Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesona Para Penghuni Kubur

16 September 2022   09:17 Diperbarui: 16 September 2022   09:46 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau Robin Hood mati di Jawa, umpamanya karena keselak biji kecapi, niscaya makamnya diziarahi orang dan kemungkinan dia diangkat menjadi 'wali'.

Robin Hood adalah pahlawan kaum miskin, pejuang pemerataan pembangunan. Ia merampok untuk bersedekah. Berkat jasanya menyamun orang-orang kaya, orang miskin bisa makan dan bersenang-senang. Orang miskin yang seumur-umur menderita --diringankan Mas Robin hingga bisa sedikit bereforia.

Di Jawa Tengah, tepatnya di Sukaharjo-- tersebutlah legenda Ki Ageng Balak-- Robin Hood lokal yang makamnya dipuja-puja peziarah dengan aneka macam sesajen. Bila ada hajat hendak dipohonkan kepada sang wali, jangan lupa menyodorkan candu mentah. Candu ini dijual di lokasi makam seharga lima ribu rupiah. Nyandu adalah kesukaan 'wali berandal' itu, kata George Quinn, dalam bukunya Wali Berandal Tanah Jawa (2021). 

Ki Ageng Balak tidak sedang berperan menjadi 'perantara' Tuhan bagi para peziarah yang berdoa. Dialah yang dimintai doa.

"Ketika kemenyan sudah berkobar, Ibu Sidem memanjatkan doa kepada sang wali. Doanya mengandung permohonan seperti yang umumnya diucapkan oleh juru kunci di tempat-tempat keramat: dimulai dengan ucapan salam dalam bahasa Arab, kemudian beralih ke bahasa Jawa. Dia memohon kepada sang wali agar melindungi saya dari kemalangan dan merestui ikhtiar apapun yang akan saya lakukan," tulis George yang ateis di bukunya halaman 139.

Di Jawa memang terlalu 'mudah' menjadi wali. Jika anak kyai bertingkah aneh, bertelanjang dada, merokok, main gitar sambil salawatan, itu bukan berarti imannya perlu di-recovery. Justru bisa jadi itulah alamat keistimewaan,  alamat kewalian. Orang-orang: laki-laki, perempuan, dewasa, anak-anak semua berebut mencium tangan.

Juga bila seorang bertampang Arab ternyata gemar mencorat-coret tembok dan kendaraan, pintar salawatan sekaligus nyanyi lagu dangdut --maka ini bukan pertanda ia butuh konseling atau bantuan psikiater --melainkan itulah pertanda derajat kewalian yang teramat tinggi, yang serba aneh binti ajaib: wali majdub.

Indonesia juga pernah dipimpin oleh seorang 'wali' yang anak kyai. Setidaknya begitu menurut para penggemar dan pemujanya. Tak lain ialah Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Presiden RI nomor empat, berkuasa antara 20 Oktober 1999 -- 23 Juli 2001.

Pengagum Gusdur terbagi menjadi dua: golongan intelektual yang menyanjung-nyanjung pemikiran Gusdurian dan kaum awam yang memistifikasi sosok pribadinya. Oleh mereka yang terakhir disebut, Presiden Gusdur digelari 'wali kesepuluh'. Sedangkan sebagian golongan intelektual pengagumnya memandang perilaku politik Sunan Gusdur bisa disejajarkan dengan perilaku Nabi Khidir yang sering di luar kebiasaan. Gaya kepemimpinannya yang nyentrik justru mendapat pembenaran. 

Dekrit presiden yang dicetuskan Gusdur - isinya antara lain membubarkan MPR RI- berimbas pada pemecatan dirinya selaku mandataris MPR.

Setelah berkuasa kurang lebih 21 bulan, Gusdur menjadi 'wali' pertama dan satu-satunya yang di-impeach (dimakzulkan) dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia.

Deretan nama wali berandal lainnya yang juga dipuja adalah kakak beradik Maling Kapa dan Maling Genthiri dari Juwana, Pati, Jawa Tengah. Nama mereka jelas-jelas menunjukkan profesinya.

Tidak disebutkan di mana lokasi makam Maling Kapa, sedangkan punden dan makam Maling Genthiri ada di Blora, Jawa Tengah. Makam Genthiri juga dipuja-puja dan ramai diziarahi orang. Ke Timur ada makam Ki Boncolono -- juga seorang wali berandal di Kediri.

Masyarakat awam menelan begitu saja semua mitos dan legenda yang muncrat dari mulut juru kunci makam, sedangkan pemerintah daerah melihat hal itu semata-mata sebagai potensi ekonomi. Pemda membela budaya ziarah dalam kerangka pelestarian budaya dan kepentingan ekonomi, tetapi pada saat yang sama turut mensukseskan pembodohan masyarakatnya sendiri.

Sementara dunia pendidikan jungkir balik menggembar-gemborkan nalar kritis, pendekatan saintifik, dan literasi--namun justru pemerintah daerah dan segmen masyarakat di bawah melestarikan nalar mistik dan pendekatan klenik yang jelas-jelas musyrik.

Sekarang kita getol menangkapi koruptor, mencaci mereka habis-habisan (juga mementaskan drama politik penangkapan dan pelepasan), namun jangan heran jika di masa depan makam-makam mereka kelak dipuja-puja, disembah dan diziarahi orang. Apalagi jika sang koruptor ternyata suka menyumbang masjid dan bagi-bagi duit. Kelak dibangun kuburan 'wali koruptor'.

Bangsa kita pemaaf dan pelupa: suka mencaci pemimpin sendiri, namun belakangan memuja-mujinya lagi. Sukarno didemo karena dianggap pro-PKI, lantas belakangan Sukarnoisme digaungkan kembali. Jasanya selaku proklamator seakan menutup seluruh dosa politiknya. Suharto dihujat karena zalim dan KKN (korup, kolusional dan nepotis) belakangan dirindukan pula lantaran orang mengenang-ngenang enaknya hidup di era Orde Baru. Gusdur dilengserkan, tetapi juga diangkat sebagai wali.

Yang berpotensi menjadi wali bukan cuma kalangan orgil, maling dan koruptor, juga artis penyanyi semacam Nike Ardilla. Makam Nike di Ciamis sampai saat ini masih diziarahi para penggemarnya. Di dekat makam dibuatkan patung kepala Nike dan musalla untuk salat, namanya: Musalla Nurul Ardillah.

Naluri sebagian rakyat kita rupanya gemar memuja-muja kuburan: percaya bahwa bangkai di dalam kubur itu masih punya semacam relasi dan otoritas ketuhanan, sampai akhirnya kita menuhankan mereka secara langsung atau perlahan-lahan.

Misi pendidikan yang bercita-cita melahirkan profil pelajar Pancasila hendaknya tidak melupakan pekerjaan rumah yang sangat besar dan teramat pelik ini. Kita menghadapi massa yang masih mengagungkan budaya nenek moyang yang sama sekali tidak relevan dengan perkembangan zaman dan keimanan orang beragama.

Peserta didik semestinya lulus sebagai orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan sebagai orang yang tunduk pada pesona para penghuni kubur yang ratusan makamnya tersebar di seantero kepulauan.

Peserta didik harus lulus sebagai orang yang berkebhinekaan global dan bernalar kritis, bukan orang fanatik yang memuja-muja budaya lokal tanpa rasionalitas dan pikiran kritis. Berakhlak mulia, bergotong royong dalam hidup bersama selaku bangsa. Bukannya suka memfitnah, memecah belah dan bertindak anarkis.

Di sinilah letaknya misi besar pendidikan.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun