Tidak. Bukan begitu. Meskipun kami duduk bersebelahan, kami sama sekali tidak membuat janji untuk datang bersama. Aku tertahan lebih lama karena kenal baik dengan Rana, adik perempuannya, dan ibunya.Â
Ayu, teman semasa TK, dan rumahnya memang tidak jauh dari sini. Wajar saja jika ia baru datang ke resepsi pernikahan Rana saat hampir tengah hari. Ibu Aisah, ibunya Rana tersenyum sambil menggerakkan sepasang bola matanya ke arahku dan Ayu bergantian. Sejak awal aku sudah bisa menduga maksud raut wajah itu
Rana pasti pernah menceritakan sejarah singkatku dengan teman sekelasku 10 tahun lalu ini. Itulah penjelasan paling logis dari pertanyaan yang ia lontarkan barusan.
"Eh, ibu kira kalian berdua . . ."
"Ahaha, bukan Bu", langsung kupotong rangkaian kalimat Bu Aisah sebelum rampung.
Suasana berubah canggung. Otak seketika berhenti memerintah mulut dan kerongkongan untuk bersuara. Senyum manis yang terbungkus kerudung panjang biru tua itu merekah. Tidakkah dirimu merasa canggung juga?
Di sebuah kedai kopi, tiga bulan lalu Rana mendesakku untuk menceritakan siapakah wanita yang tengah mengganggu pikiranku beberapa bulan belakangan. Ia begitu bersemangat.Â
Semula aku akan tetap membuat namanya menjadi rahasia. Setidaknya niat itu bertahan selama 15 menit. Setelah yakin tidak ada orang yang kukenali di kedai kopi itu, aku lantas buka suara. Sedikit petunjuk dan Rana dengan mudahnya menebak.
"Ayu?"
Selamat tebakanmu benar. Ialah gadis yang diam-diam kuperhatikan gerak-geriknya sejak awal tahun lalu. Meski berpenampilan sederhana, Ayu berhasil menarik perhatianku. Berawal dari obrolan santai yang biasa saja. Tak lama aku menyadari bahwa ada keinginan untuk menjadikannya sebagai pendamping.
"Tapi ada masalah, Na", ceritaku berlanjut.