Mohon tunggu...
Denata
Denata Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

perempuan cerdas tidak hanya harus berpendidikan namun juga mampu menggunakan logika dan rasionalitas dalam menyingkapi sebuah isu. Broaden knowledge and be critical

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Air Wudu

10 Mei 2021   14:32 Diperbarui: 12 Mei 2021   19:30 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi air wudu, sumber gambar suara.com

Di suatu daerah yang tandus dimana air menjadi hal yang begitu berharga untuk kehidupan. Hiduplah seorang perempuan bernama Siti. Dia baru saja ditinggal suaminya menuju kehidupan abadi. Dia tinggal di rumah yang luas dan bertingkat, dengan pagar  yang tinggi. Uniknya, dia selalu membiarkan pagar rumahnya terbuka, seakan mengundang siapapun yang lewat untuk singgah.

Siti tinggal bersama kedua anaknya. Setelah suaminya meninggal, dia mendapat banyak sekali warisan. Tanah, kebun, emas dan uang berjumlah besar. Hidupnya sudah lebih dari cukup, bahkan tanpa bekerja pun dia takkan kekurangan. Meskipun begitu, dia tak pernah bermalas-malasan. Dia masih memadati kegiatannya dengan kesibukan duniawi. Kerja keras Siti membawanya pada kehidupan yang semakin mapan.

Satu hal yang membuat Siti begitu istimewa, meskipun kaya dia tak pernah merasa kaya ataupun tinggi kedudukannya. Hartanya hanyalah titipan, upah yang dibayarkan Allah atas usahanya. Dia jauh dari kata serakah, bahkan kekayaannya tak dinikmati sendiri. Dia bekerja sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada anak-anak, dia bekerja guna membantu orang lain.

Tak jauh dari rumah Siti, tinggallah seorang lelaki bernama Burhan. Kebalikan dengan Siti, dia tinggal di sebuah rumah sangat sederhana, dimana lantainya pun masih tanah. Dinding-dinding rumahnya memiliki lubang dan celah. Bila malam tiba, tiupan hawa dingin masuk dari sela lubang. Beberapa kali Siti mengundangnya ke rumah, tapi dia menolak. Begitu juga dengan bantuan yang diberikan Siti, dia selalu menolaknya.

Burhan memang miskin, tapi dia sangat rajin beribadah. Satu harta yang dianggapnya paling berharga, yaitu penampung air terbuat dari tanah liat. Pagi-pagi sekali dia akan berjalan menuju sungai untuk mengambil air dan mengisi bejananya. Bejana itu tak boleh kehabisan air, karena air itu dia gunakan untuk wudu, menyucikan dirinya sebelum beribadah.

Burhan selalu memperhatikan Siti, bahkan dia berkata pada dirinya, "begitu angkuhnya Siti, sudah kaya masih sibuk kerja mengurus kebun. Hidupnya hanya soal uang saja, tak pernah merasa puas dengan hidupnya."

Burhan meyakini bahwa Siti terlalu mempedulikan hal-hal duniawi hingga dia lupa akan kewajibannya salat. Dia bahkan sudah memperkirakan bahwa mati kelak, Siti akan masuk neraka.

Bagi Burhan salat adalah segalanya. Bahkan air untuknya wudu menjadi kekayaan satu-satunya yang dimiliki. Dia sadar bahwa tak ada kekayaan yang bisa dibanggakan selain air untuknya wudu dan ibadahnya. Dia yakin meskipun hidupnya di dunia menderita, namun ketaatannya beribadah akan membuat hidupnya bahagia di akhirat nanti.

Suatu waktu di siang hari, dimana matahari bersinar dengan teriknya. Bahkan panasnya mencekik kerongkongan. Datanglah seorang perempuan menggendong anaknya yang berusia dua tahun. Dia menuju rumah Burhan untuk meminta tolong. Siang itu Burhan tengah duduk santai di depan rumahnya. Dia duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu.

" Assalamualaikum. Saya hendak meminta tolong pak, sekiranya bapak berkenan berbagi air. Bolehkah kami meminta airnya sedikit. Satu gelas saja, hanya untuk menghilangkan dahaga anak saya."

