Quarter life crisis merupakan suatu hal yang lumrah terjadi dalam perkembangan setiap individu.Â
Umumnya pada usia rata-rata 25 tahun seseorang telah dituntut untuk dapat bertindak sebagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya, bukan lagi anak remaja yang masih didukung kebutuhannya oleh orangtua.
Pada fase tersebut, biasanya kita akan diliputi berbagai perasaan tidak nyaman terutama tentang diri kita sendiri. Kebingungan soal jati diri, mempertanyakan tujuan hidup, meragukan pilihan karier dan lain sebagainya merupakan rentetan kegelisahan yang kerap menghampiri.
Kita sering tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri. Rasanya selalu ada yang kurang, padahal kelebihan banyak kita miliki.
Meski merepotkan dan terkesan sangat berat bagi sebagian orang, quarter life crisis adalah sebuah batu loncatan untuk mencapai kedewasaan.Â
Fase ini dapat kita ibaratkan sebagai masa trial and error, penuh dengan eksperimen dan penalaran untuk memperoleh formula yang pas dalam menjalani kehidupan di masa yang akan datang.
Seperti halnya banyak fase kehidupan lain, kita perlu yakin bahwa kegelisahan quarter life crisis juga akan indah pada waktunya.Â
Dikutip dari Tirto.id, Dr. Oliver Robinson, peneliti dan pengajar psikologi dari University of Greenwich, London, berpendapat bahwa quarter life crisis terdiri dari 4 fase.Â
Pada fase pertama, kita akan terjebak dalam suatu situasi misalnya relasi, pekerjaan, dan lain-lain. Kedua, kita mulai yakin bahwa perubahan mungkin saja terjadi.Â
Ketiga, kita akan mulai membangun kembali kehidupan berdasarkan pengalaman yang kita alami. Terakhir, kita akan dapat mengukuhkan komitmen tentang nilai-nilai dalam kehidupan kita.
Berdasarkan pengalaman pribadi, berikut adalah beberapa hal baik yang akan dirasakan setelah melewati quarter life crisis.
1. Mencintai diri sendiri
Beragam pertanyaan tentang diri selama fase quarter life crisis membuat kita berpikir ulang tentang siapa diri kita. Kita kerap mempertanyakan apa sebenarnya bidang yang benar-benar kita sukai, apa hal-hal yang kita benci, dan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap hal-hal tersebut.
Secara tidak langsung, kita jadi lebih mengenal karakteristik diri kita sendiri. Kita bisa mengetahui apa saja hal positif yang kita miliki dan mengatasi kekurangan di dalam diri. Dengan demikian, kita bisa lebih mudah merumuskan hidup yang ingin kita jalani.
2. Lebih tenang dalam menghadapi masalah
Berada di fase peralihan antara masa remaja dan masa dewasa dini membutuhkan banyak penyesuaian. Kita dituntut untuk dapat bertindak selayaknya orang dewasa, namun dianggap terlalu besar untuk ukuran remaja.Â
Proses penyesuaian yang kurang berjalan baik terkadang menimbulkan ketegangan emosional. Kita terkadang merasa sangat kerepotan karena masalah terus menerus datang.
Setelah melewati fase quarter life crisis kita dapat menyusun ulang cara terbaik untuk merespon suatu masalah. Kita akan tahu bahwa tidak setiap masalah harus kita pikirkan berlarut-larut.
3. Lebih mementingkan kualitas dalam hubungan sosial
Selama masa remaja, secara alami kita memiliki keinginan untuk dapat diterima oleh kelompok. Oleh karena itu, kita merasa sangat senang berada dalam suatu komunitas, apalagi yang memiiki kesamaan bidang kegemaran.
Memasuki fase quarter life crisis kita akan menilai kembali hubungan sosial yang selama ini kita jalin dengan sesama. Lingkaran pertemanan yang semakin berkurang jadi salah satu pemicunya. Kita akan menemukan bahwa kualitas suatu hubungan jauh lebih penting daripada kuantitas.
Kita akhirnya sadar bahwa esensi dari sebuah pertemanan adalah kualitas dalam bertukar pikiran dan berbagi keluh kesah.Â
4. Lebih realistis dalam menjalani karier
Banyak di antara kita yang memimpikan pekerjaan idaman semasa remaja. Ada yang berniat meniti karier sebagai arsitek, penulis, olahragawan, dan lain sebagainya. Kita pun kemudian menempuh pendidikan dan pelatihan agar sesuai dengan keinginan.
Setelah menjalani pilihan tersebut, sebagian dari kita mungkin menemui jalan buntu, tidak bertemu karier yag dituju. Masalah karier ini kerap menjebak, terutama bagi yang terlalu idealis.
Quarter life crisis membantu kita menimbang konsep ideal dan realitas. Kita akan sadar bahwa untuk mencapai pekerjaan impian, dibutuhkan upaya dan modal karier yang tidak sedikit.Â
Baca juga "Don't Follow Your Passion": Modal Berani Saja Tidak Cukup
Kita pun kemudian akan melakukan penyesuaian terhadap karier yang akan dijalani. Bisa jadi kita tetap berjalan lurus, mencari jalan berputar, atau berbelok ke tujuan lain yang malah lebih kita pahami rutenya.
5. Lebih realistis soal pasangan hidup
Usia 25 juga jadi momen di mana kita akan seringkali ditanyai soal calon suami atau istri. Lepas kuliah dan mulai bekerja, kurang lengkap rasanya tanpa pasangan.
Di Indonesia sendiri, usia 25 adalah usia yang dianggap matang untuk mulai membangun rumah tangga. Karena telah umum di mana-mana, yang masih men-jomblo di usia 25 seringkali jadi bahan candaan, dicap terlalu idealis atau dipertanyakan orientasinya.Â
Perkara pasangan ini juga merupakan salah satu masalah dalam quarter life crisis.
Membangun kembali konsep soal pasangan hidup akan kita alami selama quarter life crisis. Di masa remaja, kita mungkin fokus mengembangkan konsep pasangan yang ideal fisik, karier, dan sikapnya.
Setelah melewati quarter life crisis kita jadi lebih realistis. Pasangan hidup tidak lagi soal indah visualnya, tapi bagaimana komitmennya dalam berumah tangga kelak.Â