Sontak saja Burhan terkejut bukan main. Bagaimana bisa dia berada di neraka. Kepalanya penuh dengan pertanyaan, tidak cukupkah ibadahnya ketika di dunia. Dia memang miskin harta, tetapi dia tak miskin iman. Bagaimana mungkin Allah membayar ibadahnya dengan memasukkannya ke neraka. Tak bisa menerima kenyataan, dia pun berteriak dengan lantangnya.Â
"Halo, adakah yang bisa menjelaskan padaku, kenapa aku ada di sini. Aku tak pernah meninggalkan salatku, aku selalu wudu, menyucikan diriku dari segala kotoran sebelum beribadah. Kenapa aku bukan di surga melainkan di neraka?"
"Burhan, Â Burhan. Sungguh kasihan engkau. Kenapa kau sombongkan ibadahmu ketika hatimu masih kotor. Kau memang menyucikan tubuhmu dari segala kotoran, tapi tidak dengan hatimu."
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah kau ingat, ketika ada yang meminta tolong padamu untuk berbagi air, kau bahkan masih berpikir dua kali untuk menolongnya. Kau memiliki banyak air di bejanamu, tapi tak sedikit pun kau bagi untuk perempuan itu. Sedangkan tetanggamu Siti, perempuan yang kau anggap hidup hanya untuk hal duniawi, dia berada di surga."
"Tidak mungkin, bagaimana bisa?"
"Hatinya tak pernah berprasangka buruk pada orang lain, dia bahkan tak pernah ragu untuk memberikan hartanya pada orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Jangan pernah kau manusia menghakimi sesamamu manusia. Allah melihat hati, bukan melihat apa yang terlihat oleh mata manusia."
Burhan pun tertunduk lesu dan menangisi dirinya sendiri. Dia tak menyadari jika hatinya yang kotor telah melunturkan semua ibadahnya. Dia hanya bisa menyesali hatinya yang tidak pernah ikhlas ketika hidup di dunia. Seharusnya dia tak hanya menyucikan badannya, tapi juga membersihkan hatinya dari kekikiran dan prasangka.