Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

{Kado Terindah} A Plate of Oreg Tempe

10 Oktober 2019   09:17 Diperbarui: 10 Oktober 2019   09:27 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by detikfood.com

Aku pulang agak larut

Masih ada rapat

Kamu tidur saja dulu ya sayang?

Tak perlu menunggu aku

Jangan lupa makan malam

Ya? Peluk sayang

Muach...muach

WhatsApp dari suamiku. Hal yang biasa kami lakukan jika salah satu dari kami pulang agak terlambat dari biasanya. 

Pagi hari saat aku harus berangkat bekerja lebih awal dan suamiku belum bangun, aku pun mengirim pesan singkat melalui WhatsApp.

Sayang, aku berangkat duluan

Aku sudah siapkan sarapan untukmu

Sarapan sendiri dulu ya sayang?

Sampai nanti

Daaag...muach..muach

Kebiasaan kecil yang telah menjadi kesepakatan bersama sejak awal kami membina hubungan. Saling berkirim kabar agar tidak ada kekhawatiran satu sama lain. 

Efektif menjadi perekat hubungan kami terutama setelah menikah. 

Tetapi malam ini ada sesuatu yang terasakan di hati. Ada kehampaan saat aku usai membaca pesan darinya. 

"Mbok, minta tolong rapikan meja makannya ya? Bapak pulang telat. Jadi tidak makan malam di rumah."

"Baik, Non," sahut Mbok Nah. Asisten rumah tangga yang bekerja padaku sejak aku belum menikah. Oleh karenanya tetap memanggilku non. Sudah terbiasa begitu katanya.

Aku menuju kamar tidur dengan langkah gontai. Kurebahkan diri di peraduan dengan pikiran tak menentu. Bukan berpikir buruk tentang suamiku. Tetapi merasa ada kekosongan dalam jiwa ini. Tak ada gairah. Apa seperti ini juga perasaan orang-orang yang sudah memasuki 5 tahun usia pernikahannya?

Hubunganku dengan suami sejauh ini baik-baik saja. Tak pernah bertengkar yang berat. Apalagi sampai saling mendiamkan. Godaan dari luar pun nyaris tak ada. Bisa dibilang nyaris tak ada masalah berarti.

Paling waktu berdua-duaan yang berkurang. Tak seperti zaman pacaran. Bukankah memang seperti itu? Setelah menikah apalagi memiliki anak, fokusnya lebih kepada pemenuhan kebutuhan keluarga. Kerja dan kerja. Akhir pekan barulah waktu bersama keluarga. Itu pun jika tidak malas.

Aku dan suami sama-sama bekerja. Komunikasi kami lebih banyak melalui telepon atau pesan WhatsApp. Saat berangkat bareng pagi hari dan malam hari di peraduan. Rutinitas yang kurasa hampir dilakukan oleh semua pasangan bekerja. 

Tetapi malam ini tiba-tiba saja aku merindukan masa-masa pacaran dulu. Ditambah esok adalah ulang tahunku. Rasanya ingin bermanja-manja dengan suami. Ingin diberi perhatian lebih. 

Namun kesibukan suamiku sebagai seorang dokter spesialis sangat aku maklumi. Jadi lupakan kejutan tengah malam. Atau kecupan di pagi hari. Seiring berjalannya waktu hal-hal seperti itu sudah tak terlalu berarti.

Mungkin ini perasaanku saja yang sedang ingin dimanja. Kalaupun kuutarakan pada suami pasti dia akan tertawa sambil mengucek-ngucek rambutku.

"Kamu seperti anak ABG saja, Ma. Malu tuh sama anak-anak."

Maka begitulah. Semua angan itu menguap begitu saja seiring kantuk yang melanda. Aku tertidur begitu saja. 

Aku terbangun saat lamat-lamat mendengar suara orang mengaji. Rupanya suamiku sedang membaca Al-Qur'an.

"Kenapa tidak membangunkanku? Waktu subuhnya masih ada kan?" kataku sambil turun dari pembaringan. 

Suamiku mengangguk. Kusingkirkan selimut yang menutupi tubuhku. Aku mengernyit. Rasanya tadi malam aku tidak mengenakan selimut deh. Posisiku juga dipinggir. Ini kok di pojok? Ah, aku lupa. Salat dulu yang utama.

