Mohon tunggu...
Deny Hermansyah
Deny Hermansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Kutai Kartanegara

Memiliki minat besar terhadap dunia kepenulisan, Deny menjadikan menulis sebagai sarana untuk mengekspresikan gagasan, menyuarakan perubahan, dan menginspirasi lingkungan sekitarnya. Berpijak pada latar akademik ekonomi, ia juga memiliki ketertarikan pada isu-isu pembangunan, kewirausahaan sosial, serta pemberdayaan generasi muda. Dedikasinya dalam berkarya menjadikannya pribadi yang tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga berorientasi pada solusi dan kebermanfaatan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Coretax system sebagai katalis transformasi digital dan integrasi data: mengukuhkan kepatuhan pajak menuju kemandirian fiskal Indonesia

25 Juli 2025   09:55 Diperbarui: 25 Juli 2025   09:55 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

  • Pajak merupakan instrumen vital dalam menunjang pembangunan nasional, karena kontribusinya terhadap penerimaan negara mencapai lebih dari 70% dalam struktur APBN (Kementerian Keuangan, 2023). Dalam berbagai literatur, para ahli mengemukakan definisi pajak dari beragam sudut pandang, namun tetap memiliki kesamaan bahwa pajak bersifat wajib, tidak langsung berbalas, dan digunakan untuk kepentingan publik. Di Indonesia, penerimaan pajak menjadi tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), membiayai berbagai sektor krusial mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. Namun, di tengah potensi penerimaan yang besar, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan signifikan yaitu rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Fenomena ini menghambat tercapainya kemandirian fiskal, di mana negara mampu membiayai kebutuhan dan ambisi pembangunannya secara mandiri tanpa terlalu bergantung pada utang.
  • Di era digital yang berkembang pesat, lanskap ekonomi dan perilaku wajib pajak telah berubah drastis. Transaksi kini tak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan merambah ranah daring yang serba cepat dan kompleks. Oleh karena itu, cara-cara administrasi pajak konvensional tidak lagi memadai. Transformasi digital dan integrasi data menjadi solusi tak terhindung untuk mengatasi isu kepatuhan ini. Dalam konteks Indonesia, Coretax System hadir sebagai motor penggerak utama, sebuah katalis yang diharapkan mampu merevolusi administrasi perpajakan. Artikel ini akan mengupas bagaimana Coretax, sebagai fondasi transformasi digital, membuka jalan bagi integrasi data yang lebih luas dan upaya komprehensif untuk mencapai kepatuhan pajak yang lebih tinggi dan pada akhirnya, mewujudkan kemandirian fiskal Indonesia.

Thesis Statement

Penulis berpandangan bahwa Coretax adalah langkah maju dalam reformasi perpajakan, namun keberhasilannya akan lebih maksimal bila dilengkapi dengan inovasi sistem yang lebih inklusif, edukatif, dan transparan. Integrasi data saja tidak cukup dibutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat yang hanya dapat dibangun melalui pendekatan humanis dan teknologi yang ramah pengguna.

PEMBAHASAN

Argumentasi

Coretax menawarkan banyak keunggulan. Sistem ini mengintegrasikan data pajak berbasis NIK, menyederhanakan pelaporan melalui pre-filled SPT, dan menerapkan analitik risiko berbasis big data (Perpajakan, 2025). Dengan penguatan regulasi seperti peraturan untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pembayaran pajak dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan (Kemenkeu.RI, 2025), serta kesederhanaan dalam administrasi., sistem ini telah menggantikan 21 sistem lama DJP menjadi satu platform digital modern yang lebih efisien dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Namun demikian, efektivitas Coretax dalam meningkatkan kepatuhan belum sepenuhnya dirasakan oleh UMKM dan pelaku e-commerce, dua sektor ekonomi yang saat ini justru tumbuh paling cepat. Sebagian besar pelaku UMKM tidak memiliki akses atau kemampuan teknologi yang memadai untuk memahami sistem perpajakan berbasis digital. Selain itu, pelaporan dan penghitungan pajak final kerap dianggap rumit, tidak intuitif, serta membebani pelaku usaha mikro yang seharusnya difasilitasi untuk tumbuh. Di sisi lain, e-commerce menghadirkan tantangan yang berbeda. Transaksi digital yang bersifat lintas platform dan sering kali tidak tercatat secara formal membuat pengawasan dan pemungutan pajak menjadi lebih sulit. Walaupun DJP telah bekerja sama dengan beberapa marketplace besar untuk melakukan pemotongan PPN secara otomatis, namun data transaksi dari pelaku usaha kecil di media sosial, live commerce, dan penjual independen belum sepenuhnya terintegrasi ke sistem perpajakan.

Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan sistem yang lebih adaptif dan inklusif. Penulis mengusulkan pengembangan PATUH PAJAK, sebagai platform publik yang berperan sebagai antarmuka edukatif dan integratif bagi pelaku UMKM dan e-commerce. Melalui integrasi dengan API marketplace, dompet digital, dan sistem POS (point-of-sale) sederhana, platform ini dapat secara otomatis menghitung, menyarankan, dan bahkan mengisi laporan pajak final sesuai dengan omzet UMKM. Fitur simulasi pajak dan pengingat otomatis berbasis WhatsApp atau SMS juga bisa dioptimalkan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela tanpa menambah beban administratif.

Dengan mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha kecil dan sektor digital, sistem perpajakan Indonesia tidak hanya menjadi efisien dari sisi pemerintah, tetapi juga bersahabat dan memberdayakan masyarakat. Inilah bentuk nyata dari transformasi fiskal berbasis keadilan dan inklusivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun