"Lho memangnya kamu nggak bawa air?"
"Kami kehabisan air di jalan pak. Kami hendak ke rumah sanak."
"Duh, gimana ya. Air itu untuk wudu bu. Buat aku bersuci sebelum salat. Kalau nggak wudu, ibadahku nggak diterima Allah nanti."
"Anak saya sangat haus pak, hanya minta satu gelas saja. Saya bisa menahan haus tapi anak saya nggak bisa."
"Kamu minta dari rumah yang besar itu saja. Maaf sekali ya, soalnya ibadah itu penting. Airnya nggak bisa kubagi."
-000-
Seperti biasa, ayam berkokok menandakan pagi telah datang. Hari itu pagi tak secerah biasanya. Matahari masih bersembunyi dibalik awan mendung. Seakan tak peduli dengan langit yang mendadak gelap, Burhan buru-buru mengambil ember. Dia berjalan dengan sangat terburu-buru untuk mengambil air di sungai. Dia tak ingin meninggalkan ibadahnya hanya karena tak ada air untuk wudu.
Sayangnya, Burhan tak seberuntung hari biasanya, jalanan terasa lebih licin hingga dia tak bisa mengendalikan langkah kakinya. Ketika menuruni jalan setapak dia pun terjatuh, kepalanya membentur batu. Dan dia pun meninggal dunia.
Perlahan, Burhan membuka matanya dan betapa terkejutnya dia. Yang terlihat hanyalah kegelapan. Dia bertanya pada dirinya sendiri, dimana dirinya berada. Apakah dia sudah meninggal.
Burhan bertanya lagi, kali ini lebih lantang, berharap ada yang mendengar dan menjawabnya, "dimana aku? Apakah ini surga? Kenapa surga begitu gelap. Apakah di surga mati lampu?"
Tiba-tiba saja ada suara yang menyahut, "jangan bermimpi Burhan, kau memang sudah mati, tapi sekarang kau berada di neraka."