"Tadi malam kamu nyenyak sekali tidurnya. Aku bopong pun tak bergeming," kata suamiku usai menyelesaikan bacaan Al-Qur'annya.

"Iya, ya," sahutku.

"Hari ini aku ambil cuti sehari. Kamu tak usah masuk kerjalah say. Ijin sakit atau apa. Temani aku saja. Kita berangkat sambil ngedrop anak-anak di sekolah."

Aku bingung memikirkan alasan tak masuk kerja. Tetapi menemani suami tawaran yang menarik. Apalagi aku juga sedang enggan berangkat ke kantor. Malas menghadapi teman-teman yang berbasa-basi mengucapkan selamat ulang tahun. 

Pada dasarnya aku lebih suka yang privasi. Tidak seperti yang terlihat di televisi. Tetapi sampai sepagi ini suamiku biasa saja. Tak ada tanda-tanda memberi kejutan. Atau ucapan apa gitu. Aku pun diam saja tak ingin menyindir-nyindir. 

Usai mengabarkan bahwa aku tak masuk kerja hari ini. Aku mempersiapkan keperluan untuk pergi hari ini. Walaupun aku tak tahu akan pergi kemana. 

Namun sebagai seorang istri dokter aku sudah tanggap. Terkadang suamiku pergi ke kampung-kampung yang bisa dibilang pelosok. Ada yang urusan dinas atau hanya sekadar membantu kawan sesama dokter di sana atas permintaan si kawan.

"Aku kok seperti pernah ke arah kampung ini deh say. Apa benar dugaanku?" tanyaku setelah mencapai setengah perjalanan.

"Iya, benar," sahut suamiku.

Aku tak bertanya lebih jauh. Kemana pun suamiku menuju itu memang bagian dari tugasnya. Hanya saja kampung yang kami tuju ini memiliki kenangan tersendiri bagiku. Jadi kunikmati perjalanan ini sambil melihat-lihat pemandangan di luar. 

Terbayang bagaimana khawatirnya wajah kakak dan adikku saat membawa ibu ke sini. Terbayang wajah ibu yang menahan sakit. Ya, inilah kampung di mana aku pernah tinggal satu bulan menemani ibu yang menjalani perawatan tradisional patah tulang.

Ibu mengalami kecelakaan lalu lintas dan divonis lumpuh jika tidak menjalani operasi tulang ekor dan punggung. Ibu tidak mau dioperasi. Tetapi kami pun tak tega melihat ibu tergeletak tak berdaya.

Atas saran seorang tetangga, kami pun membawa ibu ke kampung ini. Untuk menjalani perawatan secara tradisional. Dan ibu pun setuju. Asal bukan Operasi. Di kampung yang jauh dari peradaban. Karena tak ada televisi. Apalagi sinyal. Aku seperti terisolasi. Menemani ibu yang setiap pagi ditangani oleh seorang kyai paruh baya.

Ibu dijampe-jampe dibagian yang sakit. Dipijit pelan-pelan. Dijemur dan meminum ramuan dari sang kyai. Tugasku merawat ibu seperti bayi. Mandi dan buang air di tempat tidur.

Hiburanku hanya buku dan sesekali nongkrong di warung nasi yang hanya satu-satunya. Ngobrol dengan sesama penunggu pasien. Yang salah satunya suamiku ini. Yah, di sinilah aku mengenal suamiku. Kami sama-sama menjaga orang tua di sini.

Aku menoleh ke arah suamiku. Sadarkah ia akan hal ini? Ia serius menatap jalanan yang masih sama seperti dulu. Rusak dan berbatu-batu. 

Tak lama kami tiba di sebuah halaman yang luas. Halaman rumah sang kyai. 

"Sudah sampai. Yuk turun, say," ajak suamiku.

"Kamu ada pekerjaan di sini, say?" tanyaku tak mengerti.

"Enggak. Kangen saja dengan suasana di sini. Kangen dengan senyum malu-malu seorang gadis yang kukenal di sini. Jadi sekalian saja silaturahmi dengan pak kyai."

"Sayang, kamu kok enggak bilang-bilang sih. Aku jadi belum beli apa-apa untuk buah tangan."