"Lho memangnya kamu nggak bawa air?"

"Kami kehabisan air di jalan pak. Kami hendak ke rumah sanak."

"Duh, gimana ya. Air itu untuk wudu bu. Buat aku bersuci sebelum salat. Kalau nggak wudu, ibadahku nggak diterima Allah nanti."

"Anak saya sangat haus pak, hanya minta satu gelas saja. Saya bisa menahan haus tapi anak saya nggak bisa."

"Kamu minta dari rumah yang besar itu saja. Maaf sekali ya, soalnya ibadah itu penting. Airnya nggak bisa kubagi."

-000-

Seperti biasa, ayam berkokok menandakan pagi telah datang. Hari itu pagi tak secerah biasanya. Matahari masih bersembunyi dibalik awan mendung. Seakan tak peduli dengan langit yang mendadak gelap, Burhan buru-buru mengambil ember. Dia berjalan dengan sangat terburu-buru untuk mengambil air di sungai. Dia tak ingin meninggalkan ibadahnya hanya karena tak ada air untuk wudu.

Sayangnya, Burhan tak seberuntung hari biasanya, jalanan terasa lebih licin hingga dia tak bisa mengendalikan langkah kakinya. Ketika menuruni jalan setapak dia pun terjatuh, kepalanya membentur batu. Dan dia pun meninggal dunia.

Perlahan, Burhan membuka matanya dan betapa terkejutnya dia. Yang terlihat hanyalah kegelapan. Dia bertanya pada dirinya sendiri, dimana dirinya berada. Apakah dia sudah meninggal.

Burhan bertanya lagi, kali ini lebih lantang, berharap ada yang mendengar dan menjawabnya, "dimana aku? Apakah ini surga? Kenapa surga begitu gelap. Apakah di surga mati lampu?"

Tiba-tiba saja ada suara yang menyahut, "jangan bermimpi Burhan, kau memang sudah mati, tapi sekarang kau berada di neraka."

Sontak saja Burhan terkejut bukan main. Bagaimana bisa dia berada di neraka. Kepalanya penuh dengan pertanyaan, tidak cukupkah ibadahnya ketika di dunia. Dia memang miskin harta, tetapi dia tak miskin iman. Bagaimana mungkin Allah membayar ibadahnya dengan memasukkannya ke neraka. Tak bisa menerima kenyataan, dia pun berteriak dengan lantangnya. 

"Halo, adakah yang bisa menjelaskan padaku, kenapa aku ada di sini. Aku tak pernah meninggalkan salatku, aku selalu wudu, menyucikan diriku dari segala kotoran sebelum beribadah. Kenapa aku bukan di surga melainkan di neraka?"

"Burhan,  Burhan. Sungguh kasihan engkau. Kenapa kau sombongkan ibadahmu ketika hatimu masih kotor. Kau memang menyucikan tubuhmu dari segala kotoran, tapi tidak dengan hatimu."

"Apa maksudmu?"

"Tidakkah kau ingat, ketika ada yang meminta tolong padamu untuk berbagi air, kau bahkan masih berpikir dua kali untuk menolongnya. Kau memiliki banyak air di bejanamu, tapi tak sedikit pun kau bagi untuk perempuan itu. Sedangkan tetanggamu Siti, perempuan yang kau anggap hidup hanya untuk hal duniawi, dia berada di surga."

"Tidak mungkin, bagaimana bisa?"

"Hatinya tak pernah berprasangka buruk pada orang lain, dia bahkan tak pernah ragu untuk memberikan hartanya pada orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Jangan pernah kau manusia menghakimi sesamamu manusia. Allah melihat hati, bukan melihat apa yang terlihat oleh mata manusia."

Burhan pun tertunduk lesu dan menangisi dirinya sendiri. Dia tak menyadari jika hatinya yang kotor telah melunturkan semua ibadahnya. Dia hanya bisa menyesali hatinya yang tidak pernah ikhlas ketika hidup di dunia. Seharusnya dia tak hanya menyucikan badannya, tapi juga membersihkan hatinya dari kekikiran dan prasangka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun