"Aku masuk sekolah ini karena mendapatkan beasiswa sedangkan biaya untuk sehari-hari aku masih memiliki uang tabungan sebelum aku mendapatkan pekerjaan." Jawabku.
"Kamu hebat Sa! Aku saja masih mengharap dan meminta uang dari ortuku. Aku belum bisa seperti kamu. Aku..."
"Sssstt...ada guru. Nanti saja kita teruskan ceritanya." Ucapku sambil memotong pembicaraan Vicky di saat guru membuka pintu kelasku.
Seorang guru yang berkacamata tebal dan memiliki rambut yang sudah memutih. Sepertinya dedikasi guru itu sangat besar karena di usia yang tidak muda lagi bahkan sudah bisa dianggap tua, beliau masih saja menjadi guru. Beliau memperkenalkan diri dengan nama Pak Naryo sebagai guru Bahasa Inggris. Beliau menceritakan pula pengalamannya mengajar di sekolah ini yang sudah duapuluh tahun. Beliau belum mau pensiun, karena masih merasa mampu untuk mengamalkan ilmunya.
"Hebatnya Pak Naryo, sudah tua masih saja mengajar." Aku berbisik pada Vicky.
"Hidup adalah sebuah pilihan. Jadi kalau kita masih mampu, mengapa kita tidak melakukannya daripada diam di rumah." Vicky berbisik pula.
"Kamu sok bijaksana. Tua loh!"
"Itu kata orang tuaku."
Victor Silitonga, seorang keturunan Medan yang memiliki pikiran keras. Dengan budaya Bataknya mungkin sudah mengalir dalam setiap aliran darahnya. Oh ya, kita lanjutkan ke cerita Pak Naryo.
"You!" Pak Naryo menunjuk ke arahku yang duduk paling depan di sebelah kanan dan menyuruhku untuk memperkenalkan diri.
Ah, aku kira beliau melihat dan mendengar apa yang aku bicarkan dengan Vicky. Ternyata beliau hanya ingin mengetahui nama-nama siswanya. Dan aku pun mulai memperkenalkan diri dengan memakai bahasa Inggris.