"Ada di belakang. Aku sudah siapkan tadi malam."

"Oh, ya? Kenapa enggak memberitahu aku?"

"Kalau diberitahu bukan kejutan namanya. Selamat ulang tahun ya sayang," ujar suamiku sambil merengkuhku ke dalam pelukannya. Diciumnya keningku dengan penuh perasaan. Aku lingkarkan tanganku memeluk pinggangnya dengan erat. Aku terharu. Kupikir suamiku tak ingat lagi hari ulang tahunku. Rupanya sudah mempersiapkan kejutan ini.

Usai bertemu dengan pak kyai dan berbincang-bincang dengan beliau. Aku dan suami berjalan-jalan di lorong rumah yang didesain menyerupai rumah sakit. 

Ada kamar yang khusus untuk satu pasien. Ada juga yang terdiri dari 10 pasien dalam satu kamar. Aku dan ibu dulu memilih kamar yang khusus. Begitu pula dengan suamiku. 

Kami bergandengan sambil mengingat masa lalu.

"Enggak nyangka ya kita dipertemukan di sini?" bisik suamiku.

"Tadinya aku sudah minta digantikan oleh abangku loh! Bosan dengan suasana di sini. Sepi tak ada kehidupan saat malam hari. Untung Tuhan mengirim bidadari ke sini. Jadi aku merasa terhibur dan ada yang kugodain deh," ujar suamiku lagi. Kali ini sambil menjawil daguku. Aku tersipu. Seperti kembali ke masa-masa itu.

"Yuk kita ke warung nasi di ujung jalan sana?" ajak suamiku.

Aku mengangguk. Ia menggandeng tanganku tanpa mempedulikan orang-orang kampung sekitar yang memperhatikan tingkah kami. Saat kuingatkan ia hanya tertawa.

"Biar saja. Kalau ada yang godain bilang saja pengantin baru. Mereka pasti maklum."

Tak pelak aku daratkan cubitan manja ke pinggangnya.

Tiba di warung nasi langganan kami dulu. Suamiku langsung memesan nasi dan oreg tempe.

"Bu, pesan nasinya satu. Oreg tempenya satu piring itu saya ambil semua ya?"

"Buka mulutmu sayang. Biar aku suapi."

"Malu atuh sama ibu warung," bisikku.

"Enggak apa-apa. Paling dia iri dan ingin cepat-cepat pulang untuk minta disuapi juga oleh suaminya."

Aku benar-benar dibuat tersipu malu oleh suamiku. Ibu penjaga warung senyum-senyum melihat tingkah suamiku.

"Sekali lagi selamat ulang tahun ya, sayang. Sepiring oreg tempe ini kupersembahkan khusus untukmu. Gara-gara oreg ini kita jadi berkenalan dan menghabiskan waktu di warung ini. Tempat yang tadinya sepi jadi asyik begitu aku mengenalmu. Satu bulan bersama-sama membuat kita saling jatuh cinta. Kesembuhan orang tua kita dan kembalinya kita ke rumah masing-masing menyadarkanku. Bahwa aku merasa kehilangan kamu dan tak ingin berpisah denganmu. Itulah kenapa aku ngotot ingin ke rumahmu dan serius untuk melamarmu. Aku takut kamu diambil orang."

Kerongkonganku tercekat. Mataku berkaca-kaca. Aku sungguh terharu. Suamiku memberi kado yang luar biasa tak terduga hari ini. Membawaku ke tempat penuh cinta.

Betapa ia mencintai ku sedemikian rupa.Bahkan sepiring oreg tempe yang bagiku bukan apa-apa, menjadi istimewa baginya. 

Aku selalu memilih lauk oreg tempe saat di sini, karena hanya itu lauk yang pas dilidahku. Aku tidak mau mengambil risiko sakit perut ditempat seperti ini. 

Rupanya suamiku berpikiran sama. Jadilah oreg tempe tersebut jadi rebutan kami saat itu. Tentu saja dengan mimik sok jaim. Padahal dalam hati kesal kalau sudah keduluan dan tak kebagian.

Ah, sungguh tak kusangka. Dalam sepiring oreg tempe ada cinta untuk kami. Ada berkah bagi kehidupan kami berdua di masa depan. (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun