untuk menangkap basah anak pembangkang ! Sedang apa kalian disini ! Jangan bilang sedang mencari kerang !!!" teriak Huina.

Nyali Awai kempes kayak ban sepeda tertusuk paku. Ia tertangkap basah sedang berduaan dengan Tiong It. Ia ingat bagaimana ibunya memaksanya bersumpah di depan meja sembahyang agar seumur hidup tak boleh menikah dengan Han Tiong It. Waktu itu ia tak sempat menyelesaikan sumpahnya, keburu dihalangi ayahnya. Kini, di dermaga yang sepi ini, tak ada yang bisa menghalangi ibunya.

" Kami... Dia kesini menunggu kapal untuk memuat es balok, aku... .. membuang makanan sisa...." ucap Awai gugup dan terbata bata.

" Dasar anak durhaka. Ibu sendiri juga mau kamu bohongi ?!!! Aku sudah tahu kelakuan kalian. Setiap hari kalian bertemu disini. Aku sudah melarangmu bertemu anak bedebah ini, bahkan memaksamu bersumpah di depan arwah leluhur, kenapa kamu melawan perintah ibumu !!!" Huina mendekati Awai selangkah demi selangkah. Awai mundur selangkah demi selangkah.

Tiong It melihat Awai didesak ibunya begitu rupa, ia segera berlari ke depan Awai, menghadang di depan Awai.

" Bibi, harap maafkan Awai. Dia kesini untuk membuang sisa makanan. Aku yang memintanya duduk bersamaku. Kalau ingin memukul, pukullah aku." ucap Tiong dengan berani.

" Minggir ! Aku tak ada urusan denganmu. Tapi aku harus menghukum anakku yang pembangkang !" seru Huina sambil bertolak pinggul dengan wajah membara.

Tiong It tak bergerak dari depan Awai. Dengan kedua tangan dibuka ia berusaha menahan kemarahan Huina. Huina semakin terbakar melihat Tiong It membela Awai. Ia menarik tangan Tiong It, lalu mendorong Tiong It hingga terjengkang ke belakang, menabrak Awai. Awai terjatuh bersama Tiong It, keduanya seakan berhimpitan. Darah Huina semakin mendidih melihat anaknya seakan sedang berbaring ditindih Tiong It. Tiong It segera berguling ke samping supaya Awai tidak kesakitan. Ia berusaha bangun, namun kalah cepat dari gerakan tangan Huina yang menampar pipi Awai yang belum bisa berdiri. Dengan telak pipi awai kena tampar belasan kali hingga merah kecoklatan.

" Dasar pembangkang ! Kamu berdosa pada arwah nenek moyangmu. Kucuci dosamu dengan air laut !" Huina sangking geram menyeret anaknya ke pinggir dermaga, lalu dengan sekuat tenaga ia mendorong Awai ke laut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun